https://malang.times.co.id/
Wisata

Klenteng Eng An Kiong, Warisan Budaya Abadi di Kota Malang

Minggu, 21 September 2025 - 08:16
Klenteng Eng An Kiong, Warisan Budaya Abadi di Kota Malang Klenteng Eng An Kiong, berdiri sejak 1825 dan kini menjadi salah satu cagar budaya tertua di Malang. (Foto: Vicky Afrizal Bima Widion/TIMES Indonesia)

TIMES MALANG, MALANG – Kota Malang, Jawa Timur menyimpan satu warisan budaya yang tak lekang oleh waktu, Klenteng Eng An Kiong.

Terletak di Jalan R.E. Martadinata No. 1, Kotalama, Kecamatan Kedungkandang, bangunan ini berdiri sejak 1825 dan kini menjadi salah satu cagar budaya tertua di Malang.

Klenteng Eng An Kiong didirikan oleh Letnan Kwee Sam Hway, seorang tokoh militer keturunan Tionghoa yang dipercaya sebagai generasi ketujuh dari seorang jenderal Dinasti Ming.

Pada masa kolonial Belanda, ia bekerja di perusahaan pabrik gula di Kebonagung. Dengan dana pribadi, ia membangun klenteng ini sebagai sarana spiritual bagi komunitas Tionghoa yang semakin berkembang di Malang.

Klenteng-Eng-An-Kiong-2.jpg

Pembangunan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama pada tahun 1825 berupa ruang utama yang berfungsi sebagai altar. Selanjutnya, antara 1895 hingga 1934, bangunan diperluas dengan berbagai tambahan ruang ibadah dan ornamen khas.

Nama “Eng An Kiong” memiliki makna simbolik: istana keselamatan dalam keabadian Tuhan, sekaligus persembahan kepada Dewa Bumi.

Hingga kini, klenteng difungsikan sebagai tempat ibadah umat Tridharma, yakni Khonghucu, Taoisme, dan Buddha. Selain itu, tempat ini juga menjadi pusat aktivitas budaya dan sosial masyarakat Tionghoa di Malang.

Dengan luas sekitar 5.000 meter persegi, Klenteng Eng An Kiong memancarkan kemegahan arsitektur tradisional Tionghoa. Dominasi warna merah melambangkan kehidupan, kebahagiaan, dan keberanian, sedangkan kuning keemasan mencerminkan keagungan. Ukiran naga melambangkan kekuatan, sementara burung phoenix merepresentasikan kecantikan.

Ornamen tradisional menghiasi setiap sudut, mulai dari altar persembahan hingga patung dewa-dewi, termasuk patung Dewa Bumi yang diyakini sudah ada sebelum kelenteng diresmikan. Menariknya, 90 persen struktur asli masih terjaga hingga sekarang, termasuk tiang kayu utama dari masa awal pendirian.

“Klenteng ini terbuka untuk semua kalangan, baik Tionghoa maupun bukan. Karena ini milik kita bersama, sekaligus cagar budaya yang wajib dijaga,” tutur Rudy Pan, Ketua Pengurus Klenteng Eng An Kiong.

Klenteng-Eng-An-Kiong-3.jpg

Meski telah berusia hampir dua abad, Klenteng Eng An Kiong tetap berdiri kokoh. Upaya pelestarian dilakukan melalui pemeliharaan rutin dan renovasi hati-hati, agar elemen historis dan karakter asli tetap terjaga. Dengan demikian, kelenteng ini tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga simbol keberagaman dan kekayaan budaya Malang. 

Sebagai ketua pengurus, Rudy Pan berharap Klenteng Eng An Kiong tidak hanya menjadi pusat ibadah umat Tridharma, tetapi juga tetap lestari sebagai warisan budaya bersama. Ia menekankan pentingnya keterlibatan generasi muda dalam menjaga klenteng, baik melalui kegiatan sosial maupun pelestarian tradisi.

“Harapan saya, klenteng ini tetap terawat dengan baik dan bisa menjadi ruang belajar bagi siapa pun tentang sejarah, budaya, dan toleransi di Malang,” ujarnya. (*)

Pewarta : Vicky Afrizal Bima Widion (MG)
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.