TIMES MALANG, BANTEN – Era Reformasi memosisikan persoalan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) sebagai isu utama yang perlu diberantas. Semua ini berangkat dari kesadaran bahwa praktik demokrasi tidak akan membuahkan hasil tanpa upaya pemberantasan KKN.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi adalah tindakan pidana yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yang mencakup suap, gratifikasi, penggelapan, pemerasan, dan perbuatan curang.
Nasaruddin Umar (2019) menegaskan, korupsi adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan sadar untuk memperkaya diri atau orang lain dengan cara-cara tidak sah (bathil). Cara-cara tidak sah tersebut seperti menyogok, mark-up, curang, menipu, manipulasi, penyelewengan, penggelapan (ghuluw) dan cara-cara lain yang menyebabkan kerugian orang lain. Korupsi adalah sesuatu yang amat tercela karena tega memperkaya diri, kelompok, atau golongan sementara orang lain menderita.
Korupsi merupakan salah satu masalah kronis yang menjadi kendala pembangunan dewasa ini. Karena itu, hampir semua kalangan sepakat bahwa korupsi merupakan wabah yang berdampak buruk bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks ini, Aristo Purboadji (2015) menyebutkan beberapa dampak buruk korupsi. Pertama, korupsi membahayakan segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua, korupsi memundurkan kepercayaan umum. Ketiga, korupsi menggoblokkan kehidupan bangsa. Keempat, korupsi memperburuk ketertiban dunia.
Era Reformasi Indonesia sudah berjalan kurang lebih 27 tahun. Sayanganya, perang melawan korupsi belum membuahkan hasil sesuai yang dicita-citakan. Justru yang terjadi sebaliknya, kasus korupsi terus meningkat dari tahun ke tahun.
Misalnya, sepanjang 2004-2024 terdapat 167 kepala daerah yang tersandung kasus korupsi. Selama itu pula KPK telah menangani sebanyak 618 kasus korupsi di pemerintahan kabupaten dan kota.
UU Perampasan Aset
Upaya pemberantasan korupsi saat ini tengah menjadi fokus utama semua elemen bangsa untuk mereduksi angka korupsi dari tingkat nasional sampai ke tingkat desa. Tentunya untuk menyukseskan hal ini perlu sinergitas semua aparat penegak hukum maupun lembaga lainnya yang memiliki wewenang terkait pemberantasan korupsi.
Beberapa waktu lalu Presiden Prabowo juga telah menyatakan dukungannya terhadap pengesahan RUU Perampasan Aset. Tentu pernyataan ini berangkat dari semakin masifnya kasus korupsi di Indonesia.
Untuk mewujudkan hal itu, Presiden Prabowo Subianto bisa segera meminta kepada DPR untuk memasukan RUU Perampasan Aset ke dalam prolegnas dan memprioritaskan pembahasannya untuk segera disahkan menjadi UU.
RUU Perampasan Aset menawarkan pendekatan alternatif untuk pemberantasan korupsi dengan pendekatan in rem. Pendekatan ini menempatkan aset sebagai subjek hukum utama yang bisa dirampas tanpa perlu pembuktian kesalahan dari terduga pelaku tindak pidana korupsi.
Konsep ini juga memungkinkan perampasan aset dalam situasi di mana tersangka telah meninggal dunia, melarikan diri, atau tidak ditemukan (Reza & Yuliana, 2025).
Lebih lanjut, Reza dan Yuliana menegaskan, RUU Perampasan Aset juga menggunakan konsep unexplained wealth yang telah diterapkan di negara-negara maju seperti Australia. Konsep ini memungkinkan negara untuk menyita aset yang tidak dapat dijelaskan secara sah asal-usulnya oleh tersangka.
Konsep ini memberikan berbagai efektivitas, salah satunya adalah diperluasnya cakupan subjek hukum yang dapat diperiksa, mencakup keluarga atau pihak lain yang secara rasional dapat dicurigai terlibat dalam kegiatan kejahatan terorganisir.
Berangkat dari semakin maraknya kasus korupsi, maka RUU Perampasan Aset sangat mendesak untuk segera disahkan menjadi UU sebagai penyempurna undang-undang pemberantasan korupsi yang sudah berjalan.
Jika RUU Perampasan Aset ini benar-benar disahkan, diharapkan para koruptor akan mengalami pemiskinan sehingga menimbulkan efek jera dan dapat meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah serta sistem penegakan hukum di Indonesia.
***
*) Oleh : Kusai Murroh, S.Pd., S.H., M.H., Founder Rumah Klinik Hukum dan Penasehat Hukum LPPH-BPPKB Banten.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |