https://malang.times.co.id/
Opini

Beasiswa KIP Kuliah yang Menjadi Dagangan Politik

Minggu, 21 September 2025 - 21:32
Beasiswa KIP Kuliah yang Menjadi Dagangan Politik Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.

TIMES MALANG, MALANG – Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara. Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas menegaskan bahwa negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun di lapangan, hak itu sering kali dipangkas oleh kepentingan sempit. 

Salah satu contohnya terlihat dalam program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, yang sejatinya didesain untuk membuka pintu perguruan tinggi bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Ironisnya, pintu itu kini sering dijaga oleh mereka yang seharusnya bukan pemilik kunci: para politisi.

KIP Kuliah mestinya murni diberikan berdasarkan asas keadilan, pemerataan, dan transparansi. Tetapi dalam praktik, banyak cerita beredar bahwa kuota KIP Kuliah justru didistribusikan melalui jaringan politisi, khususnya anggota legislatif. 

Lebih parah lagi, kuota itu diperdagangkan. Ada yang mengaku harus membayar “uang administrasi” jutaan rupiah untuk bisa masuk daftar penerima. Fenomena ini jelas merusak semangat program dan mengkhianati cita-cita pendidikan.

Bayangkan, seorang anak cerdas dari keluarga buruh tani yang tidak punya uang, terpaksa gigit jari karena tak mampu menyetor kepada makelar politik. Sementara itu, anak dari keluarga cukup mampu bisa mendapatkan beasiswa hanya karena orang tuanya dekat dengan jaringan tertentu. Pendidikan akhirnya bukan lagi soal prestasi atau kebutuhan, tetapi soal akses terhadap lingkar kekuasaan.

Masalah ini bukan sekadar isu moral, tetapi juga struktural. Sistem distribusi kuota yang tidak transparan membuka ruang gelap untuk praktik percaloan. Di banyak daerah, nama anggota dewan sering disebut-sebut sebagai “penentu” siapa yang dapat dan siapa yang tidak. 

Bahkan ada yang terang-terangan menjanjikan KIP Kuliah ketika masa kampanye, seolah-olah itu adalah bagian dari modal politik pribadi. Padahal, dana KIP Kuliah adalah uang rakyat yang dikelola negara, bukan warisan keluarga politisi.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana kebijakan pendidikan bisa direduksi menjadi alat patronase politik. Kuota KIP Kuliah diperlakukan layaknya jatah proyek atau kursi CPNS, yang bisa dinegosiasikan. 

Padahal, pendidikan adalah pintu mobilitas sosial yang mestinya steril dari permainan kotor. Ketika pintu itu dijadikan barang dagangan, maka yang miskin akan tetap miskin, dan yang punya akses politik akan semakin berkuasa.

Pertanyaan mendasar muncul: di mana peran negara? Bukankah Kementerian Pendidikan, perguruan tinggi, dan lembaga pengawas seharusnya memastikan distribusi beasiswa ini berlangsung bersih? 

Faktanya, lemahnya sistem pengawasan membuat praktik ini berjalan tanpa malu. Data penerima tidak dipublikasikan secara terbuka. Mekanisme verifikasi sering kali dilakukan secara tertutup, sehingga sulit dikontrol publik. Akibatnya, pintu gelap semakin lebar.

Pendidikan seharusnya menjadi arena meritokrasi, tempat anak-anak bangsa bersaing berdasarkan kemampuan, bukan berdasarkan siapa orang tuanya kenal. 

Namun praktik jual-beli kuota KIP Kuliah adalah bentuk nyata dari erosinya keadilan sosial. Anak-anak miskin yang semestinya ditolong justru tersingkir, sementara kesempatan emas diserobot oleh mereka yang punya uang atau akses politik.

Lebih ironis lagi, praktik ini sering kali dibiarkan karena dianggap “sudah biasa.” Publik seakan terbiasa dengan fakta bahwa semua program pemerintah rawan dipolitisasi. Inilah yang disebut normalisasi kebusukan: ketika yang tidak normal dipaksa dianggap normal. 

Padahal, jika kita terus diam, maka generasi yang lahir dari sistem seperti ini akan tumbuh dengan mental pragmatis: menganggap pendidikan hanyalah komoditas, bukan ruang pembebasan.

Kritik ini tidak dimaksudkan untuk menolak KIP Kuliah sebagai program. Sebaliknya, program ini adalah terobosan penting yang harus dijaga. Namun, yang harus dikoreksi adalah pola distribusinya. KIP Kuliah harus dikembalikan kepada ruh awalnya: untuk anak miskin berprestasi, bukan untuk kepentingan politisi.

Beberapa langkah bisa dipertimbangkan. Pertama, pemerintah wajib membuka data penerima secara transparan di ruang publik, agar masyarakat bisa ikut mengawasi. 

Kedua, seleksi harus benar-benar berbasis data kemiskinan dan capaian akademik, bukan rekomendasi politisi. 

Ketiga, aparat penegak hukum harus berani menindak praktik jual-beli kuota ini, karena jelas-jelas memenuhi unsur korupsi dan gratifikasi.

Jika langkah-langkah itu tidak diambil, maka KIP Kuliah hanya akan menjadi ilusi keadilan, sekadar simbol tanpa makna. Negara akan gagal menjalankan mandat konstitusi, sementara generasi miskin akan terus tertinggal.

Pendidikan bukanlah barang dagangan, dan beasiswa bukanlah alat tawar-menawar politik. Selama praktik jual-beli kuota ini masih ada, maka cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa hanya akan menjadi retorika yang kosong. 

Sudah saatnya kita bersuara lantang: hentikan praktik kotor yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas kekuasaan. Karena ketika akses pendidikan diperdagangkan, maka yang sesungguhnya dijual adalah masa depan bangsa itu sendiri.

***

*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.