TIMES MALANG, MALANG – Dalam upaya meningkatkan akses pendidikan, khususnya bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah, pemerintah telah meluncurkan program Sekolah Rakyat. Konsep ini berawal dari semangat luhur yakni menggunakan pendidikan untuk memutus siklus kemiskinan.
Pendidikan dianggap sebagai cara paling efektif untuk menciptakan berbagai kemungkinan, meningkatkan kualitas hidup, dan mempersiapkan generasi mendatang agar terhindar dari siklus ketidakberdayaan. Namun demikian, sejumlah kekhawatiran penting muncul dari tujuan mulia ini. Apakah kebijakan ini benar-benar merupakan langkah terbaik? Atau justru memperkuat kebijakan yang tumpang tindih yang sudah ada di bidang pendidikan?
Sesuai prinsip pendidikan, pendirian Sekolah Rakyat tidak boleh dianggap remeh sebagai proyek baru, karena juga dipengaruhi oleh efisiensi penggunaan anggaran. Jika Sekolah Rakyat juga membutuhkan ruang khusus untuk administrasi, guru, dan infrastruktur, pertanyaannya adalah: dapatkah sumber daya yang ada digunakan secara tepat dan aman? Sekalipun baru berdiri, organisasi tersebut seharusnya tetap mampu meningkatkan mutu sekolah nonformal maupun reguler yang sudah ada.
Pendekatan ideal terhadap pendidikan tidak melemahkan birokrasi yang memadai, yang berarti memperkuat sistem yang ada agar lebih inklusif. Jika tujuan utamanya adalah meningkatkan akses bagi anak-anak miskin, bukankah lebih masuk akal untuk memastikan sekolah-sekolah di seluruh negeri gratis dan memiliki fasilitas yang memadai? Atau memastikan PKBM yang sudah ada dapat berfungsi dengan baik? Efisiensi anggaran merupakan komponen kunci untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak menghambat pembangunan baru, melainkan menguraikan perubahan yang terjadi bagi siswa dengan jelas.
Jika memang biaya adalah hambatan bagi keberlangsungan Pendidikan bagi mereka, mengapa pemerintah tidak menggratiskan pendidikan di lembaga pendidikan yang sudah ada jika kendala anggaran menjadi masalah utamanya?
Di banyak daerah, sekolah-sekolah reguler masih menghadapi masalah yang sama, antara lain: kekurangan guru, fasilitas yang tidak memadai, dan kemungkinan harus melakukan reorganisasi karena menurunnya jumlah siswa.
Bukankah akan lebih bermanfaat untuk memperkuat sekolah-sekolah yang sudah ada ini dengan dana besar yang dialokasikan untuk Sekolah Rakyat? Lembaga pendidikan yang telah lama berdiri dapat menjadi lebih tangguh, inklusif, dan lebih siap melayani siswa kurang mampu dengan cara ini.
Kemungkinan tumpang tindih kebijakan merupakan masalah serius. Kenyataannya, fragmentasi layanan seringkali terjadi ketika perusahaan baru ditambahkan ke dalam sistem pendidikan. Kebijakan justru dapat menimbulkan kebingungan alih-alih meningkatkan akses dimana PKBM memiliki jalur nonformal, sekolah formal memiliki segala keterbatasannya, dan Sekolah Rakyat memiliki dana, aturan, dan sumber daya manusia yang terpisah. Upaya signifikan yang ditujukan untuk mengatasi masalah-masalah mendasar dapat menjadi terfragmentasi jika tidak ada koordinasi yang kuat.
Efisiensi, integrasi, dan keberlanjutan desain Sekolah Rakyat pada akhirnya akan menentukan tingkat keberhasilannya. Sekolah Rakyat berpotensi menjadi beban tambahan bagi sistem jika tetap menjadi usaha baru tanpa kolaborasi dengan PKBM, sekolah umum, atau lembaga pendidikan lainnya.
Sekolah Rakyat dapat menjadi wadah transformatif bagi siswa miskin untuk menemukan jalan hidup yang lebih baik jika benar-benar diciptakan sebagai pusat inovasi, dengan instruktur sebagai pembimbing jiwa dan kurikulum digital yang kontekstual.
Memberikan pengalaman belajar yang membebaskan lebih penting daripada sekadar memangkas biaya pendidikan bagi anak-anak kurang mampu. Oleh karena itu, setiap strategi pendidikan harus dinilai tidak hanya dari sudut pandang administratif, tetapi juga berdasarkan sejauh mana strategi tersebut benar-benar memiliki efek transformatif terhadap manusia yang terlibat. Sekolah Rakyat dapat berkembang menjadi kebijakan yang signifikan secara politis sekaligus membebaskan secara sosial jika gagasan ini dihormati.
Sekolah Rakyat diharapkan dapat menyediakan peluang bagi pengajaran yang inovatif. Fleksibilitasnya dalam kurikulum merupakan aset terbesarnya. Manfaatnya akan kecil jika hanya ditujukan untuk mereplikasi kurikulum sekolah tradisional.
Inisiatif ini dapat menjadi landasan uji coba yang bermanfaat bagi pendidikan alternatif jika kontennya disesuaikan dengan situasi lokal. Siswa akan lebih mudah memahami dan mengembangkan rasa bangga terhadap identitas budaya mereka jika mereka menerima pendidikan berbasis keahlian lokal.
Misalnya, di wilayah pesisir, kurikulum dapat mencakup pengetahuan maritim, konservasi, dan pengolahan hasil laut. Di wilayah pertanian, pembelajaran dapat difokuskan pada keterampilan pertanian modern, pengolahan pascapanen, dan kewirausahaan lokal.
Kurikulum yang fleksibel seharusnya tidak menghalangi siswa di Sekolah Rakyat untuk mempelajari peristiwa-peristiwa dunia. Karena budaya digital merasuki setiap aspek kehidupan modern, anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah sangat berisiko tertinggal jika mereka tidak memiliki keterampilan digital yang diperlukan. Oleh karena itu, keterampilan hidup digital harus diintegrasikan ke dalam kurikulum secara keseluruhan.
Dalam masyarakat yang semakin bergantung pada teknologi, literasi digital tidak hanya mencakup penggunaan gawai, tetapi juga pengelolaan informasi, pembangunan jaringan, dan bahkan penciptaan prospek kerja baru. Dalam hal ini, pendidikan berfungsi lebih dari sekadar formalitas administratif; pendidikan sebenarnya berfungsi sebagai alat mobilitas sosial.
Selain kecakapan teknis dan konten intelektual, Sekolah Rakyat harus menyediakan ruang yang memadai untuk pengembangan karakter. Anak-anak yang tumbuh dalam kondisi ekonomi yang sulit dapat mengalami stigma sosial, harga diri yang rendah, dan kesulitan psikologis.
Kurikulum yang berkualitas seharusnya membantu anak-anak dalam membangun rasa percaya diri, meningkatkan kemampuan komunikasi, mengembangkan keterampilan sosial, dan mengembangkan pemikiran kritis dan kooperatif. Dalam dunia yang semakin kompetitif, semua ini merupakan pilar penting bagi mereka untuk tidak hanya bertahan hidup tetapi juga bersaing secara terhormat.
Peran guru menjadi sangat penting dalam situasi ini. Tanpa guru yang terlatih, kurikulum dan fasilitas Sekolah Rakyat yang luar biasa akan sia-sia. Guru adalah pembimbing jiwa sekaligus pendidik. Mereka membimbing, menginspirasi, dan mendorong anak-anak untuk mengatasi rasa ketidakberdayaan mereka.
Guru seringkali memainkan peran krusial dalam memberikan harapan kepada anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah dengan memberikan informasi serta keyakinan bahwa masa depan yang lebih cerah itu mungkin.
Oleh karena itu, sangat penting bagi para guru untuk mempersiapkan Sekolah Rakyat dengan sangat tekun. Guru yang ingin menerapkan strategi pengajaran yang menarik di kelas harus memiliki keterampilan pedagogis yang inovatif dan fleksibel.
Faktanya, terdapat banyak pilihan pembelajaran kreatif dengan fasilitas yang disediakan pemerintah. Kesulitannya terletak pada bagaimana para pendidik dapat memanfaatkan perangkat-perangkat ini sebaik mungkin, yang bukan sekadar tambahan resmi.
Guru juga perlu menyadari latar belakang sosial ekonomi siswanya. Siswa membutuhkan empati, inklusivitas, dan kemampuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang positif agar merasa dihargai dan terinspirasi.
Guru juga harus berperan sebagai fasilitator dan motivator. Akibat stigma sosial, anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah sering mengalami kesulitan psikologis.
Guru hadir untuk membantu siswa mengembangkan rasa percaya diri, membantu mereka menyadari potensi mereka, dan memotivasi mereka untuk terus maju dalam situasi seperti ini. Selain mengajarkan hal-hal akademis, pendidik yang memiliki kualitas ini menanamkan optimisme pada siswa mereka.
Guru juga harus menguasai teknologi pembelajaran di era digital ini. Dengan fasilitas yang relatif baik, Sekolah Rakyat memberi para pendidik kesempatan untuk menggunakan aplikasi pembelajaran, media digital, dan teknik pembelajaran campuran yang sederhana namun efisien.
Agar siswa tidak tertinggal dalam budaya digital, penguasaan teknologi bukan sekadar nilai tambah, melainkan persyaratan dasar. Pendidikan di Sekolah Rakyat dapat menjadi jembatan untuk menjembatani kesenjangan digital jika keterampilan ini diserap.
Sekolah Rakyat pada akhirnya hanya akan menjadi catatan tambahan dalam sejarah kebijakan pendidikan jika tidak dikelola dengan serius dan berkolaborasi dengan sistem yang sudah ada. Jika dirancang dengan visi transformatif, ia bisa menjadi jalan baru bagi anak-anak miskin untuk menemukan masa depan yang lebih bermartabat.
***
*) Oleh : Sulistyowati, M.Pd., Kepala MA Al Hidayah Wajak.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |