TIMES MALANG, MALANG – Gelombang demonstrasi yang merebak di berbagai negara menandai krisis serius dalam relasi antara rakyat dan pemerintah. Dari Nepal, yang diguncang protes generasi muda terhadap korupsi dan pembatasan media sosial, hingga Indonesia, yang diwarnai ketidakpuasan akibat tingginya biaya hidup dan dugaan kriminalisasi aktivis.
Semua menunjukkan pola yang sama: kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara kian runtuh. Ketika ruang dialog resmi tidak lagi dipercaya, jalanan menjadi ruang terakhir bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi.
Kasus Nepal memperlihatkan betapa rapuhnya legitimasi negara ketika generasi muda merasa dikhianati. Protes yang bermula dari isu korupsi dan kebebasan berekspresi berubah menjadi ledakan sosial yang menewaskan puluhan orang serta memaksa lahirnya pemerintahan darurat.
Fenomena itu bukan semata gejolak sesaat, melainkan akumulasi kekecewaan atas elit politik yang dianggap korup, jauh dari rakyat, dan tak lagi mewakili kepentingan publik. Jalanan menjadi panggung alternatif ketika lembaga-lembaga formal kehilangan wibawanya.
Indonesia pun menghadapi problem serupa, meski dalam lanskap berbeda. Kekecewaan atas naiknya harga kebutuhan pokok, kebijakan yang dirasa elitis, serta penangkapan sejumlah aktivis memperkuat persepsi bahwa pemerintah lebih memilih membungkam kritik ketimbang menyelesaikan akar persoalan.
Kriminalisasi gerakan sosial, apalagi ketika dituduh sebagai penghasutan, justru menambah daftar luka kolektif yang memperlebar jurang antara rakyat dan penguasa. Apa artinya demokrasi jika suara rakyat dijawab dengan jeruji?
Fenomena ini bukan hanya monopoli Asia. Di Peru, ratusan keluarga masih menunggu keadilan atas penumpasan protes yang menelan korban jiwa. Laporan internasional mencatat meningkatnya jumlah protes dan kerusuhan global dalam satu dekade terakhir, indikator bahwa ketidakpuasan publik bukan lagi pengecualian, melainkan gejala sistemik.
Di banyak tempat, negara merespons dengan pendekatan keamanan ketimbang membuka ruang partisipasi, yang pada akhirnya hanya memperdalam krisis kepercayaan.
Ada beberapa penyebab yang menjelaskan mengapa kepercayaan publik kian rapuh. Pertama, faktor ekonomi: ketika pertumbuhan tidak sejalan dengan pemerataan, jurang ketimpangan semakin lebar. Kedua, korupsi dan nepotisme yang mencolok, sehingga rakyat merasa negara bekerja untuk segelintir orang.
Ketiga, respons represif aparat, dari pembubaran paksa demonstrasi hingga kriminalisasi aktivis. Keempat, disinformasi digital yang mempercepat penyebaran memori kolektif ketidakadilan. Semua itu berpadu menjadi lingkaran krisis yang sulit diputus.
Konsekuensinya jelas. Legitimasi negara melemah, kebijakan publik kehilangan kepercayaan, dan rakyat cenderung mencari saluran alternatif di luar mekanisme resmi.
Lebih jauh, fragmentasi sosial meningkat, karena kelompok yang merasa terabaikan menempuh jalan sendiri untuk memperjuangkan haknya. Siklus ini menghambat pembangunan ekonomi, mengundang risiko politik, dan memunculkan korban kemanusiaan yang terus bertambah.
Lalu, apa yang seharusnya dilakukan? Pertama, akuntabilitas harus nyata, bukan sekadar slogan. Negara wajib membuka investigasi independen atas pelanggaran selama protes, memastikan proses hukum berjalan adil, dan bukan alat politik. Kedua, reformasi kepolisian dan aparat keamanan menjadi mutlak, agar kekerasan tidak lagi dijadikan instrumen utama merespons rakyat.
Ketiga, strategi sosial-ekonomi perlu diperkuat, dari menciptakan lapangan kerja layak, memperluas proteksi sosial, hingga mengurangi ketimpangan akses pendidikan dan kesehatan. Keempat, ruang dialog publik harus dibuka selebar-lebarnya, dengan melibatkan komunitas sipil secara langsung.
Namun semua langkah itu membutuhkan keberanian politik. Retorika damai tanpa tindakan nyata hanya akan semakin memperburuk krisis. Pemimpin yang sungguh ingin memulihkan kepercayaan harus berani mengadili pelanggar hukum dari kalangan aparat.
Mengembalikan hak-hak korban, dan menghadirkan kebijakan redistributif yang berpihak pada rakyat. Jika tidak, janji rekonsiliasi akan terdengar hampa, sementara generasi muda yang kecewa akan terus memilih jalanan sebagai ruang ekspresi.
Restorasi kepercayaan adalah tugas kolektif. Pemerintah wajib menjalankan fungsi pelayan rakyat, parlemen harus tegas mengawasi, peradilan perlu independen, dan masyarakat sipil berhak mengawasi jalannya kekuasaan.
Gelombang protes belakangan ini adalah alarm keras: negara tidak bisa terus mengandalkan represi untuk mempertahankan legitimasi. Bila pola lama dipertahankan, jurang ketidakpercayaan akan semakin dalam, dan ongkos sosial politik yang ditanggung akan semakin mahal.
Krisis kepercayaan ini bukan sekadar persoalan politik, melainkan soal keberlangsungan bangsa. Demokrasi hanya akan hidup bila rakyat percaya bahwa suara mereka dihargai, bukan ditekan.
Keadilan hanya akan bermakna bila negara sungguh hadir sebagai pelindung, bukan penguasa yang menutup telinga. Pertanyaan penting pun menggema: mau sampai kapan kepercayaan rakyat terus dikhianati sebelum bangsa ini benar-benar kehilangan masa depannya?
***
*) Oleh: Abdul Aziz, S.Pd., Praktisi Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |