TIMES MALANG, MALANG – Coba kita ambil jeda sejenak. Satu dekade terakhir, Indonesia telah mencapai kematangan digital yang luar biasa. Kita cepat belajar, adaptif, dan mahir menggunakan perangkat digital. Dengan satu sentuhan, kita mampu memproduksi, menyunting, menyebarkan, dan memviralkan konten dalam hitungan detik. Tetapi di balik kehebatan teknis itu, ada paradoks besar yang mengancam fondasi sosial kita: budaya dan etika bermedia sosial justru runtuh pada saat kita paling membutuhkan keduanya.
Di titik inilah muncul bencana sesungguhnya. Kombinasi kecakapan teknis tanpa karakter moral melahirkan praktik mengerikan yang populer disebut digital vigilantism aksi main hakim sendiri di dunia maya.
Ini bukan lagi sekadar agresivitas warganet, melainkan transformasi massa digital yang mengangkat dirinya sebagai hakim yang mengadili, memvonis, dan menghukum orang lain hanya dengan modal jempol. Publik memindahkan ruang sidang dari pengadilan negara ke kolom komentar dan timeline, lalu menjadikan like, share, dan retweet sebagai palu putusan.
Kenapa fenomena ini begitu mudah meledak di Indonesia? Karena orientasi Literasi Digital kita selama ini pincang sejak awal. Jika kita mengibaratkan Digital Skill sebagai pedal gas, dan Digital Ethics serta Digital Culture sebagai rem, maka data Indeks Literasi Digital 2020–2023 menunjukkan masalahnya secara telanjang.
Digital Skill kita tinggi, bahkan mencapai skor 3,52 dari skala 5. Artinya, masyarakat sangat mahir menginjak gas menggunakan teknologi untuk mengoordinasi, mengabadikan, dan memviralkan konten dengan presisi dan kecepatan. Namun pada saat yang sama, rem kita blong: skor Digital Ethics hanya 3,12 dan Digital Culture bahkan lebih rendah, 3,04. Kita adalah bangsa yang terampil memainkan senjata digital tapi tidak dilengkapi mekanisme kendali moral yang memadai.
Kombinasi itu adalah resep sempurna untuk bencana sosial. Ketika seseorang diduga melakukan kesalahan, struktur emosi publik dapat tersulut dalam waktu singkat, dan massa digital merasa sah menjatuhkan hukuman.
Di titik ini, hukum negara kehilangan otoritasnya, digantikan oleh fenomena viral justice keadilan yang ditentukan bukan oleh bukti dan mekanisme hukum, melainkan oleh kecepatan viralnya konten dan intensitas amarah publik.
Kerusakan reputasi yang ditimbulkan seringkali tidak dapat dipulihkan, bahkan ketika pengadilan akhirnya menyatakan ketidakbersalahan pelaku. Prinsip praduga tak bersalah seperti kehilangan tempat di hadapan sidang kolektif media sosial.
Ruang digital pun ikut berubah bentuk. Ia bukan lagi ruang deliberasi rasional seperti yang dibayangkan para ahli demokrasi digital, tetapi lahan teater emosional yang memperdagangkan sensasi. Narasi yang membakar lebih laku daripada fakta. Keinginan menghukum lebih bergaung ketimbang dorongan untuk memverifikasi. Yang lahir adalah populisme hukuman keyakinan bahwa kemarahan publik adalah otoritas tertinggi.
Di titik inilah Literasi Digital Sosial (LitDig-Sos) menjadi kebutuhan mendesak: bukan sekadar kemampuan teknis menggunakan teknologi, tetapi kemampuan sosial mengendalikan teknologi agar tidak menyakiti orang lain.
LitDig-Sos menuntut revolusi karakter. Dua elemen yang paling penting adalah empati dan tabayyun. Empati digital adalah kesadaran bahwa di balik layar, di balik nama akun, ada manusia dengan perasaan, keluarga, dan masa depan. Ini adalah pilar pertama untuk menahan dorongan membully, memaki, atau mempermalukan orang lain.
Sementara tabayyun digital adalah imunitas paling kuat terhadap viral justice: kemampuan menunda respons emosional, memverifikasi fakta, dan tidak ikut menghakimi sebelum kebenaran tervalidasi. Tanpa kedua kemampuan ini, masyarakat akan terus mudah diprovokasi oleh disinformasi dan hoaks yang jumlahnya menurut catatan Kominfo telah mencapai 12.547 isu hingga akhir 2023. Ini adalah tumpukan bensin sosial yang siap terbakar kapan saja.
Kita juga harus mengingat bahwa konsekuensi digital vigilantism bukan hanya sosial, tetapi juga legal dan psikologis. Pelaku doxxing dan online shaming dapat dijerat UU ITE. Namun korban jauh lebih menanggung beban: stigma sosial digital bersifat permanen.
Rekam jejak penghinaan dan pencemaran nama baik tidak menghilang begitu saja ia dapat dicari, diakses, dan dipakai untuk menstigma kapan pun. Berbeda dengan sanksi sosial tradisional yang memudar seiring waktu, memori digital tidak mengenal prinsip rehabilitasi.
Maka, panggilan ini bukan sekadar ajakan teoritis. Ini adalah seruan untuk menyelamatkan kemanusiaan kita di tengah dunia digital. Literasi Digital Sosial bukan sekadar pelatihan tentang aplikasi terbaru, tetapi tentang bagaimana kita kembali menempatkan akal sehat di atas amarah, etika di atas keterampilan, dan tabayyun di atas viralitas. Menghentikan digital vigilantism berarti mengembalikan keadilan ke ruangnya yang sah ke institusi hukum, bukan ke ruang komentar.
Keadilan adalah urusan yang serius, dan harus diselamatkan dari jebakan like dan retweet. Menurunkan jempol kita kadang jauh lebih bermoral daripada mengangkatnya. Karena di era ketika semua orang bisa menghukum, kebesaran seseorang justru terlihat dari kemampuannya untuk menahan diri. (*)
***
*) Oleh : Dian Asmi Setoningsih, Pendidik Thursina IIBS.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |