https://malang.times.co.id/
Opini

Negara Kehilangan Disiplin Nurani

Rabu, 31 Desember 2025 - 19:16
Negara Kehilangan Disiplin Nurani Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

TIMES MALANG, MALANG – Negara kerap tampil seperti jam dinding tua: berdetak pasti, namun dingin dan tak peduli siapa yang berada di bawah bayang-bayang jarumnya. Kasus Nur Aini, guru PNS di Kabupaten Pasuruan yang diberhentikan karena dianggap melanggar disiplin berat, menjadi cermin buram bagaimana kekuasaan administratif bekerja tegas di atas kertas, tetapi sering kali tumpul terhadap realitas kemanusiaan.

Secara formal, negara tampak benar. Aturan telah dilanggar. Lebih dari 28 hari tidak masuk kerja tanpa keterangan sah adalah pelanggaran serius dalam rezim birokrasi. Surat pemanggilan dilayangkan, prosedur dijalankan, dan palu sanksi pun diketuk. Selesai. Namun, apakah keadilan cukup diselesaikan dengan mematuhi prosedur? Ataukah keadilan seharusnya juga mendengar denyut manusia di balik pasal-pasal?

Nur Aini bukan figur yang tiba-tiba membangkang tanpa sebab. Ia lebih dulu berbicara bukan untuk melawan negara, tetapi untuk mengadukan beban. Jarak mengajar 57 kilometer sekali jalan, melintasi medan berat menuju wilayah Tosari, bukan sekadar angka di peta. Itu adalah perjalanan fisik yang menggerogoti tubuh, menguras energi, dan perlahan mengikis kesehatan. Setiap hari, ia harus menaklukkan jarak yang bagi sebagian pejabat mungkin hanya statistik, tetapi bagi guru lapangan adalah perjuangan hidup.

Ketika keluhan itu disuarakan, ruang dialog tak kunjung hadir. Permohonan pindah tugas diajukan melalui jalur resmi BKPSDM, tetapi waktu birokrasi bergerak lebih lambat dari tubuh yang sakit. Negara menuntut kehadiran, tetapi lupa memastikan kemampuan untuk hadir. Dalam situasi seperti ini, absensi bukan lagi soal malas, melainkan soal keterbatasan manusiawi.

Di sinilah ironi itu menganga. Negara yang kerap menggaungkan pentingnya pendidikan di daerah terpencil justru abai pada nasib penggeraknya. Guru diminta setia pada tugas, tetapi sistem enggan setia pada kesejahteraan mereka. Disiplin ditegakkan tanpa empati, seolah negara adalah mesin, dan manusia hanyalah suku cadang yang bisa diganti kapan saja.

Lebih menyakitkan lagi, pemecatan ini datang setelah keluhan Nur Aini viral di media sosial. Publik pun bertanya: apakah ini murni penegakan aturan, atau ada aroma pembungkaman yang samar? Ketika seorang ASN berbicara tentang beban kerja dan kondisi kesehatan, lalu berakhir dengan pemberhentian, pesan apa yang sebenarnya ingin disampaikan negara? Bahwa bersuara adalah risiko? Bahwa diam lebih aman daripada jujur?

Jika demikian, maka yang sedang dibangun bukanlah birokrasi sehat, melainkan budaya takut. Guru-guru lain akan belajar satu hal: lebih baik menahan lelah, menyembunyikan sakit, dan memendam keluhan, daripada menghadapi sanksi yang memutus pengabdian. Pendidikan pun berubah menjadi ladang pengorbanan sunyi, bukan ruang pengabdian bermartabat.

Negara sering berbicara tentang disiplin, tetapi lupa bahwa disiplin tanpa keadilan adalah kekerasan yang dilembagakan. Aturan semestinya menjadi jembatan antara tujuan dan kemanusiaan, bukan tembok yang memisahkan negara dari warganya. Ketika konteks diabaikan, hukum berubah menjadi pisau yang tajam ke bawah, tumpul ke atas.

Kasus Nur Aini juga menyingkap wajah ketimpangan kebijakan pendidikan. Guru di daerah terpencil diminta berkorban lebih, tetapi tidak diberi perlindungan ekstra. Jarak jauh, akses terbatas, risiko kesehatan tinggi semua dianggap bagian dari konsekuensi tugas, bukan sebagai faktor yang perlu ditangani secara sistemik. Negara seolah lupa bahwa kehadiran guru di wilayah sulit adalah hasil dari ketahanan manusia, bukan kehebatan kebijakan.

Pemecatan ini mungkin sah secara administratif, tetapi cacat secara moral. Negara boleh menegakkan aturan, namun ia tidak boleh kehilangan nurani. Keadilan bukan sekadar menanyakan “apa yang dilanggar”, tetapi juga “mengapa itu terjadi”. Tanpa pertanyaan kedua, hukum hanya akan melahirkan kepatuhan kosong, bukan keadilan substantif.

Pertanyaan terbesar bukan tentang Nur Aini semata, melainkan tentang wajah negara yang kita bangun. Apakah negara hadir sebagai pengelola yang memahami keterbatasan warganya, atau sebagai penguasa yang hanya fasih menghitung pelanggaran? Jika guru yang lelah dan sakit saja tak diberi ruang dialog, bagaimana nasib pendidikan yang katanya ingin kita majukan?

Kasus ini seharusnya menjadi alarm keras: disiplin negara harus disertai empati, dan kebijakan publik harus berpijak pada manusia, bukan semata prosedur. Jika tidak, kita hanya akan melahirkan birokrasi yang rapi di atas kertas, tetapi rapuh dalam keadilan. Dan dari sistem seperti itu, sulit berharap lahir pendidikan yang benar-benar memanusiakan manusia.

 

***

*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.