TIMES MALANG, MALANG – Tahun politik di Indonesia sejak 2024 telah menghadirkan tantangan besar bagi perdamaian sosial. Polarisasi yang tajam akibat perbedaan pilihan politik semakin memperdalam jurang perpecahan di tengah masyarakat.
Perdebatan di ruang publik, baik secara langsung maupun di media sosial, sering kali berubah menjadi konflik yang tidak sehat. Namun, di tengah dinamika politik yang memanas, Ramadan hadir sebagai momen refleksi yang dapat menjadi alat pemersatu bangsa.
Dengan nilai-nilai ketakwaan, solidaritas, dan kasih sayang yang terkandung dalam ajaran Islam, Ramadan memiliki potensi untuk meredakan ketegangan dan membangun kembali persaudaraan yang retak akibat perbedaan politik.
Salah satu fenomena terbaru yang menunjukkan tantangan perdamaian dalam tahun politik adalah maraknya kampanye politik yang berbasis identitas. Pemilihan presiden 2024 diwarnai dengan retorika yang memecah belah, di mana kelompok-kelompok tertentu berusaha mengkapitalisasi sentimen keagamaan untuk kepentingan politik mereka.
Hal ini tidak hanya memicu polarisasi di tingkat elite, tetapi juga menimbulkan gesekan sosial di masyarakat. Perbedaan pandangan politik yang seharusnya menjadi bagian dari demokrasi yang sehat, berubah menjadi konflik berkepanjangan yang mengancam keharmonisan sosial.
Dalam situasi seperti ini, Ramadan dapat menjadi momen untuk meredam ketegangan. Bulan suci ini mengajarkan pentingnya kesabaran, pengendalian diri, serta saling memaafkan.
Tradisi buka puasa bersama, tarawih berjamaah, serta kegiatan sosial seperti berbagi dengan kaum dhuafa, dapat menjadi sarana efektif untuk menyatukan masyarakat yang terpecah akibat politik.
Banyak komunitas Muslim di Indonesia yang memanfaatkan Ramadan untuk menggelar diskusi lintas kelompok dan mengajak masyarakat untuk kembali fokus pada nilai-nilai kebersamaan. Hal ini membuktikan bahwa Ramadan bukan sekadar ibadah personal, tetapi juga memiliki dimensi sosial yang sangat kuat dalam membangun persatuan.
Di sisi lain, Ramadan juga menjadi ajang bagi para pemimpin politik untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap persatuan bangsa. Para tokoh politik sering kali memanfaatkan bulan suci ini untuk menggelar safari Ramadan, menghadiri berbagai kegiatan keagamaan, serta berdialog dengan masyarakat.
Meski sebagian pihak melihat langkah ini sebagai strategi politik, tidak bisa dipungkiri bahwa momentum Ramadan memberikan ruang bagi rekonsiliasi nasional. Pemimpin yang bijak akan memanfaatkan bulan ini untuk mengurangi ketegangan politik dan mendorong dialog yang lebih sehat di antara kelompok-kelompok yang berbeda pandangan.
Namun, tantangan tetap ada. Polarisasi politik yang sudah mengakar tidak bisa dihilangkan hanya dalam satu bulan Ramadan. Konflik di media sosial tetap marak, dengan berbagai narasi yang berusaha menggiring opini publik ke arah tertentu. Hoaks dan ujaran kebencian masih menjadi masalah serius yang memperburuk perpecahan.
Oleh karena itu, Ramadan harus dijadikan sebagai momentum untuk membangun kesadaran kolektif akan pentingnya literasi digital dan etika dalam bermedia sosial. Dengan semangat Ramadan, umat Muslim di Indonesia dapat diajak untuk lebih bijak dalam menyikapi informasi serta menghindari provokasi yang dapat memperkeruh situasi politik.
Selain itu, Ramadan juga memberikan kesempatan bagi tokoh agama dan ulama untuk memainkan peran strategis dalam meredakan ketegangan politik. Dakwah yang menekankan pentingnya ukhuwah Islamiyah dan persaudaraan kebangsaan dapat menjadi penyejuk di tengah panasnya situasi politik.
Ulama yang memiliki pengaruh besar di masyarakat dapat mengajak umat untuk menjadikan Ramadan sebagai bulan introspeksi, bukan bulan untuk memperkuat permusuhan. Dengan pendekatan yang tepat, Ramadan dapat menjadi katalis bagi terciptanya suasana politik yang lebih damai dan kondusif.
Kesimpulannya, tantangan perdamaian di tahun politik Indonesia sejak 2024 memang tidak bisa dianggap remeh. Polarisasi yang semakin tajam mengancam persatuan dan harmoni sosial.
Ramadan hadir sebagai peluang emas untuk membangun kembali persaudaraan yang terpecah akibat perbedaan politik. Melalui nilai-nilai keislaman yang menekankan kebersamaan, kesabaran, dan kasih sayang, Ramadan dapat menjadi alat yang efektif untuk meredam ketegangan dan membangun dialog yang lebih sehat.
Tantangan yang ada memang besar, tetapi jika momentum Ramadan dimanfaatkan dengan baik oleh semua pihak, baik masyarakat, ulama, maupun pemimpin politik, maka Indonesia dapat melangkah menuju demokrasi yang lebih damai dan inklusif.
***
*) Oleh : Muhammad Nafis, S.H, M.H., Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |