TIMES MALANG, MALANG – Demonstrasi yang marak belakangan ini tidak bisa hanya dilihat sebagai keributan jalanan atau tindakan destruktif semata. Ia adalah bahasa politik rakyat yang seringkali tidak memiliki saluran lain untuk didengar. Ketika suara diabaikan, ketika keputusan diambil tanpa empati, maka jalanan menjadi ruang terakhir rakyat untuk menyampaikan jeritan.
Dalam sejarah Indonesia, demonstrasi justru menjadi titik balik lahirnya perubahan besar. Dari perlawanan kolonial, gerakan mahasiswa 1966, hingga Reformasi 1998 semuanya lahir dari suara kolektif di jalanan. Tanpa demo, mungkin wajah Indonesia hari ini akan berbeda.
Demo sejatinya adalah bentuk koreksi. Ia bukan sekadar ekspresi marah, melainkan tanda bahwa kontrak sosial antara rakyat dan penguasa sedang retak. Bung Hatta dalam bukunya Demokrasi Kita (1960) menegaskan bahwa demokrasi harus menjamin rakyat bebas menyampaikan pendapat, berserikat, dan berkumpul, karena negara sejatinya adalah pelayan rakyat, bukan penguasa mutlak.
Gagasan ini menegaskan bahwa ruang protes adalah bagian sahih dari demokrasi. Dengan kata lain, menolak demo sama saja dengan menolak mekanisme koreksi terhadap kekuasaan.
Gus Dur, tokoh yang dikenal sebagai bapak demokrasi pluralisme, berulang kali menegaskan bahwa kebebasan berekspresi adalah hak setiap warga negara, meski tidak semua orang harus setuju dengan isinya.
Spirit dari pemikiran ini jelas: memberi ruang pada rakyat untuk bersuara jauh lebih penting daripada sekadar menyetujui isi suaranya. Tanpa ruang itu, demokrasi hanya akan menjadi nama kosong.
Mengapa Ada yang Menolak Demonstrasi?
Sebagian orang memandang demo hanya membawa kericuhan, mengganggu jalan raya, dan merusak ketertiban. Pandangan ini bisa dimengerti, karena sering kali demo memang berujung ricuh. Namun, yang jarang dibicarakan adalah: mengapa demo harus ricuh?
Jawabannya sederhana karena aspirasi rakyat terlalu lama diabaikan. Jika jalur dialog formal berjalan baik, demonstrasi tidak perlu menjadi ledakan kemarahan.
Demonstrasi menjadi rusuh bukan karena rakyat pada dasarnya destruktif, tetapi karena negara gagal menyediakan ruang dialog yang sehat.
Menolak demo sama saja dengan menolak sejarah bangsa sendiri. Tanpa demonstrasi mahasiswa pada 1998, apakah Orde Baru akan tumbang? Tanpa demo kaum buruh di masa kolonial, apakah perbaikan nasib pekerja akan lahir?
Menolak demonstrasi berarti melupakan bahwa demokrasi kita berdiri di atas darah, keringat, dan keberanian mereka yang turun ke jalan.
Demo terbaru yang memprotes tunjangan DPR dan kebijakan elit adalah cermin jelas jurang sosial kita. Di satu sisi, wakil rakyat menikmati fasilitas fantastis; di sisi lain, rakyat berjuang membayar kontrakan.
Ketidakadilan ini menimbulkan ledakan sosial. Korban jiwa dalam demo, seperti yang baru-baru ini terjadi, menunjukkan kegagalan negara dalam mengelola aspirasi.
Di sinilah pentingnya memahami demo sebagai mekanisme koreksi, bukan ancaman. Pemerintah yang alergi terhadap demo sesungguhnya sedang menutup ruang sehat demokrasi.
Sebaliknya, negara yang matang justru menganggap demo sebagai barometer: sejauh mana kebijakan sudah sesuai dengan nurani rakyat.
Jalan Pencerahan
Daripada menolak demo, yang perlu dilakukan adalah memperbaiki ekosistem politik agar demo tidak perlu selalu berakhir ricuh: Membuka ruang dialog reguler antara pemerintah, mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil. Mereformasi aparat keamanan agar menghadapi demonstrasi dengan pendekatan de-eskalasi, bukan represif.
Mengurangi jurang sosial dengan menata ulang fasilitas mewah pejabat yang menyakiti rasa keadilan rakyat. Menguatkan pendidikan politik agar rakyat memahami demo bukan sekadar marah, tapi bagian dari kontrol sosial.
Demo adalah suara kolektif rakyat, bukan sekadar kerumunan marah. Ia adalah cermin retak demokrasi kita cermin yang memberi tanda agar penguasa bercermin pada nurani.
Bung Hatta telah mengingatkan dalam Demokrasi Kita bahwa negara adalah pelayan rakyat, dan Gus Dur menegaskan bahwa kebebasan berekspresi adalah hak yang tidak boleh dicabut. Menolak demo sama saja menolak ruh demokrasi itu sendiri.
Maka, ketika rakyat turun ke jalan, seharusnya yang kita dengar bukan deru teriakannya, melainkan pesan yang terselip: bahwa keadilan belum tegak, bahwa suara belum didengar. Dan hanya dengan keberanian mendengar, demokrasi bisa tumbuh dewasa.
***
*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Praktisi Hukum.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |