TIMES MALANG, MALANG – Pajak selalu menjadi topik yang hangat, bahkan sering kali panas membakar meja diskusi publik. Di Indonesia, setiap kali wacana kenaikan pajak muncul, suara rakyat ikut bergetar. Ada yang pasrah karena merasa tidak berdaya, ada yang marah karena merasa diperas, dan ada pula yang apatis karena yakin uang pajak tak sampai pada tempatnya.
Namun, bagaimana sebenarnya pajak dipandang dalam perspektif Islam? Adakah ruang legitimasi bagi sebuah negara untuk menarik harta rakyatnya di luar zakat yang sudah diwajibkan syariat?
Dalam Islam, kewajiban finansial yang utama adalah zakat. Zakat bukan hanya sekadar pungutan, melainkan ibadah yang mengikat langsung hubungan hamba dengan Allah sekaligus memperkuat ikatan sosial.
Ia memiliki aturan jelas: nishab, haul, kadar, dan mustahik (penerima). Transparan dan pasti. Tidak ada ruang bagi manipulasi, sebab syariat mengatur detailnya secara tuntas.
Pajak berbeda. Ia bukan berasal dari nash yang eksplisit, melainkan lahir dari kebutuhan praktis sebuah negara untuk mengelola pemerintahan dan membiayai pembangunan. Maka, para ulama berbeda pendapat tentang legitimasi pajak.
Sebagian menolak dengan keras, menganggap cukup zakat sebagai satu-satunya pungutan resmi. Namun sebagian lain terutama ulama kontemporer melihat pajak sebagai instrumen darurat ketika zakat saja tidak mencukupi kebutuhan negara. Dengan syarat, pajak harus adil, transparan, dan tidak memberatkan.
Pajak dalam Sejarah Islam
Jika menengok sejarah, praktik pungutan di luar zakat sebenarnya pernah terjadi. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, dikenallah kharaj (pajak tanah) dan jizyah (pajak bagi non-Muslim sebagai kompensasi perlindungan negara).
Kedua instrumen ini digunakan bukan untuk memperkaya penguasa, melainkan untuk menjamin stabilitas negara dan kesejahteraan rakyat. Umar bahkan terkenal ketat dalam memastikan pajak tidak berubah menjadi alat penindasan.
Prinsip keadilan menjadi ruh utama. Tidak ada rakyat yang dibebani di luar kemampuannya. Jika tanah tidak produktif karena bencana, kharaj bisa dihapuskan.
Jika seorang non-Muslim jatuh miskin atau tua renta, jizyah tidak lagi ditarik, bahkan negara justru memberikan santunan. Pajak dalam Islam tidak boleh menjerumuskan rakyat dalam kesulitan, apalagi hanya untuk menutupi borosnya penguasa.
Realitas Pajak di Indonesia
Sayangnya, jika menengok praktik pajak di negeri ini, prinsip-prinsip keadilan Islam itu sering kali dilanggar. Pajak masih dianggap sebagai beban, bukan kontribusi sukarela untuk pembangunan.
Korupsi di sektor perpajakan menambah luka rakyat. Rakyat dipaksa bayar, sementara pejabat bebas bermain-main dengan angka. Pajak seperti darah yang diambil dari tubuh rakyat, tapi alirannya justru menguatkan segelintir elite.
Padahal, dalam Islam, setiap harta yang ditarik dari rakyat adalah amanah. Amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Maka jika negara gagal mengelola pajak dengan adil dan transparan, sejatinya ia telah berkhianat pada mandat rakyat dan melanggar nilai-nilai syariat.
Islam tidak menolak pajak, tapi memberikan pagar yang jelas: keadilan, transparansi, dan proporsionalitas. Jika pajak justru menjadi instrumen keserakahan, maka ia berubah wajah dari instrumen maslahat menjadi alat zalim.
Masyarakat muslim Indonesia tentu berharap, pajak tidak hanya dilihat sebagai “kewajiban negara” semata, melainkan juga dijalankan dengan semangat zakat: membersihkan, menyejahterakan, dan menegakkan keadilan sosial.
Pajak yang dikumpulkan seharusnya kembali pada rakyat dalam bentuk fasilitas publik, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Bukan malah tersedot habis untuk birokrasi yang gemuk dan gaya hidup pejabat.
Pajak dalam perspektif Islam bukan sekadar urusan angka atau regulasi, melainkan soal moralitas dan tanggung jawab. Jika dikelola dengan benar, pajak bisa menjadi instrumen keadilan sosial, penopang kesejahteraan, dan jembatan menuju rahmat bagi seluruh rakyat. Namun jika disalahgunakan, pajak berubah menjadi wajah baru perampokan yang dilegalkan negara.
Islam mengajarkan, sebaik-baik harta bukan yang menumpuk di rekening penguasa, melainkan yang mengalir untuk kemaslahatan umat. Maka, sudah saatnya pajak di negeri ini ditata bukan hanya dengan kalkulator fiskal, tapi juga dengan timbangan keadilan ilahi.
***
*) Oleh : Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |