https://malang.times.co.id/
Opini

Kearifan Desa di Tengah Deru Modernitas

Minggu, 21 September 2025 - 16:10
Kearifan Desa di Tengah Deru Modernitas Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

TIMES MALANG, MALANG – Di tengah gegap gempita modernitas kota dengan lampu-lampu yang tak pernah padam, ada denyut kehidupan di desa yang tak kalah berharga. Desa sering dianggap sebagai “pinggiran”, padahal justru di sanalah akar kehidupan tumbuh dengan sederhana namun penuh makna. 

Hubungan antarwarga di desa sering kali menjadi cermin humanisme yang semakin langka di perkotaan: saling menyapa tanpa pamrih, gotong royong tanpa menunggu instruksi, dan solidaritas yang tumbuh dari hati, bukan dari kalkulasi keuntungan.

Masyarakat desa umumnya masih hidup dengan kesadaran kolektif. Saat satu rumah punya hajat, seluruh tetangga datang membantu. Saat ada duka, warga berbondong-bondong menguatkan, bahkan tanpa undangan. Tak ada agenda formal, cukup bisik-bisik antar rumah, maka kabar pun menyebar, tangan pun terulur.

Inilah wajah humanisme yang jarang ditemukan di kota. Di kota, sering kali orang hanya sibuk dengan jadwal pribadi, bahkan sekadar menyapa tetangga pun terasa berat. 

Di desa, interaksi bukan soal basa-basi, melainkan kebutuhan emosional. Kebersamaan adalah energi sosial yang membuat desa tetap hidup meski dihantam modernitas.

Jantung Kehidupan Sosial

Gotong royong adalah kearifan lokal yang kini terasa seperti barang antik. Di desa, gotong royong bukan jargon dalam pidato pejabat, melainkan praktik sehari-hari. 

Saat membangun rumah, warga datang tanpa diminta. Saat musim panen, tetangga ikut membantu, dengan imbalan bukan uang, melainkan makan siang sederhana dan rasa syukur.

Fenomena ini mengajarkan kita bahwa kehidupan tidak melulu soal transaksi. Ada nilai luhur yang tak ternilai: rasa memiliki satu sama lain. Humanisme desa lahir dari keyakinan bahwa kebahagiaan orang lain juga adalah kebahagiaan bersama.

Kota sering kali terjebak dalam individualisme. Orang sibuk dengan ponsel, bekerja hingga larut malam, dan merasa cukup dengan dunia maya. Namun, apa artinya semua itu bila rasa keterhubungan antarmanusia melemah? Di titik inilah desa memberi inspirasi. Desa mengajarkan bahwa teknologi boleh maju, tapi nurani jangan kering.

Bayangkan jika budaya gotong royong desa dihidupkan kembali di kota: lingkungan lebih bersih karena dikelola bersama, keamanan lebih terjaga karena semua peduli, dan rasa sepi yang membelenggu jiwa urban bisa berkurang. Nilai-nilai sederhana dari desa sesungguhnya adalah obat bagi krisis sosial perkotaan.

Humanisme Desa dalam Perspektif Pembangunan

Sayangnya, pembangunan sering kali melihat desa hanya sebagai objek, bukan subjek. Desa dianggap sekadar penerima program, bukan pemilik kearifan. Padahal, humanisme desa bisa menjadi modal sosial yang menopang pembangunan berkelanjutan.

Ketika pemerintah sibuk menyusun kebijakan, desa sudah punya pola manajemen sosialnya sendiri: musyawarah, kebersamaan, dan gotong royong. Nilai-nilai inilah yang seharusnya dijadikan inspirasi untuk mengelola bangsa. Sebab, negara yang besar tidak hanya dibangun dengan gedung pencakar langit, tapi juga dengan manusia-manusia yang peduli satu sama lain.

Tantangan terbesar desa hari ini adalah derasnya arus modernisasi. Anak muda desa banyak yang lebih suka merantau, membawa pulang gaya hidup individualistik kota, lalu perlahan hubungan sosial yang hangat itu memudar. Jika tidak dijaga, humanisme desa bisa terkikis oleh kapitalisme yang mengubah segalanya menjadi angka.

Maka, penting bagi masyarakat desa untuk tetap menjaga nilai-nilai luhur itu. Pemerintah pun sebaiknya tidak hanya fokus membangun infrastruktur fisik, tapi juga menumbuhkan ruang-ruang sosial di desa: balai pertemuan, kegiatan seni budaya, hingga revitalisasi tradisi lokal. Desa harus diberi tempat untuk berkembang tanpa kehilangan rohnya.

Humanisme desa adalah harta karun bangsa yang sering terlupakan. Di sana, kita belajar arti hidup yang sesungguhnya: bahwa manusia tidak bisa berjalan sendiri, bahwa kebahagiaan tumbuh saat berbagi, dan bahwa keberadaan kita bermakna karena ada orang lain di sekitar.

Ketika kota sibuk mengejar kemajuan, desa mengingatkan kita pada akar: hidup bukan sekadar soal materi, tapi juga soal hati. Maka, mari belajar dari desa. Belajar bagaimana sebuah kehidupan sederhana bisa menjadi inspirasi untuk menata bangsa yang lebih manusiawi.

***

*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.