TIMES MALANG, JAKARTA – Peristiwa hilangnya sebuah tumbler di KRL jurusan Tanah Abang–Rangkasbitung beberapa waktu lalu sempat menyita perhatian publik.
Seorang penumpang bernama Anita Dewi melaporkan kehilangan tumblernya yang tertinggal di cooler bag, lalu menuliskannya di media sosial hingga viral. Dugaan sempat mengarah kepada seorang petugas KRL bernama Argi, bahkan muncul kabar bahwa ia dipecat.
Namun, melalui mediasi di kantor KAI Wisata, Stasiun Gondangdia, kasus ini berakhir damai, Argi mendapatkan simpati dari banyak kalangan, bahkan ia mendapat hadiah umrah dari seorang polisi, yang kemudian diberikan kepada ibunya.
Kisruh tumbler ini menjadi bukti bahwa benda sederhana dapat memantik perhatian luas, sekaligus menegaskan betapa tumbler telah melekat dalam kehidupan masyarakat.
Ia bukan lagi sekadar wadah minum, melainkan simbol gaya hidup, kepedulian sosial dan komitmen terhadap lingkungan.
Sejarah Tumbler
Sejarah tumbler sendiri cukup panjang. Merangkum dari berbagai sumber bahwa, wadah minum portabel sudah dikenal sejak abad ke-19, awalnya berbahan logam atau keramik.
Pada abad ke-20, wadah minum yang kini populer dengan sebutan tumbler berkembang ke kaca dan plastik, sebelum akhirnya hadir dalam bentuk stainless steel yang lebih tahan lama dan mampu menjaga suhu minuman.
Evolusi ini memperlihatkan bahwa tumbler lahir dari kebutuhan praktis manusia, namun kini maknanya jauh melampaui fungsi dasar.
Generasi muda, khususnya Gen Z, menjadi motor penggerak tren tumbler. Survei Jakpat yang dikutip GoodStats menunjukkan 56 persen Gen Z memilih membawa botol minum pribadi sebagai bentuk penolakan terhadap plastik sekali pakai.
Bagi mereka, tumbler bukan hanya alat, melainkan simbol gaya hidup sehat dan ramah lingkungan. Kesadaran ini tumbuh seiring paparan informasi tentang krisis sampah plastik yang hampir setiap hari mereka baca dan lihat.
Di Indonesia, tumbler juga berkembang menjadi fenomena sosial. Banyak orang rela mengeluarkan biaya lebih untuk membeli tumbler dengan desain terbaru, bahkan menjadikannya penanda status sosial.
Tren tumbler dipengaruhi oleh keinginan untuk terlihat trendi sekaligus menunjukkan kepedulian. Tidak heran jika tumbler kini sering dijadikan souvenir acara, hadiah perusahaan, hingga bagian dari kampanye lingkungan.
Namun, popularitas tumbler juga menghadirkan tantangan. Produk murah berbahan plastik kadang tidak tahan lama, sehingga justru berpotensi menambah sampah baru.
Edukasi konsumen tentang memilih tumbler berkualitas menjadi penting.
Di sisi lain, inovasi material ramah lingkungan seperti bioplastik dan bambu mulai diperkenalkan, memberi harapan bahwa tumbler akan semakin berkontribusi pada keberlanjutan.
Kasus tumbler yang sempat viral di KRL seakan menegaskan bahwa tumbler kini bukan sekadar botol minum. Ia telah menjelma menjadi simbol kecil yang merepresentasikan gaya hidup modern, kepedulian sosial, dan komitmen terhadap bumi. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Fenomena Tumbler: Dari Kisruh di KRL hingga Simbol Gaya Hidup Modern
| Pewarta | : Hermanto |
| Editor | : Ronny Wicaksono |