TIMES MALANG, SURABAYA – Bulan Ramadan seharusnya menjadi momentum refleksi bagi setiap individu. Namun, dalam 150 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran (Pragib), ujian tampaknya tidak hanya datang bagi umat Muslim yang menahan diri dari segala bentuk pantangan, tetapi juga bagi stabilitas politik dan kebijakan publik di Indonesia.
Berbagai kebijakan yang dikeluarkan—mulai dari program makan siang gratis, Badan Investasi Danantara, kebijakan efisiensi anggaran, hingga revisi Undang-Undang TNI—menjadi sorotan publik dan memicu perdebatan. Belum selesai diskursus mengenai kebijakan-kebijakan tersebut, muncul pula dugaan intimidasi terhadap kebebasan pers, yang semakin menjadikan kondisi demokrasi di Indonesia seperti benang kusut yang sulit diurai.
Dalam sejarah dunia, setiap pemimpin memiliki pendekatan yang berbeda dalam mengelola pemerintahan mereka di awal masa jabatan. Franklin D. Roosevelt, misalnya, merespon Depresi Besar dengan meluncurkan program New Deal pada tahun 1933 untuk menstabilkan ekonomi Amerika Serikat.
Sementara itu, dalam kurun waktu periode yang sama, Adolf Hitler, setelah diangkat sebagai Kanselir Jerman, mulai mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan membubarkan parlemen dan membatasi oposisi. Pemerintahan Pragib, di sisi lain, menghadapi tantangan stabilitas politik dengan inovasi-inovasi kebijakan baru yang memicu banyak penerimaan dan tidak sedikit pula resistensi publik.
Kebijakan efisiensi anggaran misalnya, jika ditelaah, kebijakan ini sebenarnya bukanlah sebuah hal baru dalam skala global. Pada tahun 2013, Amerika Serikat pernah menerapkan Sequestration Policy, yang memangkas anggaran federal secara otomatis untuk mengurangi defisit.
Inggris, di era David Cameron (2010-2016), juga menerapkan kebijakan Austerity, yang bahkan memangkas anggaran pendidikan dan layanan sosial. Yunani, pasca krisis ekonomi 2010-an, juga dipaksa oleh IMF dan Uni Eropa untuk menjalankan Austerity Measures guna menstabilkan ekonominya.
Namun, ada satu perbedaan mendasar antara kebijakan efisiensi anggaran di negara-negara tersebut dengan situasi di Indonesia saat ini. Kebijakan pemotongan anggaran di Indonesia justru berbanding terbalik dengan kebijakan memperbanyak kursi menteri dan lembaga-lembaga baru di awal pemerintahan. Pemerintah menggaungkan efisiensi, tetapi di sisi lain tetap mempertahankan proyek infrastruktur yang masif, sementara bantuan sosial dan subsidi justru terancam berkurang.
Banyak yang khawatir kebijakan efisiensi ini lebih membebani rakyat kelas menengah ke bawah daripada menyasar kelompok elite. Anggaran pendidikan dan kesehatan sering kali menjadi korban pemotongan, padahal keduanya merupakan elemen fundamental bagi kesejahteraan rakyat.
Pasal 23 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dengan jelas menyatakan bahwa pengelolaan keuangan negara harus dilakukan secara transparan dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Lantas, kemakmuran rakyat yang mana yang sebenarnya ingin dicapai dengan kebijakan ini? Apabila kebijakan efisiensi anggaran tidak disertai dengan transparansi dan keadilan dalam distribusi anggaran, maka kebijakan ini hanya akan menjadi bentuk pemangkasan hak rakyat, bukan efisiensi yang sesungguhnya.
Selain kebijakan anggaran, revisi Undang-Undang TNI juga menjadi momok yang diperbincangkan banyak kalangan. Salah satu yang menjadi kekhawatiran utama masyarakat adalah bahwa revisi ini dinilai mereduksi supremasi sipil (civilian supremacy) dalam sistem demokrasi Indonesia.
Meskipun para pendukung revisi UU TNI menegaskan bahwa perubahan tiga pasal dalam undang-undang tersebut tidak serta-merta menghidupkan kembali ruh Dwi Fungsi ABRI. Namun sejarah telah membuktikan bahwa militerisasi dalam pemerintahan memiliki dampak besar terhadap demokrasi sebab militer dan demokrasi adalah dua entitas yang berbeda secara substansial maupun praktis.
Sejak reformasi 1998, Indonesia telah berusaha membangun demokrasi yang lebih kokoh dengan membatasi keterlibatan militer dalam politik. Namun, revisi UU TNI justru memberikan ruang bagi perwira aktif untuk menempati jabatan sipil di berbagai kementerian dan lembaga negara.
Hal ini dikhawatirkan dapat membuka kembali celah militerisasi pemerintahan, yang berpotensi menggeser arah demokrasi menuju model neo otoritarianisme.
Keputusan revisi ini pun mengundang pertanyaan: Apakah revisi UU TNI merupakan bagian dari upaya efisiensi pemerintahan, ataukah justru langkah mundur menuju era otoritarianisme baru? Dwi fungsi ABRI seolah masih menjadi hantu bergentayangan yang menakuti udara segar demokrasi bagi banyak masyarakat sipil hari ini.
Belum selesai perdebatan mengenai kebijakan anggaran dan revisi UU TNI, kini publik dihadapkan pada ancaman terhadap kebebasan pers, salah satu pilar utama demokrasi. Beberapa jurnalis dikirimi paket misterius berisi kepala babi dan bangkai tikus tanpa kepala, yang dikirim ke kantor media mereka.
Dalam sistem demokrasi, pers berperan sebagai watchdog yang bertugas mengawasi kebijakan pemerintah dan menyampaikan informasi yang objektif kepada publik. Ancaman terhadap jurnalis bukan hanya ancaman terhadap individu, tetapi juga ancaman terhadap kebebasan berbicara dan transparansi pemerintahan.
Catatan historis membuktikan bahwa pelemahan kebebasan pers sering kali menjadi awal dari kemunduran demokrasi. Di banyak negara dengan sistem otoriter, pers menjadi target utama pembungkaman. Jika intimidasi terhadap jurnalis terus terjadi tanpa tindakan hukum yang tegas, maka tidak berlebihan jika publik mulai mempertanyakan: Apakah Indonesia masih berada di jalur demokrasi?
Bulan Ramadan seharusnya menjadi momen refleksi bagi semua pihak, termasuk bagi pemerintah, terlepas dari gerakan bersih-bersih maling berdasi yang harus diapresiasi. Menahan diri dari keputusan yang terburu-buru, mendengarkan aspirasi rakyat, serta mengutamakan transparansi dan keadilan dalam kebijakan publik adalah wujud nyata dari kepemimpinan yang bertanggung jawab. Jika pemerintah ingin mendapatkan legitimasi dan dukungan rakyat, maka kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan haruslah berbasis kepentingan masyarakat luas.
Sekalipun Deborah Stone dalam bukunya Policy Paradox menjelaskan bahwa kebijakan selalu bersifat paradoksal, di mana keputusan yang diambil pasti akan menguntungkan sebagian pihak dan merugikan yang lain sehingga pro dan kontra di tengah masyarakat menjadi sebuah hal yang lumrah, tidak berarti opini publik terkait setiap kebijakan pemerintah juga bisa dihiraukan.
Bagaimanapun, teori dasar dalam kebijakan publik menyodorkan fakta bahwa kebijakan yang baik harus melalui proses analisis yang mencerminkan berbagai sudut pandang, termasuk kritik dan dukungan dari berbagai pihak.
Pemerintahan ini masih berada dalam tahap awal, dan masih ada kesempatan untuk mengoreksi arah kebijakan agar tetap sejalan dengan prinsip demokrasi dan kesejahteraan rakyat.
Ramadan ini bukan hanya menjadi ujian bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah, tetapi juga menjadi ujian bagi pemerintah dalam menjaga stabilitas politik, transparansi anggaran, supremasi sipil, dan kebebasan pers. Karena pada akhirnya, bukan hanya keimanan yang diuji di bulan Ramadan ini, tetapi juga demokrasi kita.
***
*) Oleh : Hikam Hulwanullah, S.H., M.H., LL.M., Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum UNESA.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |