TIMES MALANG, MALANG – Program 1.000 Event yang digulirkan Pemerintah Kota Malang lahir dari semangat optimisme. Kota ini ingin bergerak, hidup, dan bergema. Ruang-ruang publik dipenuhi festival, panggung seni, agenda olahraga, bazar ekonomi kreatif, hingga perayaan berbasis komunitas.
Malang hendak menampilkan diri sebagai kota event dinamis, atraktif, dan ramah bagi wisatawan. Namun, di balik gegap gempita kalender kegiatan yang padat itu, muncul satu pertanyaan mendasar yang tak boleh dihindari: apakah seribu event benar-benar membangun kota, atau sekadar membuat kota tampak sibuk?
Tidak dapat disangkal, event adalah denyut ekonomi jangka pendek. Hotel terisi, pelaku UMKM mendapat limpahan pengunjung, seniman dan pekerja kreatif memperoleh panggung. Kota terasa hidup, warga memiliki hiburan, dan pemerintah mendapatkan narasi keberhasilan. Namun kota bukan sekadar panggung pesta.
Kota adalah ekosistem sosial yang membutuhkan arah, bukan hanya keramaian. Ketika kebijakan lebih sibuk mengejar jumlah kegiatan ketimbang dampak, maka yang diproduksi bukan kemajuan, melainkan ilusi aktivitas.
Masalah pertama terletak pada substansi. Event yang baik tidak diukur dari seberapa sering ia digelar, melainkan dari seberapa jauh ia meninggalkan jejak perubahan. Seribu agenda tanpa benang merah berisiko menjelma menjadi kembang api kebijakan: menyala terang sesaat, lalu lenyap tanpa bekas.
Jika sebuah event hanya berakhir pada seremoni, dokumentasi foto, dan laporan administratif, maka yang tumbuh bukan daya tahan kota, melainkan kelelahan kolektif baik bagi komunitas, panitia, maupun anggaran daerah.
Persoalan berikutnya adalah keberlanjutan. Banyak event lahir, namun sedikit yang tumbuh dewasa. Agenda digelar sekali, lalu menghilang tanpa kesinambungan program. Padahal, pembangunan kota menuntut proses jangka panjang, bukan peristiwa sesaat.
Kota Malang sesungguhnya kaya akan komunitas seni, literasi, sejarah, pendidikan, lingkungan, hingga teknologi. Sayangnya, tidak semua event dirancang untuk memperkuat ekosistem ini. Sebagian justru bersifat instan: mudah digelar, mudah dilaporkan, tetapi miskin transformasi.
Orientasi pembangunan manusia juga patut dipertanyakan. Malang dikenal sebagai kota pendidikan, kota dengan denyut intelektual yang kuat. Identitas ini semestinya tercermin dalam desain kebijakan event.
Berapa banyak dari seribu event tersebut yang benar-benar meningkatkan literasi publik, memperkuat kapasitas pemuda, membangun kesadaran lingkungan, atau mengasah daya pikir kritis warga? Jika mayoritas agenda hanya berfungsi sebagai hiburan massal, maka kota berisiko kehilangan ruh intelektualnya, tergantikan oleh logika keramaian yang dangkal.
Kritik lain menyentuh keadilan ruang dan partisipasi. Event sering kali terpusat di lokasi yang sama, melibatkan aktor yang itu-itu saja, dan dinikmati oleh segmen tertentu. Sementara itu, kampung-kampung di pinggiran kota kerap hanya menjadi penonton.
Jika program 1.000 event tidak dirancang dengan prinsip pemerataan, ia justru berpotensi memperlebar jarak sosial antara pusat dan pinggiran, antara komunitas mapan dan kelompok akar rumput. Kota tampak ramai, tetapi tidak sepenuhnya inklusif.
Meski demikian, kritik terhadap Program 1.000 Event tidak semestinya dibaca sebagai penolakan. Justru sebaliknya, program ini menyimpan potensi besar jika diarahkan ulang secara lebih bijak.
Kota Malang perlu menggeser paradigma dari kuantitas menuju kualitas. Lebih baik memiliki event yang lebih sedikit namun berdampak jangka panjang, ketimbang seribu agenda tanpa jejak perubahan. Setiap event seharusnya dirancang dengan pertanyaan sederhana namun krusial: apa yang berubah setelah acara selesai?
Selain itu, agenda event perlu ditempatkan dalam peta besar pembangunan kota. Kegiatan pendidikan, budaya, ekonomi kreatif, lingkungan, dan sejarah tidak boleh berjalan sendiri-sendiri, melainkan saling menguatkan. Dengan cara ini, kota tidak hanya ramai oleh aktivitas, tetapi bergerak menuju visi yang terukur dan berkesinambungan.
Yang tak kalah penting, komunitas harus ditempatkan sebagai subjek, bukan sekadar pelaksana teknis. Pemerintah seharusnya berperan sebagai fasilitator dan penjaga arah, bukan produsen tunggal agenda. Ketika komunitas dilibatkan sejak perencanaan, rasa memiliki akan tumbuh, dan keberlanjutan tidak perlu dipaksakan.
Seribu event seharusnya bukan sekadar angka kebanggaan, melainkan jalan menuju kedewasaan kebijakan. Kota Malang tidak kekurangan kreativitas, tetapi membutuhkan kebijaksanaan dalam mengelolanya.
Kota yang benar-benar besar bukan ditandai oleh banyaknya panggung yang berdiri, melainkan oleh seberapa jauh panggung-panggung itu mampu mengangkat martabat warganya hari ini dan di masa depan.
***
*) Oleh : Mashudi Hamzah, Pengurus IKatan Mahasiswa Raas (IMR) Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |