TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Fenomena tersebarnya video asusila seorang guru honorer di Jember menjadi salah satu dari rangkaian bukti bahwa tubuh perempuan sangat rentan menjadi sumber hasrat seksual. Bisa dikatakan, dalam situasi demikian tubuh perempuan telah dikonstruksi dan dikendalikan dalam struktur sosial yang didominasi maskulinitas. Perempuan tidak hanya sebagai objek pandangan, tetapi lebih jauh, terjerat dalam jaring dominasi maskulin.
Kondisi tersebut telah memposisikan tubuh mereka sebagai bagian simbol konsumsi. Tubuh feminin ini senantiasa terancam oleh objektifikasi yang dilakukan melalui pandangan dan perkataan orang lain.
Hal ini seolah menyingkap pemahaman bahwa dalam masyarakat konsumsi, tubuh perempuan bukan lagi kepimilikan pribadi, namun telah menjelma objek yang menjadi komoditas dalam pasar tanda dan hasrat.
Perempuan sebagai Esse Percipi
Dalam Dominasi Maskulin (2010: 90-97), Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa keberadaan (esse) tubuh perempuan secara historis telah dikonstruksi sebagai eksisten "yang dilihat atau diamati" (percipi). Keberadaan perempuan tidak hanya entitas otonom, tetapi selalu dikaitkan dengan cara laki-laki melihat dan mengobjektivasi.
Dalam kasus Bu Guru S, tubuhnya direpresentasikan dalam video yang beredar, bukan sebagai dirinya sendiri, tetapi sebagai sebuah objek yang diperbincangkan, dikomentari, dan dihakimi. Dalam masyarakat patriarkal, perempuan harus selalu waspada terhadap tatapan (gaze) publik, karena tubuh mereka adalah ruang simbolik yang selalu dipertanyakan moralitasnya.
Efek dominasi maskulin demikian menempatkan perempuan dalam suatu kondisi dan situasi kebergantungan simbolik, sehingga merekonstruksi mereka sekadar sebagai barang-barang simbolik (2010: 94). Konsekuensi dari cara pandang demikian telah memproduksi parameter preskriptif bahwa perempuan ‘untuk pandangan orang lain harus mampu menjadi benda-benda yang menerima, menarik, dan yang tersedia’.
Struktur maskulin mengharap bahwa seharusnya perempuan itu bersifat "feminin", sosok murah senyum, simpatik, penuh perhatian, tunduk, tidak banyak bicara, bisa mengendalikan diri, bahkan kalau bisa tidak pernah terlihat (diliyankan).
Pretensi dari "femininitas" seringkali semata-mata hanyalah bentuk kesenangan yang ditujukan untuk memenuhi harapan-harapan maskulin, baik yang nyata maupun yang diandaikan, terutama dalam hal penyanjungan ego lelaki. Tanpa henti, di bawah pengawasan orang lain, perempuan dihukum untuk terus mendapati jarak antara tubuh yang nyata yang membelenggunya dengan tubuh deal yang harus mati-matian dicapainya.
Dalam kondisi ini, perempuan sering kali kehilangan kontrol atas tubuh mereka sendiri karena ia telah menjadi bagian dari ekspektasi sosial yang telah terinternalisasi sejak lama.
Erotisme dan Objektifikasi
Pemikiran Jean Baudrillard mengenai kecantikan dan erotisme fungsonal dalam Masyarakat Konsumsi (2015: 169-174) mengintegrasikan cara pandang normative bahwa tubuh tidak lagi sekadar eksistensi biologis
Hal tersebut telah direduksi menjadi tanda yang berfungsi sebagai objek dari pengagungan narsisis dan unsur ritual sosial. Kecantikan dan seksualitas perempuan bukan lagi sesuatu yang alami, tetapi telah dikomodifikasi dan menjadi bagian dari sistem konsumsi.
Baudrillard menyoroti bagaimana perempuan dijadikan bagian dari sistem tanda yang merayu (seduction), di mana kecantikan dan tubuh mereka tidak sekadar eksistensi fisik, tetapi juga sesuatu yang dipertukarkan dalam pasar konsumsi.
Ini semakin diperparah dengan fenomena bahwa perempuan sering kali terlibat secara tidak sadar dalam sistem ini, di mana mereka menganggap bahwa eksistensi mereka ditentukan oleh seberapa menarik mereka di mata orang lain.
Dengan demikian, terdapat suatu paradoks, bahwa realitas ini sebetulnya terjadi di banyak perempuan lain, di luar fenomena ini, bahwa mereka dengan sendirinya telah mengekspos seksisme sebagai kebanggan bagi kecantikan.
Perempuan sebagai Konsumsi Maskulin dan Upaya Membebaskan Tubuh
Baik dalam perspektif Bourdieu maupun Baudrillard, perempuan dalam masyarakat patriarkal cenderung terjebak dalam realitas yang menempatkan mereka sebagai objek. Dalam kasus Bu Guru S, ia awalnya menganggap interaksinya dengan pacar online sebagai bentuk hubungan emosional yang tulus.
Dalam praktiknya, ia tanpa sadar masuk ke dalam perangkap konsumsi maskulin yang melihat tubuhnya sebagai barang dagangan. Ia dijanjikan hadiah mobil sebagai imbalan atas video yang direkamnya, mencerminkan bagaimana tubuh perempuan sering kali dijadikan alat tukar dalam sistem patriarki.
Nahasnya, situasi tersebut justru menunjukkan bahwa dalam masyarakat konsumsi, perempuan yang dianggap menyimpang dari norma estetika atau moral akan segera dikucilkan. Lebih-lebih perempuan yang tubuhnya terpublikasi secara tidak sah sering kali tidak mendapat empati, melainkan diposisikan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas eksploitasi yang mereka alami.
Kasus Bu Guru S menunjukkan bagaimana dominasi maskulin dan konsumsi tubuh perempuan berjalan beriringan dalam struktur sosial modern. Bourdieu menjelaskan bahwa perempuan hidup dalam ketergantungan simbolik terhadap pandangan orang lain, sementara Baudrillard menegaskan bahwa tubuh perempuan telah dikomodifikasi dalam masyarakat konsumsi.
Padahal perempuan seharusnya diberdayakan agar memiliki kontrol penuh terhadap tubuh mereka sendiri, bebas dari tekanan sosial yang memaksa mereka untuk menjadi “yang selalu dilihat” dan dihakimi. Selama tubuh perempuan masih dianggap sebagai objek konsumsi dan alat kepuasan maskulin, selama itu pula perempuan akan terus menjadi korban dari sistem yang tidak adil.
Oleh karena itu, perlu ada perubahan mendasar dalam cara masyarakat memandang perempuan, bukan sebagai objek, tetapi sebagai individu yang memiliki hak penuh atas tubuh dan kehidupannya sendiri. (*)
***
*) Oleh : Angga T. Sanjaya, Dosen Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi, UAD.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |