https://malang.times.co.id/
Opini

Dirjen Pesantren dan Masa Depan Pendidikan Islam

Senin, 24 November 2025 - 21:32
Dirjen Pesantren dan Masa Depan Pendidikan Islam Agus Ikhwan Mahmudi, PC RMI NU Kabupaten Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Wacana pembentukan Direktorat Jenderal (Dirjen) Pesantren kembali menjadi perbincangan hangat di kalangan pemerhati pendidikan Islam. Sejak pengesahan UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, tuntutan agar negara memberi perhatian yang lebih serius terhadap lembaga pendidikan tertua di Indonesia itu memang semakin kuat. 

PC RMI NU Kabupaten Malang termasuk pihak yang aktif mendorong gagasan tersebut. Mereka melakukan silaturahmi kepada Rois Aam PBNU, menyampaikan aspirasi kepada Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin, serta menyiapkan kajian akademik bersama kampus dan dewan sebagai landasan pemikiran. Langkah ini menjadi penanda bahwa kebutuhan akan penguatan kelembagaan pesantren sudah masuk tahap mendesak dan tidak lagi bisa ditunda.

Pesantren memiliki sejarah panjang yang bahkan lebih tua dari republik ini sendiri. Dari lembaga inilah lahir generasi yang menjaga akhlak, membangun karakter bangsa, hingga ikut menyulut gerakan kemerdekaan. Banyak pihak mengibaratkan pesantren sebagai rel peradaban yang menjaga arah perjalanan bangsa tetap lurus. Namun zaman berubah, tantangan baru muncul, dan pesantren berada pada sebuah titik persimpangan. 

Di satu sisi, pesantren tetap menjadi pusat transmisi ilmu dan etika yang hidup dari tradisi. Di sisi lain, ia harus berhadapan dengan tuntutan administratif modern: regulasi yang terukur, pendataan yang akurat, pengakuan ijazah, akses pembiayaan, dan hubungan yang lebih intens dengan instansi pemerintah. Inilah konteks yang membuat gagasan Dirjen Pesantren menemukan relevansinya.

Bagi banyak kalangan, pembentukan Dirjen dianggap sebagai langkah strategis yang membawa banyak manfaat. Struktur baru di tingkat eselon I memungkinkan adanya fokus kebijakan yang lebih tajam. Selama ini, urusan pesantren tercampur dengan pengelolaan madrasah dan pendidikan Islam lainnya. 

Sementara itu, tiga fungsi utama pesantren pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat membutuhkan penanganan khusus yang tidak bisa dibagi energi dan perhatiannya. Dengan Dirjen khusus, negara memiliki instrumen lebih kuat untuk mengelola fungsi-fungsi itu secara terpadu. 

Keberadaan Dirjen memberi ruang otonomi anggaran. Bantuan negara, termasuk Dana Abadi Pesantren, bisa disalurkan lebih cepat, tepat sasaran, dan tidak tersendat oleh kerumitan birokrasi lintas direktorat. Pada area ini, banyak pesantren selama ini menunggu kepastian yang lebih jelas.

Di sisi lain, pembentukan Dirjen juga dianggap dapat mempercepat proses rekognisi terhadap jenjang pendidikan di lingkungan pesantren. Persoalan penyetaraan ijazah (muadalah), pengakuan Ma’had Aly, hingga penetapan standar pendidikan diniyah kerap membutuhkan waktu lama karena keterbatasan kewenangan. 

Dengan struktur yang lebih tinggi, proses-proses itu bisa dipangkas, sehingga lulusan pesantren memperoleh hak sipil yang setara dengan lulusan pendidikan formal. Tidak kalah penting, pendataan pesantren dapat dilakukan dengan lebih akurat. 

Selama ini, masih banyak pesantren di pelosok yang tidak terdata sehingga tidak tersentuh bantuan atau program pembinaan. Kehadiran Dirjen memberi harapan bahwa data nasional pesantren dapat ditata ulang secara lebih serius dan menyeluruh.

Namun, jalan menuju pembentukan Dirjen Pesantren tidak sepenuhnya mulus. Sejumlah kekhawatiran justru muncul bersamaan dengan menguatnya dukungan. Yang paling sering disuarakan adalah risiko birokratisasi. Pesantren tumbuh organik dari tradisi, bukan dari tumpukan formulir dan laporan. Kiai mengajar bukan karena kewajiban administrasi, tetapi karena amanah keilmuan. 

Jika pembentukan Dirjen justru membawa konsekuensi kewajiban administratif yang berlebihan, kekuatan khas pesantren bisa luntur. Tradisi yang fleksibel bisa berubah kaku hanya karena harus menyesuaikan diri dengan logika kantor pemerintah.

Selain itu, potensi intervensi negara juga tidak bisa diabaikan. Semakin besar anggaran yang dikelola pemerintah, semakin besar pula keinginan untuk mengatur. Pada titik tertentu, kekhawatiran muncul bahwa kurikulum khas pesantren terutama kajian kitab kuning dapat terdorong untuk mengikuti standar pendidikan formal. 

Jika negara ikut menentukan substansi ajaran, independensi kiai yang telah menjadi benteng moral bangsa selama berabad-abad bisa terancam. Kekhawatiran lain berkaitan dengan pembengkakan struktur. Menambah eselon I berarti menambah gedung, pegawai, dan biaya operasional. Bukan tidak mungkin, anggaran negara justru banyak terserap ke sektor administratif, bukan ke santri dan pesantren yang menjadi tujuan utama.

Tantangan lainnya adalah potensi fragmentasi pendidikan Islam. Banyak pesantren yang mengelola madrasah, sementara madrasah tetap berada di bawah Dirjen Pendidikan Islam. Jika koordinasi tidak berjalan baik, kebijakan dua dirjen ini bisa saling bertabrakan. Alih-alih memperkuat ekosistem pendidikan Islam, dualisme kebijakan bisa membuatnya semakin ruwet. 

Karena itu, sejumlah catatan harus menjadi perhatian. Proses seleksi pejabat Dirjen harus berbasis meritokrasi agar tidak menjadi ajang perebutan kepentingan politik. Regulasi yang disusun harus bersifat fasilitatif, bukan menyeragamkan. Bantuan pemerintah harus diarahkan untuk pemberdayaan ekonomi pesantren agar lembaga ini tidak tumbuh menjadi pihak yang terlalu bergantung pada anggaran negara.

Pembentukan Dirjen Pesantren memang merupakan langkah besar yang menawarkan banyak peluang sekaligus risiko. Ia bisa menjadi tonggak baru bagi penguatan lembaga pesantren, namun juga bisa menjadi pintu masuk birokratisasi tanpa kendali. Oleh karena itu, negara harus hadir dengan prinsip yang jelas: memfasilitasi tanpa mengintervensi. 

Pesantren harus tetap merdeka dalam menentukan arah pendidikan dan ajaran, sementara negara cukup memastikan bahwa rel yang ditempuh pesantren kian kokoh. Pesantren telah menjadi penjaga nilai bangsa selama ratusan tahun. Tugas negara adalah memperkuatnya, bukan mengubahnya.

 

***

*) Oleh : Agus Ikhwan Mahmudi, PC RMI NU Kabupaten Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.