TIMES MALANG, MATARAM – Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Nusa Tenggara Barat (NTB) Muslim menyatakan tarif ekspor komoditi Indonesia ke Amerika Serikat (AS) sebesar 32 persen berdampak terhadap harga beli ikan tuna kualitas ekspor di tingkat nelayan.
"Pasca pengumuman tarif tersebut harga ikan tuna langsung anjlok yang awalnya dibeli oleh pelaku usaha di tingkat nelayan Rp45.000 per kilogram sekarang turun menjadi Rp35.000 per kilogram, dan ini masih berpotensi turun lagi harganya," kata Muslim di Mataram, Selasa (22/4/2025).
Selain ikan tuna, komoditas hasil perikanan laut lain yang diekspor oleh Nusa Tenggara Barat ke Amerika Serikat berupa cakalang dan udang juga terkena imbas dari kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump tersebut.
Muslim menuturkan khusus untuk ikan tuna yang diekspor merupakan hasil tangkapan para nelayan di Pulau Sumbawa dan Kabupaten Lombok Timur. Sebagian besar ikan tersebut dibongkar muat oleh nelayan di tempat pelelangan ikan (TPI) Labuhan Lombok, Kabupaten Lombok Timur.
Ikan-ikan tersebut kemudian dikumpulkan dalam ruang pendingin atau cold storage milik sejumlah pengusaha sekaligus pemilik kapal yang tinggal di sekitar Labuhan Lombok.
"Para pengusaha sekaligus pemilik kapal penangkap ikan tuna itulah yang bekerja sama dengan eksportir dari Bali dan Surabaya. Eksportir ini yang kemudian melakukan pengolahan sesuai standar Amerika Serikat," kata Muslim.
Lebih lanjut dia mengatakan pengumuman kebijakan tarif sebesar 32 persen oleh Amerika Serikat bersamaan dengan kewajiban penggunaan Vessel Monitoring System (VMS) bagi nelayan-nelayan penangkap ikan dengan armada kapal kapasitas 6 gross tonnage (GT) hingga 30 GT pada radius lebih dari 12 mil.
VMS adalah sistem pemantauan kapal berbasis teknologi yang digunakan untuk melacak posisi, pergerakan, dan aktivitas kapal penangkap ikan secara real-time melalui satelit atau jaringan komunikasi lainnya.
Sebagian besar nelayan belum bisa memenuhinya karena harga alat yang mahal, yakni di atas Rp11 juta per unit dan ditambah dengan biasa jasa satelit sebesar Rp6 juta per tahun.
"Tentu hal tersebut sangat membebani para pelaku usaha dan nelayan penangkapan ikan skala kecil," papar Muslim.
Oleh karena itu, pemerintah daerah mendorong pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat memberikan insentif atau relaksasi.
Muslim berharap kebijakan penggunaan VMS dapat dilakukan moratorium secara permanen di tengah kesulitan yang dihadapi nelayan dan pelaku usaha kecil di Nusa Tenggara Barat. (*)
Pewarta | : Antara |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |