https://malang.times.co.id/
Opini

Adapatasi Guru di Era Teknologi

Kamis, 18 Desember 2025 - 15:57
Adapatasi Guru di Era Teknologi Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

TIMES MALANG, MALANG – Perkembangan teknologi dalam dunia pendidikan sering kali dibingkai secara ekstrem. Di satu sisi, teknologi dipuja sebagai solusi ajaib yang diyakini mampu menyelesaikan hampir seluruh persoalan pembelajaran. 

Di sisi lain, ia ditakuti sebagai ancaman yang perlahan menggerus peran guru. Padahal, persoalan sesungguhnya bukan terletak pada teknologi itu sendiri, melainkan pada cara kita memosisikan guru di tengah arus perubahan yang tak terelakkan ini.

Guru hari ini tidak sedang berhadapan dengan masa depan yang sepenuhnya baru, tetapi dengan tuntutan baru atas peran lama. Digitalisasi pembelajaran, kecerdasan buatan, platform daring, hingga algoritma penilaian bukanlah tanda berakhirnya profesi guru. 

Justru sebaliknya, teknologi menegaskan bahwa peran guru tidak pernah sekadar menyampaikan materi. Jika mengajar hanya soal transfer pengetahuan, mesin memang bisa menggantikannya. Namun pendidikan tidak pernah sesederhana itu.

Teknologi telah mengubah cara siswa mengakses informasi. Pengetahuan kini tersedia dalam hitungan detik. Ironisnya, kemudahan ini tidak otomatis melahirkan pemahaman yang mendalam. Di sinilah peran guru menjadi semakin krusial. 

Guru bukan lagi pusat informasi, melainkan penuntun makna. Ia membantu siswa memilah, mengkritisi, dan mengaitkan informasi dengan konteks kehidupan nyata. Tanpa kehadiran guru, teknologi justru berpotensi melahirkan generasi yang kaya data tetapi miskin kebijaksanaan.

Masalahnya, transformasi teknologi sering kali dibebankan sepenuhnya kepada guru tanpa diiringi dukungan sistem yang memadai. Guru dituntut adaptif, kreatif, dan melek digital, tetapi pelatihan yang diberikan kerap bersifat seremonial. 

Banyak program digitalisasi sekolah berakhir pada pengadaan perangkat, bukan penguatan kapasitas pedagogik guru. Akibatnya, teknologi hanya menjadi kosmetik kebijakan, bukan alat peningkatan kualitas pembelajaran.

Di banyak sekolah, teknologi bahkan menambah beban administratif guru. Platform pembelajaran, sistem pelaporan daring, dan aplikasi penilaian sering kali dirancang tanpa perspektif pengguna. 

Guru akhirnya lebih sibuk mengisi data daripada merancang pengalaman belajar yang bermakna. Dalam situasi seperti ini, teknologi bukan membebaskan guru, melainkan membelenggunya.

Kita juga perlu jujur mengakui kesenjangan digital yang masih nyata. Tidak semua guru memiliki akses, infrastruktur, dan literasi teknologi yang setara. Guru di daerah tertinggal sering dipaksa mengikuti standar yang dirancang berdasarkan konteks perkotaan. 

Ketika teknologi dijadikan ukuran profesionalisme tanpa mempertimbangkan realitas lapangan, yang terjadi bukan peningkatan mutu, melainkan ketidakadilan baru dalam dunia pendidikan.

Di sisi lain, guru juga tidak boleh memosisikan diri sebagai korban perubahan. Menolak teknologi atas nama romantisme masa lalu justru akan menjauhkan guru dari peserta didiknya. 

Generasi hari ini hidup dalam ekosistem digital. Guru yang menutup diri dari teknologi berisiko kehilangan relevansi pedagogik. Adaptasi bukan berarti tunduk pada mesin, tetapi memanfaatkan teknologi secara kritis dan bermartabat.

Teknologi seharusnya dipahami sebagai alat pedagogik, bukan tujuan. Kecerdasan buatan, misalnya, dapat membantu personalisasi pembelajaran, analisis kemajuan siswa, hingga pengayaan materi. 

Namun keputusan pedagogik tetap harus berada di tangan guru. Empati, keteladanan, dan nilai-nilai kemanusiaan tidak bisa diajarkan oleh algoritma. Pendidikan karakter, etika, dan kepekaan sosial justru membutuhkan kehadiran manusia yang utuh: guru.

Oleh karena itu, kebijakan pendidikan berbasis teknologi harus menempatkan guru sebagai subjek utama, bukan sekadar operator. Investasi terbesar seharusnya bukan pada perangkat keras, melainkan pada pengembangan profesional guru. 

Pelatihan teknologi harus terintegrasi dengan pedagogi, bukan berdiri sendiri. Guru perlu dibekali kemampuan merancang pembelajaran kritis, kolaboratif, dan kontekstual dengan dukungan teknologi yang relevan.

Lebih jauh, martabat guru juga harus dijaga dalam ekosistem digital. Di era media sosial, guru kerap menjadi sasaran penilaian instan, bahkan perundungan digital. 

Otoritas moral dan profesional guru mudah dipatahkan oleh potongan video atau narasi sepihak. Negara dan masyarakat perlu membangun budaya digital yang adil, yang melindungi guru sekaligus mendorong akuntabilitas secara proporsional.

Masa depan pendidikan tidak ditentukan oleh seberapa canggih teknologi yang digunakan, tetapi oleh seberapa bijak guru memanfaatkannya. Guru yang berpikir kritis akan menggunakan teknologi untuk membebaskan pikiran siswa, bukan menyeragamkannya. Guru yang berkarakter akan menjadikan teknologi sebagai sarana memperkuat nilai, bukan menggantikannya.

Di tengah gelombang perubahan yang kian cepat, satu hal harus ditegaskan: teknologi boleh berkembang tanpa henti, tetapi pendidikan hanya akan bermakna jika guru tetap dimuliakan. 

Masa depan pendidikan Indonesia tidak sedang menunggu mesin yang lebih pintar, melainkan guru yang lebih berdaya, berpengetahuan, dan bermartabat di era teknologi.

*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.