TIMES MALANG, MALANG – Wacana untuk kembali menggelar Ujian Nasional (UN) bagi siswa sekolah mulai mencuat di kalangan masyarakat dan pemangku kebijakan.
Meski sempat dihapuskan pada 2021 dan digantikan dengan Asesmen Nasional Berbasis Kompetensi (ANBK), ide untuk mengembalikan UN memunculkan pro dan kontra.
Akademisi dari Universitas Brawijaya, Prof. Imam Santoso, turut memberikan pandangannya terkait hal ini. Menurut Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Brawijaya tersebut, Ujian Nasional memiliki peran penting dalam memastikan standar capaian pendidikan di berbagai daerah.
“Sepertinya memang perlu diadakan kembali, untuk memastikan bahwa siswa di seluruh Indonesia mencapai nilai tertentu sebagai standar nasional,” ujarnya Senin (23/12).
Prof. Imam menilai, Ujian Nasional dapat menjadi alat evaluasi yang efektif untuk memetakan kualitas pendidikan di berbagai kota dan daerah. Ia menyoroti pentingnya menjaga standar yang merata di seluruh wilayah Indonesia, mengingat adanya kesenjangan pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan.
“Dengan adanya UN, kita bisa memastikan bahwa ada tolok ukur yang sama untuk menilai capaian pendidikan di setiap daerah. Hal ini penting untuk mengetahui sejauh mana sistem pendidikan kita mampu memberikan kualitas yang setara, baik di kota besar maupun di daerah terpencil,” jelasnya.
Namun, Prof. Imam mengingatkan bahwa UN tidak boleh menjadi satu-satunya instrumen untuk menentukan kelulusan siswa. Menurutnya, keputusan yang terlalu bergantung pada hasil UN justru dapat menimbulkan tekanan berlebihan, yang berpotensi memicu kecurangan, baik dari siswa maupun sekolah.
“Yang tidak boleh terjadi adalah menjadikan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan. Ini bisa menciptakan potensi kecurangan," kata dia.
Prof. Imam menambahkan, jika Ujian Nasional diterapkan kembali, pelaksanaannya harus dijamin adil dan objektif. “Sepanjang pelaksanaannya bisa fair, transparan, dan tidak menjadi satu-satunya faktor kelulusan, saya rasa gagasan ini layak untuk dipertimbangkan lebih lanjut,” pungkasnya.
Di sisi lain, wacana kembalinya UN memunculkan berbagai pandangan di masyarakat. Sebagian pihak mendukung, dengan alasan perlunya alat evaluasi yang seragam dan kredibel. Namun, tak sedikit pula yang menolak, mengingat banyaknya kelemahan yang pernah terjadi dalam pelaksanaan UN, seperti kesenjangan akses pendidikan dan beban psikologis yang dirasakan siswa.
Sebagai informasi, penghapusan UN pada 2021 dilakukan oleh pemerintah untuk memberikan evaluasi pendidikan yang lebih berorientasi pada kompetensi, bukan hanya hafalan. Asesmen Nasional Berbasis Kompetensi (ANBK) pun diperkenalkan sebagai penggantinya, dengan fokus pada kemampuan literasi, numerasi, dan survei karakter.
Namun, pelaksanaan ANBK dinilai belum maksimal. Beberapa pihak mengkritik bahwa asesmen tersebut belum sepenuhnya dapat menggambarkan kondisi pendidikan secara menyeluruh, terutama di daerah-daerah dengan keterbatasan fasilitas.
Wacana kembalinya UN saat ini masih dalam tahap pembahasan di tingkat kebijakan. Pemerintah diharapkan dapat mendengar masukan dari berbagai pihak, termasuk akademisi, praktisi pendidikan, dan masyarakat luas, sebelum memutuskan langkah selanjutnya. (*)
Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
Editor | : Imadudin Muhammad |