https://malang.times.co.id/
Opini

Kebebasan Pers di Ujung Tanduk

Minggu, 21 September 2025 - 20:00
Kebebasan Pers di Ujung Tanduk Muhammad Dzunnurain, Jurnalis dan Founder Media Komunitas Harian Cendekia.

TIMES MALANG, MALANG – Kebebasan pers adalah oksigen bagi demokrasi. Ia membuat kekuasaan bisa dipertanyakan, kebijakan bisa diperdebatkan, dan rakyat bisa didengar. Tanpa pers yang bebas, demokrasi hanya tinggal papan nama: tampak gagah dari luar, tetapi rapuh dari dalam. 

Sayangnya, belakangan ini, oksigen itu semakin tipis. Ruang ekspresi menyempit, suara kritis dibungkam, dan kebebasan pers kian hari kian menuju erosi.

Kita bisa melihat gejalanya di banyak tempat. Jurnalis diintimidasi ketika meliput aksi unjuk rasa. Media dibayangi sensor halus lewat tekanan iklan dan kepentingan politik. Konten kritis di media sosial dilabeli “meresahkan” lalu diturunkan. 

Perlahan, masyarakat mulai terbiasa bahwa kritik dianggap dosa, sementara penguasa menjelma suci tak tersentuh. Ini bukan lagi tanda sehatnya demokrasi, melainkan gejala otoritarianisme yang sedang menguat.

Padahal, jika kita kembali ke sejarah, kebebasan pers lahir dari rahim Reformasi 1998. Kala itu, rakyat menumbangkan rezim yang selama puluhan tahun memonopoli narasi dan menutup telinga dari kritik. Pers menjadi salah satu garda depan perubahan: mengungkap korupsi, membuka ruang publik, dan memberi panggung bagi suara yang lama dibisukan. 

Ironisnya, dua dekade setelah itu, sejarah seolah berputar balik. Ruang yang dulu dibuka dengan darah dan air mata, kini hendak dipersempit dengan alasan “stabilitas” dan “keamanan”.

Alasan itu selalu sama: menjaga ketertiban. Namun, kita tahu, ketertiban yang dibangun di atas pembungkaman justru rapuh. Kritik yang dipaksa bungkam akan mencari jalan lain: dari ruang diskusi, panggung seni, sampai media sosial bawah tanah. 

Dan ketika kritik terus ditekan, ia bisa meledak jadi amarah yang lebih besar. Negara semestinya belajar bahwa kebebasan berekspresi bukan ancaman, melainkan katup pengaman agar demokrasi tetap hidup.

Kekhawatiran soal erosi kebebasan pers juga datang dari berbagai lembaga internasional. Laporan tahunan Amnesty International menyoroti bahwa Indonesia mengalami kemunduran dalam hal kebebasan sipil. 

Indeks kebebasan pers dunia pun menempatkan Indonesia di posisi yang kian merosot. Angka-angka ini bukan sekadar statistik; ia adalah alarm bahwa demokrasi kita sedang sesak napas.

Masalah lain yang memperparah keadaan adalah regulasi yang sering multitafsir. UU ITE, misalnya, berkali-kali digunakan untuk menjerat kritik di media sosial. Alih-alih melindungi masyarakat dari hoaks dan ujaran kebencian, aturan ini kerap berubah jadi palu godam untuk memukul lawan politik atau aktivis kritis.

Akibatnya, masyarakat hidup dalam bayang-bayang ketakutan: ingin bicara, tapi khawatir dipidana. Ingin menulis, tapi takut diseret ke pengadilan.

Kondisi ini menimbulkan apa yang disebut chilling effect efek gentar yang membuat orang memilih diam meski sebenarnya punya sesuatu untuk dikatakan. Demokrasi tanpa kritik ibarat rumah tanpa jendela: pengap, gelap, dan penuh risiko kebusukan dari dalam.

Namun, di tengah kabut pekat ini, harapan tidak sepenuhnya padam. Masih ada jurnalis yang berani, media independen yang teguh, serta masyarakat sipil yang tak lelah bersuara. 

Mereka adalah lilin kecil di tengah kegelapan, menjaga agar demokrasi tidak benar-benar mati lampu. Pertanyaannya, sampai kapan lilin itu bisa bertahan jika angin represi terus bertiup?

Pemerintah sebenarnya punya pilihan sederhana: mendengar, bukan membungkam. Mengakui kritik sebagai masukan, bukan ancaman. Memperlakukan pers sebagai mitra demokrasi, bukan lawan politik. 

Sejarah menunjukkan, negara-negara yang menghormati kebebasan pers justru lebih stabil, lebih maju, dan lebih dipercaya oleh rakyatnya. Sebaliknya, negara yang membungkam kritik biasanya berakhir dengan krisis kepercayaan, gejolak sosial, bahkan kejatuhan rezim.

Kebebasan pers dan kebebasan berekspresi memang tidak absolut. Ia perlu diimbangi dengan tanggung jawab dan etika. Tapi mari kita jujur: yang terjadi saat ini bukanlah penegakan etika, melainkan pembungkaman sistematis. Perbedaan antara kritik dan fitnah sengaja dikaburkan, agar semua suara yang tidak sejalan bisa dilabeli “meresahkan”.

Di sinilah kita perlu menegaskan kembali: demokrasi tidak bisa hanya diukur dari jumlah pemilu atau kursi parlemen. Demokrasi juga diukur dari seberapa bebas rakyatnya berbicara, seberapa aman jurnalis menulis, dan seberapa lapang ruang publik untuk perdebatan. Jika kebebasan itu terus menyempit, maka demokrasi kita tinggal formalitas belaka.

Kebebasan pers bukan hadiah, melainkan hak. Ia bukan kemurahan hati penguasa, melainkan bagian dari kontrak sosial antara negara dan rakyatnya. Setiap kali negara mencoba mengikis kebebasan itu, rakyat harus mengingatkan: demokrasi tidak lahir dari sunyi, melainkan dari suara.

Kita tentu tidak ingin Indonesia kembali ke masa ketika suara hanya milik penguasa, dan rakyat dipaksa jadi penonton. Karena itu, menjaga kebebasan pers adalah menjaga masa depan. Pers yang bebas berarti rakyat yang bebas. Dan rakyat yang bebas adalah fondasi dari negeri yang berdaulat.

Maka, di tengah segala upaya membungkam, mari kita terus bersuara. Karena jika pers dibungkam, jika ekspresi dipasung, maka yang tersisa hanya diam yang mencekam. Dan kita tahu, diam seperti itu bukanlah damai, melainkan kuburan bagi demokrasi.

***

*) Oleh : Muhammad Dzunnurain, Jurnalis dan Founder Media Komunitas Harian Cendekia.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.