TIMES MALANG, JAKARTA – 100 hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo telah berakhir dengan berbagai gebrakan kebijakan yang cukup mencuri perhatian publik. Namun, meski upaya tersebut bertujuan untuk membangun fondasi pemerintahan yang lebih baik, ada satu isu yang sangat mendalam dan perlu dibahas: efektivitas kebijakan terkait anggaran.
Salah satu kebijakan yang mendapat sorotan adalah upaya pemerintah untuk mengefisienkan anggaran daerah yang di duga untuk mewujudkan program politiknya, yaitu pemberian makan bergizi gratis. Program yang seharusnya membawa dampak positif ini justru berisiko menghadirkan masalah anggaran yang terseok-seok, bahkan mengancam stabilitas fiskal daerah.
Tentu, kebutuhan akan program sosial seperti makan bergizi gratis anak di sekolah adalah hal yang sangat penting dan layak diupayakan. Program semacam ini bisa mengurangi angka kelaparan dan malnutrisi yang masih menjadi tantangan besar di Indonesia.
Namun, keberhasilan program tersebut tak bisa hanya ditentukan dengan niat baik tanpa mempertimbangkan keseriusan perencanaan anggaran yang matang.
Jika pembiayaan untuk program ini dipaksakan dengan cara mengurangi anggaran daerah yang sudah ada, maka potensi besar terjadinya kesulitan keuangan pada level pemerintahan daerah sangat mungkin terjadi.
Banyak daerah yang bergantung pada alokasi anggaran dari pusat untuk menjalankan program-program dasar mereka, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Ketika anggaran tersebut dipangkas demi memenuhi janji politik pemerintah pusat, maka daerah-daerah ini bisa kehilangan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan mereka.
Tanpa anggaran yang memadai, berbagai sektor vital yang berhubungan langsung dengan kesejahteraan masyarakat, seperti pendidikan dan kesehatan, bisa terabaikan. Bahkan, proyek pembangunan infrastruktur yang direncanakan untuk meningkatkan daya saing daerah pun bisa terhambat.
Belum lagi, pengurangan anggaran daerah ini dapat memperburuk ketimpangan antara pusat dan daerah. Daerah yang sudah memiliki infrastruktur dan kapasitas fiskal yang terbatas tentu akan sangat kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan yang terlalu mendikte ini.
Sementara daerah dengan anggaran besar dan infrastruktur yang baik mungkin akan lebih mudah beradaptasi, meski hal ini tetap menimbulkan ketidakadilan dalam pemerataan pembangunan. Dalam jangka panjang, kebijakan ini berisiko memperlebar jurang ketimpangan antara wilayah yang kaya dan miskin.
Kebijakan yang mengarah pada pengefisienan anggaran juga menuntut efektivitas tinggi dalam implementasinya. Sayangnya, pengalaman dari berbagai kebijakan serupa di masa lalu menunjukkan bahwa janji-janji besar sering kali gagal terealisasi dengan tepat sasaran.
Alih-alih memangkas anggaran secara efektif, pemerintah bisa saja terjebak dalam kebijakan yang tidak transparan dan kurang terkontrol. Pada akhirnya, bukan hanya daerah yang akan terkena dampaknya, tetapi juga masyarakat yang berharap banyak pada janji-janji tersebut.
Program makan bergizi gratis memang sebuah langkah positif untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, namun pembiayaan yang tepat dan berkelanjutan menjadi kunci keberhasilannya. Ketika kebijakan ini diterapkan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan anggaran, maka justru akan menimbulkan masalah baru.
Jangan sampai upaya untuk memenuhi janji politik tersebut justru mengorbankan kebutuhan mendasar lainnya yang seharusnya juga mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Selain itu, dalam konteks politik yang semakin kompleks, kebijakan-kebijakan besar sering kali lebih terfokus pada pencapaian tujuan jangka pendek daripada solusi jangka panjang. Program makan bergizi gratis mungkin akan sangat terlihat mengesankan dalam kurun waktu singkat.
Tetapi jika tidak ada rencana jangka panjang mengenai pengelolaan anggaran yang bijaksana, maka kebijakan ini akan gagal bertahan. Implementasi yang terburu-buru tanpa perencanaan matang bisa menambah beban fiskal negara yang sudah cukup berat.
Apalagi, dengan kondisi ekonomi global yang tidak menentu, Indonesia perlu sangat berhati-hati dalam mengambil langkah-langkah yang berisiko membebani anggaran negara. Pemangkasan anggaran daerah, yang merupakan kebijakan utama untuk mendukung program ini, justru bisa memperburuk ketidakpastian ekonomi.
Dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini, pemerintah seharusnya lebih fokus pada pengelolaan anggaran yang bijaksana dan berkelanjutan, daripada terjebak pada program-program yang bersifat populis yang tidak didukung dengan perencanaan anggaran yang realistis.
Anggaran negara yang terseok-seok dalam memenuhi janji-janji politik akan menghadirkan risiko besar bagi stabilitas ekonomi. Tentu saja, kebijakan populis sangat penting untuk membangun hubungan yang baik antara pemerintah dan masyarakat.
Kebijakan tersebut harus didukung dengan perencanaan yang matang dan mempertimbangkan kondisi ekonomi secara keseluruhan. Jika tidak, program tersebut justru akan berbalik merugikan rakyat yang justru berharap mendapat manfaat lebih besar dari kebijakan pemerintah.
Kita semua tentu berharap agar kebijakan pemerintah benar-benar mampu membawa perubahan positif. Namun, perubahan tersebut tidak bisa dicapai dengan mengorbankan kestabilan fiskal dan mengabaikan perencanaan anggaran yang matang.
Keseimbangan antara program-program sosial yang bermanfaat dan pengelolaan keuangan negara yang hati-hati sangat penting untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan berkelanjutan. Oleh karena itu, kebijakan yang mendorong penghematan anggaran daerah perlu dipertimbangkan kembali, agar tujuan jangka panjang dapat tercapai tanpa mengorbankan kebutuhan dasar rakyat.
Pemerintah harus lebih realistis dalam merencanakan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan besar. Program makan bergizi gratis, meskipun sangat mulia, harus dijalankan dengan pendekatan yang tidak hanya melihat pada pencapaian jangka pendek, tetapi juga pada keberlanjutan jangka panjang.
Dalam hal ini, penting bagi pemerintah untuk mengelola anggaran dengan cermat, agar kebijakan-kebijakan tersebut tidak justru membawa dampak negatif yang lebih besar di masa depan.
***
*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |