TIMES MALANG, MALANG – Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Brawijaya (UB), Prof. Drs. Andy Fefta Wijaya, MDA, Ph.D., mengkritisi Rancangan Undang-Undang Kejaksaan (RUU Kejaksaan) dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Ia menilai kedua rancangan tersebut perlu diperbaiki sebelum disahkan agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antara lembaga penegak hukum, seperti kejaksaan, kepolisian, dan peradilan.
Menurutnya, jika tidak dilakukan harmonisasi secara matang, pembahasan RUU ini bisa memicu konflik kewenangan antar-institusi. Apalagi, selain RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP, juga ada RUU Kepolisian yang berpotensi memperumit pembagian tugas dan tanggung jawab dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
"Kami khawatir ini akan menjadi 'perang RUU'. Semoga tidak terjadi, tetapi inilah tugas akademisi, memberikan kontribusi untuk menyeimbangkan agar tidak terjadi over kewenangan atau tumpang tindih antara satu RUU dengan lainnya," ujar Prof. Andy.
Dalam draf RUU Kejaksaan, ada sejumlah poin yang berpotensi memperluas kewenangan lembaga tersebut, termasuk dalam hal penyelidikan dan penyidikan. Padahal, secara hukum, penyelidikan dan penyidikan merupakan tugas utama kepolisian. Jika kewenangan ini diperluas tanpa batasan yang jelas, hal ini dapat menimbulkan gesekan di lapangan antara jaksa dan polisi.
"Dari sisi kewenangan, RUU Kejaksaan memberikan ruang cukup besar bagi lembaga ini untuk melakukan proses-proses mulai dari penyelidikan hingga penyidikan. Padahal, secara alami, ini adalah fungsi dari kepolisian," jelasnya.
Sementara itu, jika nanti RUU Kepolisian juga memberikan kewenangan lebih luas kepada polisi, dikhawatirkan akan muncul pasal-pasal yang tumpang tindih dan berpotensi menimbulkan persaingan antar-lembaga.
Di sisi lain, revisi RUU KUHAP juga harus dipastikan tetap menjaga keseimbangan dalam proses hukum. Salah satu poin utama dalam RUU ini adalah adanya usulan peran hakim komisaris, yang berfungsi sebagai pengawas tindakan aparat penegak hukum agar tidak sewenang-wenang dalam melakukan penangkapan dan penahanan.
"Di KUHAP nanti kita lihat lagi bagaimana pengaturannya. Jangan sampai ada pasal yang justru melemahkan perlindungan hak asasi manusia dalam proses hukum. Semua ini perlu ditempatkan secara proporsional," katanya.
Pria yang menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Administrasi UB ini juga mengingatkan bahwa penyusunan RUU ini harus dilakukan dengan cermat agar tidak melahirkan lembaga dengan kewenangan terlalu besar atau super body, yang berpotensi menyalahgunakan kekuasaan.
"Jangan sampai RUU ini menjadikan satu lembaga menjadi super body. Ini berbahaya sekali. Independensi kejaksaan dan kepolisian harus tetap terjaga agar optimal, tanpa intervensi politik yang berlebihan," tegasnya.
Independensi menjadi aspek penting dalam sistem peradilan pidana, mengingat lembaga seperti kejaksaan dan kepolisian kerap berada dalam tekanan politik.
"Apakah sekarang mereka belum independen? Tidak juga. Tapi dalam beberapa hal, intervensi politik bisa cukup kuat menekan lembaga-lembaga ini. Oleh karena itu, independensi mereka harus diatur dengan baik dalam pasal-pasal yang ada," lanjutnya.
Selain kewenangan, Prof. Andy juga menyoroti pentingnya sistem merit dalam institusi kejaksaan dan kepolisian. Ia menekankan bahwa setiap proses hukum harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) dan profesionalisme.
"Bukan hanya soal kewenangan, tetapi bagaimana memastikan mereka bekerja sesuai dengan standar yang ada. Misalnya, saat menangani korban atau tersangka, apakah mereka sudah menjalankan prosedur sesuai dengan standar HAM?" ujarnya.
Ia juga menyoroti pentingnya sistem merit dalam rekrutmen dan promosi di lembaga penegak hukum. Menurutnya, sistem ini harus diatur lebih rinci dalam undang-undang agar tidak terjadi nepotisme atau penyalahgunaan jabatan di internal kejaksaan dan kepolisian.
"Merit sistem di kejaksaan dan kepolisian perlu diperjelas dalam RUU ini. Bagaimana mekanisme promosi, bagaimana kriteria pemimpin yang layak, semua harus memiliki dasar hukum yang jelas agar tidak terjadi penyalahgunaan," katanya.
Atas dasar berbagai potensi permasalahan tersebut, Prof. Andy menilai RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP tidak bisa serta-merta disahkan tanpa perbaikan substansial.
"Saya tidak mengatakan RUU ini sebaiknya tidak disahkan, tetapi perlu diperbaiki dulu kontennya. Petunjuknya sudah jelas, jangan sampai ada satu lembaga yang diberikan kewenangan terlalu besar, karena ini bisa berbahaya," ujarnya.
Ia berharap pemerintah dan DPR lebih terbuka terhadap masukan dari akademisi dan pakar hukum dalam menyusun regulasi yang berdampak luas bagi sistem peradilan di Indonesia. Menurutnya, kampus memiliki peran penting sebagai pihak yang netral dalam memberikan kajian dan rekomendasi hukum.
"Perguruan tinggi dan akademisi berperan dalam menjembatani agar setiap regulasi tetap dalam koridor yang harmonis. Kami tidak memiliki conflict of interest yang besar, sehingga bisa melihatnya lebih objektif," pungkasnya. (*)
Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |