TIMES MALANG, MALANG – Mantan napi terorisme, Saifuddin Umar atau sering disapa Ustadz Abu Fida mengawali kisahnya di Aula Gedung B Pascasarjana, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, saat ia mengisi forum diskusi tentang radikalisme.
Ustadz Abu Fida bisa disebut sudah tobat dari pemikiran radikal yang menyelimuti pikirannya selama ini. Ia merupakan mantan narapidana atau napi terorisme.
Pria kelahiran Surabaya ini ditangkap Densus 88 pada 2004 silam. Dia diduga menyembunyikan informasi pelaku teroris Noordin M Top dan Dr Azhari.
Tepat sepuluh tahun setelahnya, pada 2014, ia kembali ditangkap Densus 88 karena diduga ikut mendeklarasikan ISIS di Solo, Jawa Tengah. Ia dituntut oleh jaksa 4 tahun dan divonis oleh hakim 3 tahun.
Ia ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok selama 2 tahun dan pindah ke Lapas Magelang selama 1 tahun. Hingga akhirnya bebas pada Mei 2017 lalu.
Pria 53 tahun itu sempat mengenyam dunia pendidikan di pondok modern Gontor selama enam tahun. Ia mengaku sering membaca buku yang dijual bebas di koperasi pelajar di sana.
“Gontor tidak mengajarkan terorisme. Tapi di sana ada Koperasi Pelajar, itu jual bukunya bebas. Entah sekarang masih ada atau enggak. Saat itu saya baca banyak buku. Dan waktu di Mekkah, saya mencari pengarang buku itu,” katanya.
Ustadz Abu Fida merasa semakin penasaran dan ingin memantapkan keilmuannya yang didapat dari bacaan tersebut. Ia memang memaku bisa terpapar radikalisme dan terorisme karena bacaan, namun ia berhasil keluar dari jaringan terorisme itu karena bacaan pula.
“Saya masuk dari bacaan, dan saya keluar dari bacaan juga. Saya bisa keluar dari jaringan itu karena saya membaca,” ungkapnya di hadapan ratusan peserta seminar.
Menurutnya, penyebab munculnya terorisme pada kalangan remaja itu ada dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Di antara faktor internal tersebut adalah minimnya ilmu syar'i, kurang biasa bertabayyun atau verifikasi informasi dan ilmunya didominasi hanya dari dunia maya.
Sebab faktor eksternal adalah adanya pemerintahan yang tidak adil, kekuatan otoriter Amerika yang mendholimi umat Islam dan tekanan yang berlebihan dalam lingkungan atau saat berlangsungnya interogasi.
Faktor lingkungan, sambungnya, sangat mempengaruhi. Seperti yang diceritakan dan dialaminya, lingkungan sekitar yang terlalu menekan juga bisa membuat seseorang melakukan tindakan terorisme.
“Saya merasakan tekanan di lingkungan. Sebelum saya ditangkap pada 2014, saya punya masjid. Saya dapat banyak tekanan dari masyarakat. Itu juga salah satu penyebab terjadinya aksi terorisme,” akunya.
Sebab itu, mantan napi terorisme itu mengajak masyarakat untuk selalu melakukan verifikasi informasi yang didapatkan, terutama dari dunia maya. Karena sesuatu yang ada di dunia maya belum tentu kebenarannya dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. (*)
Pewarta | : Mohammad Naufal Ardiansyah |
Editor | : Faizal R Arief |