https://malang.times.co.id/
Opini

Pendidikan yang Kehilangan Arah

Senin, 24 November 2025 - 23:12
Pendidikan yang Kehilangan Arah Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

TIMES MALANG, MALANG – Di tengah derasnya perubahan zaman, pendidikan idealnya menjadi mercusuar yang memberi arah bagi bangsa. Namun, kenyataannya pendidikan kita sedang bergerak tanpa kompas yang jelas. 

Di ruang-ruang kelas, guru terus dibebani hal-hal administratif; di rumah-rumah, anak-anak kehilangan makna belajar karena tuntutan angka; dan di ruang rapat para pengambil kebijakan, pendidikan sering diperlakukan sebagai proyek, bukan peradaban. Kita harus berani bertanya: pendidikan Indonesia sedang dibawa ke mana?

Dalam beberapa tahun terakhir, transformasi pendidikan menjadi jargon yang terus diulang. Kurikulum berganti, asesmen berubah, pelatihan guru silih berganti, platform digital diperkenalkan dengan gegap gempita. 

Tapi substansi persoalannya tetap sama: kualitas belajar tak kunjung membaik, kesenjangan semakin lebar, dan kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan terus menurun. Kita menyaksikan anak-anak yang secara teknis “bersekolah”, tetapi tidak benar-benar “belajar”.

Masalah fundamentalnya bukan pada guru yang dianggap kurang kompeten, atau siswa yang dianggap kurang adaptif. Masalah kita adalah pola pikir pendidikan yang masih terjebak pada orientasi kuantitatif. 

Obsesi akan nilai, ranking, akreditasi, dan sertifikasi telah menggerus ruh pendidikan yang sesungguhnya: mengembangkan manusia. Kita sering lupa bahwa pendidikan bukan tentang memproduksi lulusan, tetapi membentuk karakter, membudayakan pikiran kritis, dan menumbuhkan kemampuan adaptif.

Mari kita lihat kenyataan sederhana: guru menjadi profesi yang paling banyak menerima instruksi, tetapi paling sedikit diberikan ruang untuk menentukan arah. Di banyak sekolah, guru kehilangan otonomi sebagai pendidik karena tercekik tumpukan laporan, visitasi, dan indikator yang harus dicentang. 

Ketika otonomi guru hilang, yang tersisa hanyalah rutinitas: mengajar sekadar menggugurkan kewajiban, bukan mentransformasi peserta didik. Padahal, kualitas pendidikan tidak akan pernah melebihi kualitas gurunya. Dan guru tidak akan bisa berkualitas jika jiwa profesionalnya terus dipasung oleh birokrasi.

Di sisi lain, peserta didik dibesarkan dalam kultur yang keliru: budaya instan dan kompetisi semu. Mereka dijejali materi demi mengejar kelulusan, bukan memahami makna. Mereka terbiasa menghafal jawaban, tapi tidak terbiasa merumuskan pertanyaan. 

Kita membesarkan anak-anak yang cerdas secara teknis, tetapi rapuh secara mental; piawai mengikuti instruksi, tetapi gagap mengambil keputusan. Pendidikan seolah mencetak manusia untuk "menjadi seragam", padahal dunia menuntut keberagaman cara berpikir.

Ironisnya, kebijakan pendidikan kita sering kali tidak disusun berdasarkan realitas lapangan. Banyak regulasi lahir dari meja-meja birokrat dan konsultan, bukan dari ruang kelas. Baik kurikulum maupun regulasi pembelajaran sering terasa jauh dari konteks sosial masyarakat kita. 

Inovasi pendidikan dijual sebagai produk, bukan dipahami sebagai proses yang membutuhkan kesabaran. Maka tidak heran, setiap kebijakan selalu melahirkan problem baru yang tidak kalah pelik dengan problem sebelumnya.

Teknologi, yang seharusnya memperkuat pembelajaran, kini justru sering menjadi alat pencitraan. Kita terlalu sibuk dengan platform digital yang canggih, tetapi lupa membangun fondasi pedagogis yang kokoh. 

Bahkan beberapa sekolah berlomba membeli perangkat tanpa strategi jangka panjang. Padahal, teknologi adalah alat, bukan tujuan. Tanpa desain pembelajaran yang matang, teknologi hanya akan mengubah masalah analog menjadi masalah digital.

Pertama, kita harus mengembalikan pendidikan ke pangkuan para pendidik. Guru harus diberi ruang untuk merancang pembelajaran sesuai kebutuhan peserta didik dan konteks sekolah. 

Bukan sebaliknya: guru dipaksa menyesuaikan pembelajaran dengan format kebijakan yang kaku. Otonomi guru adalah kunci lahirnya kreativitas, inovasi, dan kedalaman proses belajar.

Kedua, kita perlu menggeser orientasi pendidikan dari kuantitas ke kualitas. Pendidikan tidak bisa lagi sekadar diukur dengan angka kelulusan atau sertifikat akreditasi. Yang harus diukur adalah kemampuan anak berpikir, menyelesaikan masalah, bekerja sama, mengambil keputusan, dan memiliki empati. Pendidikan adalah proses hidup, bukan hanya proses formal.

Ketiga, pemerintah harus mendekat ke realitas sekolah. Pendidikan tidak boleh lagi dipandang sebagai laboratorium kebijakan. Setiap perubahan harus berangkat dari aspirasi guru, pengalaman siswa, dan kondisi daerah. Jika pendidikan ingin maju, ia harus dibangun dari bawah, bukan dipaksakan dari atas.

Keempat, kita harus menyadari bahwa masa depan tidak ditentukan oleh banyaknya materi yang dihafal, tetapi oleh kemampuan memahami, mengolah, dan memaknai informasi. Pendidikan yang hanya mengajarkan apa yang harus dipikirkan akan tertinggal jauh dibanding pendidikan yang mengajarkan bagaimana cara berpikir.

Kita butuh keberanian kolektif untuk mengubah cara pandang terhadap pendidikan. Orang tua, guru, pemerintah, dan masyarakat harus duduk bersama dalam kesadaran yang sama: bahwa pendidikan adalah investasi peradaban. Dan peradaban tidak dibangun dalam lima tahun masa jabatan, melainkan lintas generasi.

Jika kita terus membiarkan pendidikan berjalan tanpa arah, maka kita sedang mempertaruhkan masa depan anak-anak kita. Tanpa perubahan mendasar, sekolah hanya akan menjadi tempat singgah, bukan tempat bertumbuh. Dan bangsa yang pendidikannya kehilangan arah adalah bangsa yang sedang kehilangan masa depannya.

Pendidikan tidak boleh hanya menjadi wacana. Ia harus menjadi gerakan. Dan gerakan itu dimulai hari ini, dari ruang-ruang kelas, dari meja guru, dan dari kesadaran kita bersama bahwa masa depan bangsa hanya setangguh kualitas pendidikannya.

 

***

*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.