https://malang.times.co.id/
Opini

Analisis Fenomena Tagar #KaburAjaDulu

Senin, 24 Februari 2025 - 22:34
Analisis Fenomena Tagar #KaburAjaDulu Erik Juliawan, S.Sos., Anggota Perencanaan, Pengembangan dan Pendidikan GenRe Bangka Belitung.

TIMES MALANG, BANGKA BELITUNG – Tagar #KaburAjaDulu menjadi topik perbincangan trending di media sosial, khususnya dikalangan anak muda akhir-akhir ini. Fenomena tersebut muncul sebagai akibat dari munculnya berbagai masalah sosial, ekonomi, dan politik yang menimbulkan kecemasan atau frustrasi di lingkungan masyarakat.

Mulai dari keluhan tentang tekanan pekerjaan hingga keresahan terhadap pemerintah, tagar ini juga bentuk kekecewaan anak muda Indonesia terhadap situasi dalam negeri dan seolah-olah menjadi cara sementara untuk melarikan diri dari keadaan yang mengerikan, entah dengan mengambil pendidikan, bekerja, atau sekedar tinggal di luar negeri.

Maka perlu disadari, bahwa dengan menggunakan tagar #KaburDuluAja bukan berarti harus dihakimi, melainkan kita hendak memahami. Barangkali anak-anak muda Indonesia ingin memilih jalan keluar untuk meningkatkan kualitas hidup mereka yang lebih baik, terutama dalam meniti karir dinilai memberikan ruang kehidupan layak serta kesempatan adil bagi mereka agar bisa berkembang lebih luas.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Agustus 2024 sebesar 4,91 persen, turun sebesar 0,41 persen poin dibanding Agustus 2023, dan rata-rata upah buruh sebesar 3,27 juta rupiah per bulan.

Dan ini menunjukkan bahwa masih banyaknya tergolong pengganguran di Indonesia, yang bahkan turunnya tidak mencapai di angka 1 persen dalam beberapa kurun waktu. Sedangkan rata-rata upah buruh sebesar 3,27 juta rupiah per bulan dan bisa dianggap ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Mulai dari pangan, pendidikan, pakaian hingga kebutuhan dasar rumah tangga itu sendiri.

Untuk itu, hal semacam ini sangat perlu menjadi perhatian khusus, dan bagaimana mencari sebuah solusi terutama bagi para pemangku kebijakan itu sendiri, baik di lembaga pemerintahan maupun non pemerintahan.

Karena kalau dibiarkan secara terus menerus atau menganggap permasalahan ini dengan sepele, maka tanpa kita sadari negara ini perlahan-lahan akan mengalami kehilangan generasi-generasi terbaik bangsa.

Hingga berdampak pada keterlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan investasi, meningkatnya kesenjangan sosial serta pendidikan yang tak sebanding dengan negara lain, dan semuanya itu dipengaruhi oleh faktor kurangnya sumber daya manusia yang unggul.

Lantas bagaimana bisa dikatakan kalau generasi pemuda sebagai tonggak estafet kepemimpinan penerus bangsa untuk membangun masa depan yang lebih baik, dan bagaimana pula dapat dikatakan Indonesia akan mengalami puncak Generasi Emas 2045.

Jika negeri sendiri kurang menjamin kualitas kehidupan atau kurangnya pemberdayaan kepada generasi-generasi pemuda dengan optimal. Maka jangan salahkan kalau para pemuda meninggalkan tanah kelahirannya begitu saja, dan memilih untuk tinggal diluar dengan harapan dapat memperbaiki segala tatanan kehidupan mereka.

Masih ingatkah ketika pidato Bung Karno yang sangat terkenal pada Hari Pahlawan 10 November 1961. Melalui sebuah kutipan "Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia".

Dilansir dari laman Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, jika kita merenung dan merefleksikan pidato Bung Karno, maka sejatinya jumlah besar saja tidaklah cukup untuk bisa membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan diperhitungkan di kancah dunia.

Bung Karno tidak memerlukan jutaan pemuda untuk bisa mengguncang dunia. Bung Karno tidak perlu menunggu bonus demografi untuk bisa memberikan kehormatan yang layak bagi bangsa dan negaranya. Bung Karno hanya membutuhkan pemuda-pemudi unggul yang memiliki kualitas dan visi yang besar dalam menatap dunia.

Disinilah peran segala elemen ataupun lembaga baik di pemerintahan maupun non pemerintahan dibutuhkan, untuk segera mengambil sebuah tindakan, kebijakan maupun solusi yang membangun. Langkah-langkah tersebut bisa dicapai melalui:

Pertama, Adanya program yang perlu dirancang untuk pemberdayaan generasi muda yang menarik dan bermanfaat dalam menunjang kompetensi mereka, baik itu di ranah desa hingga sampai pusat itu sendiri, seperti bimbingan belajar, pelatihan keterampilan kerja, kegiatan sosial dan lain sebagainya. Berikan wadah anak muda untuk berkreasi meningkatkan hard skill maupun soft skill.

Kedua, Penguatan kebijakan dalam pemerataan akses melalui peningkatan kualitas pendidikan, terlepas dari latar belakang ekonomi atau sosial manapun. Seperti tersedianya fasilitas pendidikan yang memadai, guru yang kompeten, dan kurikulum yang relevan sesuai kebutuhan. Tanpa harus ada keterlibatan terkait pemangkasan anggaran.

Ketiga, Adanya dukungan penuh terhadap kreativitas dan inovasi anak muda melalui kinerja yang adil maupun bijaksana dan dorong kolaborasi serta kemitraan. Anak muda tidak hanya dituntut untuk membuka lapangan pekerjaan, tetapi juga perlu dipersiapkan untuk mencapai semua itu, dan adanya keterbukaan akses serta dukungan yang memadai.

Demikian sebagaimana tulisan berjudul Kabur Aja Dulu: Fenomena Brain Drain dan Dilema Talenta Indonesia, yang digagas oleh Andi Januar Jaury Dharwis, seorang Pengamat Kebijakan Publik.

Dilansir dari lama harian.fajar.co.id. Pemerintah dan pengambil kebijakan harus berhenti berpura-pura bahwa masalah ini tidak ada. Ada beberapa langkah yang perlu segera dilakukan:

Pertama, Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja profesional. Standar gaji dan tunjangan harus diperbaiki agar lebih kompetitif, terutama di sektor-sektor strategis seperti teknologi, kesehatan, dan ekonomi kreatif.

Kedua, Menegakkan meritokrasi secara nyata. Rekrutmen dan promosi jabatan harus berbasis kompetensi, bukan kedekatan politik atau hubungan pribadi.

Ketiga, Menindak tegas praktik nepotisme dan korupsi. Jika orang berbakat terus tersingkir hanya karena mereka tidak mau menyogok atau menjilat, maka tidak heran jika mereka memilih pergi.

Keempat, Memberikan insentif bagi diaspora untuk kembali. Program khusus seperti fasilitas riset, insentif pajak, atau kebijakan yang mendukung kepulangan tenaga ahli bisa menjadi langkah untuk menarik kembali talenta yang telah pergi.

"Kita mungkin memiliki agama yang berbeda, bahasa yang berbeda, warna kulit yang berbeda, tetapi kita semua berasal dari satu ras manusia. Kita semua berbagi nilai-nilai dasar yang sama" - Kofi Annan.

***

*) Oleh : Erik Juliawan, S.Sos., Anggota Perencanaan, Pengembangan dan Pendidikan GenRe Bangka Belitung.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.