TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Islam bukan hanya agama yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah), tetapi juga agama yang membentuk hubungan antar sesama manusia (hablum minannas). Ajaran Islam mencakup banyak aspek kehidupan, mulai dari ibadah ritual, ekonomi, sosial, hingga politik.
Oleh sebab itu, memisahkan Islam dari politik sama saja dengan mengabaikan salah satu aspek penting di dalam ajaran Islam itu sendiri. Namun, selama ini politik seringkali dipandang sebagai sesuatu yang “kotor” dan penuh dengan kepentingan duniawi.
Akibatnya, banyak umat islam yang enggan untuk terlibat di dalam politik, bahkan menganggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan. Di samping itu, ada juga kelompok yang justru menggunakan Islam sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan, tanpa benar-benar mengutamakan kepentingan umat.
Lantas, bagaimana seharusnya Islam dan politik berinteraksi? Apakah mungkin keduanya dapat berjalan berdampingan tanpa mendominasi? Bagaimana Islam dapat memberikan kontribusi dalam membentuk kehidupan politik yang lebih adil dan bermoral?
Islam dan Politik dalam Sejarah dari Kekhalifahan hingga Modern
Sejarah Islam menunjukkan bahwa sejak awal, Islam mempunyai hubungan erat dengan politik. Hal tersebut terkait pada zaman Nabi Muhammad SAW yang bukan hanya seorang pemimpin spiritual, tetapi juga seorang pemimpin politik yang mengatur masyarakat Madinah dengan berdasarkan prinsip-prinsip Islam.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, kepemimpinan umat Islam diteruskan oleh para khalifah yang pada awalnya masih berpegang pada prinsip musyawarah dan keadilan. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, sistem politik dalam Islam mengalami banyak perubahan.
Dari masa kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah yang lebih monarki, hingga ke era kolonialisme yang menggeser peran Islam di dalam politik. Umat Islam terus menghadapi tantangan dalam mempertahankan peran politik mereka.
Pada era modern, muncul berbagai pemikir Islam yang mencoba untuk mengembalikan peran Islam dalam politik. Pemikir seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Al-Mawardi, Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, dan Ibn Abd al-Wahhab mengajukan konsep bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga sistem sosial dan politik yang harus mampu menyesuaikan diri dengan zamannya (Ridwan, 2017).
Di Indonesia sendiri, peran Islam di dalam politik sangat terasa sejak awal kemerdekaan. Dari perdebatan mengenai dasar negara hingga lahirnya berbagai partai politik berbasis Islam, umat Islam selalu aktif di dalam membentuk arah kebijakan nasional.
Namun, dengan ditetapkannya Pancasila sebagai asas tunggal, tantangan bagi umat Islam ialah bagaimana menjadikan nilai-nilai Islam dapat relevan di dalam politik tanpa harus bertentangan dengan prinsip negara yang majemuk (Mahfudh, 2014).
Islam dan Politik di Indonesia
Di Indonesia, hubungan antara Islam dengan politik seringkali diwarnai berbagai dinamika. Di satu sisi, Islam dapat menjadi inspirasi bagi banyak kebijakan publik, baik di dalam bidang sosial, ekonomi, maupun hukum.
Tetapi, di sisi lain terdapat kecenderungan politisasi agama, di mana Islam dijadikan alat untuk kepentingan politik tertentu misalnya di dalam pemilihan umum yang seringkali kita melihat bagaimana simbol-simbol Islam digunakan untuk meraih suara, tanpa benar-benar mengimplementasikan nilai-nilai Islam di dalam kebijakan yang dibuatnya.
Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap politik kian menurun, karena melihat bahwa agama hanya dijadikan alat, bukan sebagai sebuah pedoman moral yang sejati. Namun, bukan berarti politik Islam tidak mempunyai dampak yang positif.
Banyak kebijakan di Indonesia yang terinspirasi dari ajaran Islam, misalnya sistem ekonomi syariah yang kian berkembang, kebijakan pendidikan yang berbasis nilai-nilai Islam, hingga ke berbagai gerakan sosial yang berlandaskan nilai-nilai keislaman.
Sehingga penting untuk membangun politik yang berlandaskan Islam dengan pendekatan yang inklusif dan berkeadilan, Islam perlu hadir di dalam politik sebagai sumber nilai dan moralitas, bukan sebagai alat untuk kepentingan sesaat.
Islam dan Politik di dalam Ruang Publik
Salah satu contoh menarik bagaimana Islam dan politik dapat bersatu di dalam ruang publik adalah fenomena takbiran di Daerah Istimewa Yogyakarta. Takbiran yang biasanya identik dengan pawai keliling dan gema takbir.
Di beberapa daerah juga menjadi ajang dalam menyuarakan aspirasi sosial dan politik, misalnya di dalam perayaan takbiran di Daerah Istimewa Yogyakarta, tepatnya di salah satu masjid mantrijeron terdapat sekelompok remaja masjid yang memanfaatkan momen tersebut guna menyampaikan kritik terhadap berbagai kebijakan publik.
***
*) Oleh : Nugroho Dwisatria Semesta, Mahasiswa Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Widya Mataram Yogyakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |