TIMES MALANG, JAKARTA – Ada banyak keistimewaan bulan Ramadan bagi umat muslim selain ibadah puasa. Termasuk sejumlah peristiwa sejarah, salah satunya yaitu turunnya Al Quran (nuzulul qur’an) sebagai wahyu pertama, sekaligus menandai Nabi Muhammad SAW sebagai Rasullullah (utusan Allah SWT). Itulah kenapa, bulan Ramadan juga disebut sebagai syahrul quran (bulan Al Quran).
Kejadian itu berlangsung pada 17 Ramadan 610 M ketika Nabi Muhammad SAW memasuki usia 40 tahun. Adalah saat sedang menyendiri (khalwat) di Gua Hira, lalu didatanngi Malaikat Jibril. Tubuh Rasulullah SAW pun bergetar karena terkejut dan ketakutan.
Malaikat Jibril lalu memeluk Rasulullah yang gemetar dan kemudian mengucapkan kata "Iqra’" sebanyak tiga kali. Yang berarti, "bacalah". Rasulullah yang dalam kondisi ketakutan lalu menjawab, “maa ana biqari’ atau “saya tidak bisa membaca.”
Kemudian Malaikat Jibril melanjutkan perkataannya dengan Surat Al Alaq ayat 1-5 yang berbunyi: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq 1-5). Lalu, Nabi Muhammad SAW pun mengikuti perkataan Malaikat Jibril itu.
Bagi umat muslim, Surah Al Alaq ayat 1-5 tersebut lantas bukan sekadar menjadi tanda permulaan diturunkannya Al Quran ke bumi melalui perantara Malaikat Jibril. Namun juga memiliki pesan penting sebagai fondasi dan pedoman jalan hidup (way of life) bagi umat Islam.
Dengan kata pertama iqra’ sebagai bentuk fi’il amr dari qara’a yang berarti perintah untuk membaca, “bacalah!” Sekaligus turut menegaskan pesan penting, bahwa orang muslim harus menjadi pribadi yang literat untuk bisa memahami dan menjalankan ajaran Islam dengan baik.
Perintah Membaca Sekaligus Menulis
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata ‘membaca’ memiliki lima arti, yaitu; 1). melihat dan memahami apa yang tertulis, 2). mengeja atau melafalkan apa yang tertulis, 3). mengucapkan, 4). mengetahui dan 5). menduga; memperhitungkan; memahami.
Adapun menurut Prof. Dr. Nasaruddin Umar, kata iqra’ sebagai perintah ‘membaca’ dalam Surah Al Alaq setidaknya memiliki empat makna, yaitu; pertama, dimaknai sebagai how to read, atau sekedar membaca tanpa ada pemahaman.
Ini seperti yang dilakukan ketika orang membaca Al Quran hanya membaca dengan benar sesuai kaidah ilmu tajwid saja, tapi tidak memahami makna ayat yang sedang dibaca. Namun tetap mendapat pahala.
Kedua, dimaknai sebagai how to learn, atau membaca menjadi aktivitas belajar, dimana seorang pembelajar atau pembaca harus memahami metode belajar yang digunakan, karena keberhasilannya dalam belajar dan membaca, ditentukan oleh metode yang digunakan. Termasuk diantaranya seorang pembelajar juga harus paham menghormati dan memuliakan guru-gurunya.
Ketiga, kata iqra’ dimaknai sebagai how to understand. Tingkatan membaca yang ketiga ini tidak sekedar membaca, akan tetapi juga sebagai aktivitas memahami apa yang dibaca.
Membaca dan memahami merupakan aktivitas yang melibatkan indra mata, hati dan pikiran. Hati yang bersih dan pikiran yang jernih akan membawa pembaca mudah memahami teks dan ayat-ayat Allah.
Adapun makna kata iqra’ yang keempat, adalah how to implement. Level membaca ini merupakan tujuan akhir dari membaca, yaitu mengimplementasikan apa yang telah dibaca ke dalam kehidupan sehari-hari, sehingga membuahkan manfaat bagi umat manusia.
Dalam Tafsir Al Misbah (15: 454), Prof. Quraish Shihab juga menjelaskan jika kegiatan “membaca” pada Surah Al Alaq tidak harus membutuhkan teks dan tidak pula harus terdengar oleh orang lain. Itulah mengapa, makna “membaca” dalam ayat ini menjadi sangat luas.
Dengan demikian atas penjelasan tersebut turut menegaskan, jika agama Islam memang agama yang bisa dikatakan sangat kental dengan budaya membaca. Bahkan setiap hari umat Islam tidak akan bisa terlepas dari aktivitas membaca.
Baik dalam arti leksikal membaca teks (ayat-ayat qauliyah Allah SWT), maupun dalam arti luas membaca konteks (ayat-ayat kauniyah Allah SWT, mencakup semua yang ada di alam jagat raya ini; langit, bumi, bulan, bintang, planet, lautan yang terbentang luas, dan semua peristiwa yang ada di dalamnya). Karena membaca menjadi bagian dari ibadah umat Islam.
Di samping itu, Surah Al Alaq selain memuat perintah membaca hakikatnya juga sekaligus terdapat perintah untuk menulis. Hal itu tersirat pada ayat 4 yang artinya; “Yang mengajar (manusia) dengan pena (qalam).” Al qalam adalah kata yang diambil dari qalama berarti memotong ujung sesuatu.
Qalam (pena) merupakan nama alat untuk menulis, karena pada mulanya benda tersebut dibuat dari suatu bahan yang dipotong dan diperuncing ujungnya. Dalam Tafsir Al-Munir, Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan, jika Nabi Idris AS adalah orang pertama yang menulis dengan pena.
Hal penting dari konteks ayat ini adalah menunjukkan jika secara umum Allah mengajarkan ilmu-Nya kepada manusia melalui perantaraan pena (tulisan). Itulah kenapa, membaca menjadi sangat penting, karena dengan membaca bisa menjadi jalan mempelajari ilmu Allah, melalui pengetahuan manusia sebelumnya, termasuk dari para ulama, yang ditulis dengan pena.
Dengan demikian bisa dikatakan konsep mempelajari ilmu dalam Islam, membaca dan menulis, adalah dua kegiatan yang tidak bisa terpisahkan. Karena kendati tidak setiap orang yang membaca bertujuan untuk menulis, tapi yang pasti, orang yang senantiasa menulis gemar membaca.
Sedangkan menulis, juga menjadi alat untuk mengikat ilmu bagi orang yang mempelajari ilmu. Sebagaimana Rasulullah SAW pernah bersabda, “ikatlah ilmu dengan tulisan.” (HR. Thabrani).
Sejarah peradaban manusia pun telah membuktikan, kejayaan suatu bangsa, kemajuan suatu kaum, selalu ditandai dengan budaya membaca dan menulis di dalamnya. Al Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Al Khawarizmi, adalah contoh pembaca dan penulis zaman kejayaan Islam yang jejak tulisannya abadi sampai sekarang.
Demikian halnya Plato dan Aristoteles, adalah contoh pembaca dan penulis di zaman kejayaan Yunani-Romawi yang jejak tulisannya ada hingga sekarang. Hal itu menunjukkan jika budaya membaca dan menulis merupakan jalan yang mengantar manusia mencapai derajat kemuliaannya.
Pesan Penting Menjadi Muslim Literat
Atas turunnya wahyu pertama Surat Al Alaq ayat 1-5 kepada Nabi Muhammad SAW, sejatinya juga terkandung sebuah pesan penting bagi umat Islam agar menjadi muslim yang literat. Baik sebagai muslim literat dalam arti sempit yang merujuk kepada pemahaman kecakapan dalam membaca dan menulis.
Maupun dalam arti luas yang berarti dapat berpikir kritis dan memiliki kecakapan hidup yang baik. Karena agama Islam adalah agama yang sangat menekankan umatnya untuk selalu berfikir dan memikirkan sesuatu, baik semua hal yang ada di dalam diri maupun di alam semesta ciptaan Allah SWT.
Di dalam Al Quran juga berkali-kali menyebutkan kalimat; Afala Ta’qilun? (Tidakkah kamu menggunakan akalmu?), Afala Tatafakkarun (apakah kamu tidak memikirkan), Afala Tadzakkarun? (Tidakkah kamu mengambil pelajaran?), Afala Tubsirun? (Tidakkah kamu melihat? Afala Tasma'un? (Tidakkah kamu mendengarkan), dan kalimat-kalimat lainnya. Tidak lain itu adalah penekanan pentingnya berpikir dan introspeksi bagi umat muslim, yang sekaligus juga menunjukkan penegasan agar menjadi literat.
Hal itu sangat berdasar, karena jika umat muslim rajin membaca Al Quran, terlebih membaca dengan sekaligus memahami kandungannya, pasti akan menjadi berdaya dan memiliki kecakapan hidup yang baik. Setiap persoalan hidup yang dihadapi, pasti akan menemukan solusinya.
Sesuatu yang tidak diketahui dan dipahami dalam hidupnya, pasti akan terjawab semua. Sebab, Al Quran sebagai kitab suci adalah pedoman hidup bagi umat Islam dan petunjuk untuk keselamatan. Di dalamnya membahas semua hal yang dibutuhkan umat manusia agar selamat baik di dunia maupun kelak di akhirat.
Jika dibaca di kala sedang dirundung gelisah, bisa menjadi penenang. Karena membaca Al Quran dan maknanya (moco Quran sak maknane) adalah obat hati yang pertama dari lima perkara, demikianlah kata Maulana Makhdum Ibrahim alias Sunan Bonang. Bahkan kalaupun dibaca tanpa paham arti atau maknanya, juga tetap bernilai pahala.
Pungkas kata, menjelang 17 Ramadhan dan peringatan nuzulul qur’an tiba, semoga menjadi pengingat bagi umat muslim semua, bahwa jangan sampai turunnya wahyu pertama sekadar berhenti menjadi ritual seremonial dan festival saja, namun hampa makna.
Melainkan harus juga bisa menjadi spirit bersama untuk meningkatkan kegemaran membaca, budaya baca bangsa, dan produktivitas menulis di tengah masyarakat. Serta mampu mewujudkan muslim yang tidak sebatas taat, namun sekaligus juga muslim yang literat.
***
*) Oleh : Rochmad Widodo, Founder Penerbit Biografi Indonesia dan Aktif sebagai Penulis Biografi Tokoh-tokoh Nasional.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |