https://malang.times.co.id/
Opini

Konteks dan Koteks: Peyorasi Ndasmu

Kamis, 06 Maret 2025 - 16:40
Konteks dan Koteks: Peyorasi Ndasmu Akhmad Mustaqim, Dosen Tadaris Bahasa Indonesa Al-Qolam Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Bahasa adalah bentuk komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Bahasa dapat digunakan sebagai ungkapan langsung maupun tidak langsung yang berfungsi sebagai penghubung dalam interaksi manusia, karena hanya manusia yang memiliki bahasa.

Selain itu, bahasa juga menjadi alat untuk menyampaikan informasi, perasaan, dan pemikiran. Satuan bahasa tertinggi atau terlengkap adalah wacana.

Kata “ndasmu” dapat digolongkan sebagai peyorasi dalam ilmu linguistik. Kata ini akhir-akhir ini menjadi perhatian publik, terutama setelah pada tahun 2023, “ndasmu etik” menjadi topik yang trending di platform X. Penuturnya tetap sama, tetapi terdapat perbedaan konteks dan koteks dalam penggunaannya.

Dalam ilmu linguistik, konteks merujuk pada kondisi percakapan, seperti siapa yang berbicara, di mana, kapan, dan objek pembicaraan yang berpotensi menjadi sebuah wacana.

Konteks bertujuan untuk menghindari kebingungannya makna dan kata yang digunakan. Sementara itu, koteks dalam bahasa tulisan merujuk pada penggunaan kata dalam rangkaian kalimat atau teks, yang memberikan makna lebih jelas.

Menurut Fatimah dan Nafilah (2014, h. 45), koteks memiliki fungsi sebagai bagian dari teks yang membangun gambaran atau realitas yang ada dan diacu dalam pemikiran untuk menghasilkan teks yang sesuai dengan konteks.

Kridalaksana (2011) menjelaskan bahwa koteks adalah kalimat atau unsur yang mendahului dan mengikuti unsur lain dalam wacana.

Penguasaan bahasa sangat tergantung pada siapa pengucapnya. Jika kata yang digunakan baik, maka maknanya akan mudah diterima, namun jika kata tersebut buruk, bisa menimbulkan kesan negatif.

Sebuah kata yang tidak memiliki pesan atau kesan kuat cenderung sulit diingat, dan baik atau buruknya kata tersebut akan tertanam dalam hati pendengar atau pembaca.

Peyorasi dalam Bahasa

Peyorasi adalah perubahan makna kata menjadi lebih buruk atau negatif. Sebagai contoh, kata “kepalamu” bisa berubah menjadi “ndasmu,” yang secara konotasi lebih kasar dan tidak enak didengar. Kata ini memiliki unsur negatif yang berhubungan dengan makna buruk.

Dalam bahasa Jawa, kata “ndasmu” memiliki arti “kepalamu”. Menurut Kamus Bahasa Jawa—Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1993), kata "ndasmu" berasal dari kata dasar "endhas," yang berarti "kepala".

Endhas termasuk dalam bahasa Jawa Krama Ngoko, yaitu tingkatan bahasa yang kasar dan sering digunakan sebagai umpatan, baik kepada manusia maupun hewan. Sebagai contoh, "endhas pitik" (kepala ayam) atau "endhas kebo" (kepala kerbau).

Kata “ndasmu” dalam bahasa Jawa sering digunakan untuk mengungkapkan kekecewaan, ketidaksetujuan, atau bahkan candaan. Artinya, kata ini bisa mencerminkan ketidaksenangan pembicara terhadap sesuatu yang dibahas oleh lawan bicaranya.

Selain itu, dalam bahasa lisan, penting untuk memahami unsur suprasigmental, yaitu elemen-elemen seperti intonasi, jeda, dan nada dalam berbicara. Hal ini mempermudah pemahaman percakapan dan memastikan pesan yang disampaikan dapat dimengerti dengan tepat.

Adagium klasik “mulutmu harimaumu” tetap relevan hingga kini, mengingat pentingnya hati-hati dalam berbahasa. Dalam komunikasi resmi, seperti dalam undang-undang, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sangat dijaga.

Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam keluarga, seorang anak sering meniru perilaku atau cara berbicara orang tua atau pengasuhnya. Misalnya, seorang anak mungkin meniru ucapan yang tidak sempurna seperti “maem” menjadi “mam”. Hal ini menunjukkan bagaimana kata-kata dan cara berbicara orang tua dapat memengaruhi cara anak berkomunikasi.

Dalam konteks ini, kita bisa menggunakan adagium klise: “Jika seorang guru atau orang tua kencing berdiri, jangan salahkan jika murid atau anaknya kencing sambil berlari.” Ini mengingatkan kita bahwa bahasa dan perilaku seseorang sangat memengaruhi orang di sekitarnya.

Bahasa sebagai Simbol Sikap

Bahasa adalah simbol dari sikap seseorang, setelah perilaku. Oleh karena itu, penguasaan bahasa yang baik sangat penting. Menguasai bahasa juga berarti menguasai kontrol diri dalam komunikasi, yang akan mempengaruhi cara kita berinteraksi dengan orang lain. Bahasa yang baik akan membentuk citra diri yang positif, sedangkan bahasa yang buruk akan menimbulkan kesan negatif.

Dalam dunia politik, penguasaan bahasa juga memiliki sejarah panjang, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru di Indonesia. Presiden Soeharto mengubah istilah “buruh” menjadi “karyawan, pekerja, atau pegawai” demi kepentingan politik saat itu. Namun, Orde Baru berhasil menjaga marwah penggunaan bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah yang berlaku.

Menjaga bahasa sama dengan menjaga kebijaksanaan hidup. Dengan berbahasa yang bijaksana, kita dapat menghindari menyakiti perasaan orang lain. Oleh karena itu, mari kita gunakan bahasa dengan bijak dan penuh tanggung jawab.

***

*) Oleh : Akhmad Mustaqim, Dosen Tadaris Bahasa Indonesa Al-Qolam Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.