https://malang.times.co.id/
Opini

Sumber Daya Alam dalam Dinamika Konstitusi

Selasa, 10 Juni 2025 - 16:00
Sumber Daya Alam dalam Dinamika Konstitusi I.G Ngurah Oka Putra Setiawan, Pengajar di Univerista Terbuka UPBJJ Kota Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Tidak dapat dipungkiri, keberagaman sumber daya alam yang dimiliki membuat Indonesia sering disebut sebagai “surga yang nyata”. 

Julukan ini dibenarkan oleh bentang alam Indonesia yang sangat luas dan merupakan negara kepulauan, di mana masing-masing pulau menyimpan kekayaan alam, baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui.

Berbicara mengenai pemanfaatan sumber daya alam, kata "pemanfaatan" mengandung arti sebagai suatu proses yang dilakukan untuk mencapai tujuan bersama. Jika makna ini dikaitkan dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan:

"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat", maka semestinya pemanfaatan sumber daya alam dilakukan untuk kepentingan rakyat secara menyeluruh. 

Namun kenyataannya, dalam praktik ketatanegaraan, banyak sumber daya alam justru diklaim dan dimanfaatkan demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, yang tidak sejalan dengan amanat konstitusi.

Keprihatinan ini semakin terasa ketika kita melihat beberapa pulau yang kaya akan sumber daya alam mengalami kerusakan akibat eksploitasi besar-besaran yang diklaim dilakukan untuk "kemakmuran rakyat".

Maka, muncul pertanyaan penting: apakah benar segala aktivitas eksploitasi tersebut dilakukan demi kepentingan negara dan rakyat? 

Sayangnya, kesejahteraan dan kemakmuran yang dijanjikan belum dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat Indonesia. Ketimpangan yang terjadi mengingatkan kita pada lirik lagu Rhoma Irama berjudul Indonesia, yang berbunyi: “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.”

Dinamika seperti inilah yang harus segera dibenahi. Jangan sampai konstitusi, sebagai landasan hukum tertinggi negara, gagal memberikan jaminan dan perlindungan kepada rakyat Indonesia. Salah satu contoh aktual adalah eksploitasi wilayah Raja Ampat. 

Eksploitasi ini menimbulkan dilema besar bagi Indonesia-ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, eksploitasi tersebut mendatangkan manfaat ekonomi; di sisi lain, berisiko merusak ekosistem yang sangat berharga. 

Berdasarkan hasil penelitian cepat oleh tim ahli dari Conservation International, The Nature Conservancy, dan Lembaga Oseanografi Nasional (LON) LIPI pada tahun 2001–2002, diketahui bahwa sebanyak 75 persen karang dunia terdapat di perairan Raja Ampat, Papua Barat Daya. 

Fakta ini menunjukkan betapa pentingnya wilayah tersebut bagi kelestarian alam global. Namun, anugerah Tuhan yang luar biasa ini kini justru dirusak dengan dalih "demi kemakmuran ekonomi rakyat".

Permasalahan eksploitasi Raja Ampat juga menyangkut aspek hukum. Pemberian izin pertambangan di pulau-pulau kecil seperti Pulau Geg, Kawe, dan Manuran melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 

Raja Ampat terdiri dari gugusan pulau-pulau kecil yang memiliki ekosistem dan terumbu karang yang unik dan rentan. Seharusnya, izin eksploitasi tidak diberikan dalam kondisi dan dalih apa pun, sekalipun mengatasnamakan kemakmuran rakyat.

Pasal 1 Ayat (5) dalam undang-undang tersebut menyatakan:“Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme dan non-organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas.”

Jika eksploitasi mengganggu keseimbangan ekosistem, maka sudah sepatutnya perizinannya ditinjau ulang. Kerusakan lingkungan di wilayah pesisir akan berdampak langsung terhadap keberlangsungan ekosistem secara menyeluruh, baik unsur biotik (makhluk hidup) maupun abiotik (benda tak hidup), yang saling berinteraksi dan membentuk keseimbangan ekologis.

Dampak terburuk yang dapat ditimbulkan adalah bencana pesisir. Berdasarkan Pasal 1 Ayat (26) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014,“Bencana Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau perbuatan manusia yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati wilayah pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, kerugian harta benda, dan/atau kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.”

Di sinilah letak ironi: pemerintah justru melanggar peraturan perundang-undangan yang dibuatnya sendiri. Jika pemahaman atas hukum dan konstitusi tidak dijalankan dengan benar, maka implementasi kebijakan akan menjadi rancu dan kontraproduktif.

Kembali pada konstitusi, setiap kebijakan wajib mengacu pada UUD NRI Tahun 1945 sebagai bentuk kepatuhan terhadap hukum tertinggi negara. Penyimpangan dalam implementasi Pasal 33 Ayat (3) merupakan bentuk pengingkaran terhadap cita-cita para Founding Fathers. 

Pemanfaatan sumber daya alam seharusnya benar-benar dikuasai negara demi kemakmuran rakyat, dengan mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, tanpa intervensi dari kelompok tertentu.

Kita berharap bahwa peristiwa di Raja Ampat bukan sekadar eksploitasi yang dibungkus atas nama negara, melainkan benar-benar menjadi implementasi konstitusi sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, kemakmuran yang dijanjikan akan benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. 

Pemerintah diharapkan tetap berpegang pada cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara mandiri dan berdaya saing tinggi melalui pemanfaatan sumber daya alam secara bijak dan berkelanjutan.

Semoga peristiwa di Raja Ampat bukan karena rakyat trauma terhadap kebijakan yang dibuat, melainkan karena harapan bahwa setiap kebijakan yang diterbitkan benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat. (*)

***

*) Oleh : I.G Ngurah Oka Putra Setiawan, Pengajar di Univerista Terbuka UPBJJ Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.