https://malang.times.co.id/
Opini

Kebenaran yang Tergantung Arah Pandang

Jumat, 17 Oktober 2025 - 20:02
Kebenaran yang Tergantung Arah Pandang Firda Aprilia Dewi Sastra, Kader PMII Cabang Kota Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Sejak kecil, kita dibesarkan dengan pelajaran sederhana: yang sopan itu baik, yang melawan itu buruk. Nilai-nilai kesantunan menjadi ukuran moral tertinggi, seolah semua hal bisa dikategorikan dengan tegas: hitam atau putih, benar atau salah.

Namun, ketika kita beranjak dewasa, batas itu mulai kabur. Pertanyaan pun muncul: apakah benar dan salah memang nyata, atau hanya konstruksi sosial yang kita ciptakan agar hidup tampak teratur? Sebab sering kali, yang dianggap benar oleh satu pihak, justru terlihat salah bagi pihak lain.

Bayangkan seorang pencuri. Secara hukum ia jelas bersalah karena mengambil hak orang lain. Tapi dari kacamata pribadinya, mungkin ia mencuri karena desakan kebutuhan demi menyambung hidup keluarganya yang lapar. Dalam pandangannya, ketidakpedulian masyarakat terhadap nasibnya justru adalah kejahatan yang sesungguhnya.

Contoh lain yang lebih dekat dengan keseharian adalah fenomena knalpot brong. Bagi para penggemar otomotif, suara bising itu adalah ekspresi kebanggaan. Namun bagi warga sekitar, itu bentuk pelanggaran kenyamanan publik. Dua sudut pandang yang sama-sama merasa benar, sama-sama punya alasan. Sesederhana angka 6 dan 9 semuanya tergantung dari arah mana kita melihatnya.

Ketidakseimbangan pandangan seperti ini sering kali berakar dari pengalaman, budaya, dan keyakinan yang membentuk cara berpikir setiap individu. Pengalaman hidup menjadikan seseorang menilai dunia dengan kacamata berbeda. 

Pendidikan pertama kita berasal dari ibu yang menanamkan nilai sopan santun dan empati. Setelah itu, pengalamanlah yang menjadi guru paling keras: ia mengajarkan pahit, getir, hingga arti kompromi.

Dalam kehidupan sosial, perbedaan cara pandang sering kali menimbulkan salah tafsir. Seorang mahasiswa yang aktif bertanya di kelas bisa dianggap sok tahu atau egois karena menghabiskan waktu orang lain, padahal ia hanya ingin memahami pelajaran lebih dalam. 

Anggota organisasi yang pamit sementara karena urusan keluarga bisa dicap tidak bertanggung jawab, meski sebenarnya ia tengah berjuang menyelesaikan persoalan pribadi yang berat.

Bahkan, seseorang yang memilih jalan berbeda dari teman-temannya bisa dilabeli “tidak setia kawan”, padahal ia hanya ingin pulang lebih cepat. Dalam setiap situasi, benar dan salah bisa bertukar posisi tergantung tujuan dan konteks.

Kita sering lupa bahwa kebenaran bukan satu warna. Ia bukan mutlak, melainkan hasil interaksi dari banyak persepsi yang berkelindan. Ketika tujuan hidup tidak sejalan, maka yang muncul adalah benturan pandangan.

Isu semacam ini juga tampak nyata dalam dinamika budaya dan agama di Indonesia. Misalnya budaya kejawen, yang masih dijalankan sebagian masyarakat sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur atau tolak bala. 

Di sisi lain, sebagian kelompok menilainya sesat karena dianggap menyimpang dari ajaran agama. Siapa yang benar? Masing-masing punya keyakinan dan dasar pembenarannya sendiri.

Begitu pula dengan budaya pesantren. Mencium tangan kiai, menunduk ketika lewat di depan guru, atau memuliakan sosok pengasuh pesantren dianggap wajar bagi para santri sebagai simbol adab dan rasa terima kasih. 

Namun bagi mereka yang tidak memahami konteksnya, tindakan itu dinilai berlebihan bahkan fanatik. Padahal di mata santri, penghormatan itu adalah bentuk cinta kepada guru yang telah menuntun ilmu dan akhlak mereka.

Dari sini tampak bahwa perbedaan pandangan sering kali bukan soal benar atau salah, melainkan soal rasa saling menghargai. Kebenaran tidak lahir dari paksaan, melainkan dari pemahaman yang disertai empati.

Kita hidup di masyarakat yang majemuk berbeda keyakinan, budaya, dan cara berpikir. Maka tugas kita bukan memaksakan pandangan, tetapi membangun ruang dialog agar setiap perbedaan bisa saling menjelaskan. 

Ketika kita berhenti memahami orang lain, di situlah lahir ketidakseimbangan: kebenaran berubah menjadi kesombongan, dan kesalahan menjadi vonis tanpa dasar. Tidak ada yang sepenuhnya benar atau sepenuhnya salah. Yang ada hanyalah upaya manusia untuk mencari keseimbangan di antara keduanya.

***

*) Oleh : Firda Aprilia Dewi Sastra, Kader PMII Cabang Kota Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.