https://malang.times.co.id/
Opini

Birokrasi dalam Kabut

Rabu, 19 Maret 2025 - 14:37
Birokrasi dalam Kabut Fahmi Prayoga, S.E., Tenaga Ahli, Peneliti, dan Analis Kebijakan Publik SmartID.

TIMES MALANG, JAKARTA – Reformasi birokrasi sering digadang-gadang sebagai kunci untuk membangun tata kelola pemerintahan yang modern dan akuntabel. Narasi perbaikan sistem administrasi negara, yang ditopang oleh prinsip transparansi dan meritokrasi, menjadi jargon utama dalam berbagai kebijakan pemerintahan. Namun, sejauh mana janji ini terealisasi?

Di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, reformasi birokrasi kerap hanya menjadi alat legitimasi politik tanpa perubahan yang substansial. Pemerintah menetapkan regulasi yang tampaknya progresif, tetapi implementasinya justru menunjukkan pola yang berulang: inefisiensi sistem, lemahnya pengawasan, dan ketiadaan mekanisme pertanggung jawaban yang tegas.

Dalam konteks seleksi Aparatur Sipil Negara (ASN), berbagai inkonsistensi yang muncul menunjukkan bagaimana prinsip transparansi dan meritokrasi masih sebatas ilusi, khususnya pada tahapan seleksi dengan mekanisme Seleksi Kompetensi Bidang Tambahan Non CAT (SKB-T Non CAT).

Informasi terbaru pemerintah mengumumkan percepatan pengangkatan ASN dengan batas akhir paling lambat Juni 2025, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi. Keputusan ini menjadi potensi kontraproduktif apabila tidak diiringi dengan pembenahan sistem seleksi yang lebih transparan dan akuntabel di kemudian hari.

Jika birokrasi tetap terperangkap dalam mekanisme rekrutmen yang bermasalah, maka hal tersebut dapat menjadi pemicu lebih dalam bagi krisis kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Reformasi Permukaan

Teori institutional isomorphism dari DiMaggio dan Powell (1983) dalam The Iron Cage Revisited menjelaskan bagaimana banyak organisasi, termasuk birokrasi pemerintahan, cenderung meniru kebijakan reformasi yang dilakukan oleh negara lain tanpa memahami konteks dan kesiapan internal mereka. Akibatnya, reformasi hanya terjadi di permukaan—seolah ada perubahan, tetapi pada kenyataannya, praktik lama tetap lestari.

Dalam konteks seleksi ASN, inkonsistensi dalam regulasi menjadi bukti nyata dari permasalahan ini. Peraturan MenPANRB Nomor 6 Tahun 2024 secara eksplisit menyatakan bahwa seleksi ASN harus mengedepankan prinsip transparansi, objektivitas, dan non-diskriminasi.

Namun, dalam implementasinya, berbagai pelanggaran terjadi, seperti ketidaksesuaian skor psikotes, kebijakan selektif dalam memberikan kesempatan kedua bagi peserta tertentu, serta minimnya akuntabilitas dalam mekanisme evaluasi Tes Potensi Akademik (TPA).

Kondisi ini sejalan dengan analisis Kaufmann dan Kraay (2008) dalam Governance Matters, yang menegaskan bahwa tanpa adanya mekanisme pengawasan yang kuat, regulasi hanya akan menjadi dokumen administratif yang tidak memiliki daya dorong dalam menciptakan perubahan nyata.

Reformasi yang semestinya membawa perbaikan justru menjadi alat untuk mempertahankan status quo, di mana birokrasi tetap beroperasi dengan standar yang tidak jelas dan tidak akuntabel.

Meritokrasi di Persimpangan

Meritokrasi adalah prasyarat fundamental dalam menciptakan birokrasi yang berkualitas dan bebas dari korupsi. Dahlström dan Lapuente (2017) dalam Organizing Leviathan: Politicians, Bureaucrats, and the Making of Good Government mengungkapkan bahwa negara dengan sistem meritokrasi yang kuat memiliki efektivitas birokrasi yang lebih baik, tingkat korupsi yang lebih rendah, dan kebijakan publik yang lebih responsif.

Namun, dalam realitas seleksi ASN, meritokrasi justru belum memunculkan kabar bahagia. Ketidaksesuaian dalam sistem penilaian, rendahnya transparansi dalam proses seleksi, serta dugaan praktik maladministrasi semakin memperburuk kredibilitas sistem.

Jika sistem seleksi lebih banyak mengandalkan subjektivitas daripada parameter yang objektif, maka ASN yang terpilih bukanlah mereka yang paling kompeten, melainkan mereka yang "beruntung" dalam mekanisme seleksi yang masih penuh tanda tanya.

Implikasi dari lemahnya meritokrasi tidak hanya berdampak pada kualitas pelayanan publik, tetapi juga berpotensi menciptakan lingkungan birokrasi yang semakin rentan terhadap praktik nepotisme dan korupsi.

Penelitian Evans dan Rauch (1999) dalam Bureaucracy and Growth menunjukkan bahwa negara-negara dengan sistem birokrasi yang berbasis patronase mengalami stagnasi ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara yang memiliki sistem seleksi berbasis merit.

Dengan demikian, tanpa perbaikan fundamental dalam sistem rekrutmen ASN, maka bukan hanya kepercayaan publik yang terkikis, tetapi juga efektivitas birokrasi dalam menjalankan fungsinya sebagai penyelenggara pelayanan publik.

Dampak Reformasi yang Tidak Substansial

Reformasi birokrasi yang tidak disertai dengan transparansi dan meritokrasi memiliki dampak yang luas dan kompleks: Pertama, ketidakjelasan dalam sistem seleksi semakin memperkuat persepsi publik bahwa birokrasi bukanlah tempat bagi individu yang kompeten, tetapi bagi mereka yang memiliki akses terhadap jaringan informal yang lebih kuat.

Hal ini sejalan dengan teori kepercayaan sosial yang dikemukakan Fukuyama (1995) dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity, yang menekankan bahwa birokrasi yang tidak transparan akan memperparah ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi negara.

Kedua, lemahnya meritokrasi dalam seleksi ASN juga berpotensi menyebabkan eksodus talenta terbaik ke sektor lain yang lebih menghargai kompetensi. Di banyak negara, individu berbakat lebih memilih bekerja di sektor swasta atau bahkan mencari peluang di luar negeri karena sistem rekrutmen birokrasi tidak memberikan jaminan kompetisi yang adil.

Fenomena ini telah diamati oleh Acemoglu dan Robinson (2012) dalam Why Nations Fail, yang menunjukkan bahwa negara-negara dengan sistem rekrutmen berbasis favoritisme cenderung kehilangan daya saing dalam jangka panjang.

Ketiga, percepatan pengangkatan ASN yang tidak didukung dengan perbaikan sistem seleksi justru dapat memperparah kondisi birokrasi. Jika individu yang direkrut tidak melalui proses seleksi yang benar-benar objektif dan berbasis kompetensi, maka hasil akhirnya adalah birokrasi yang semakin lamban, tidak responsif, dan gagal memenuhi tuntutan masyarakat akan pelayanan publik yang berkualitas.

Reformasi atau Seremoni?

Jika reformasi birokrasi hanya berjalan sebagai formalitas tanpa diiringi transparansi yang nyata dan penerapan meritokrasi, dampaknya bukan hanya menurunkan kepercayaan publik tetapi juga menghambat efektivitas pemerintahan dalam memberikan pelayanan yang optimal.

Ketiadaan perbaikan mendasar membuat birokrasi hanya berfungsi sebagai instrumen administratif yang kehilangan esensi utamanya sebagai penggerak perubahan, sehingga tidak mampu menjawab tuntutan masyarakat akan pelayanan publik yang berkualitas.

Dalam konteks ini, kesenjangan antara janji reformasi dan realitas yang ada semakin memperparah krisis kepercayaan terhadap institusi negara. Kebijakan reformasi yang hanya dijadikan retorika politik tanpa disertai implementasi konkret membuat birokrasi tetap terjebak dalam praktik-praktik lama yang kaku dan tidak responsif.

Hal ini mengakibatkan birokrasi tidak hanya kehilangan legitimasi di mata publik, tetapi juga gagal memberikan ruang bagi inovasi serta peningkatan kualitas pelayanan publik.

Oleh karena itu, diperlukan upaya koreksi dan pembenahan sistem secara menyeluruh, mulai dari peningkatan mekanisme transparansi hingga penerapan prinsip meritokrasi yang sesungguhnya.

Reformasi birokrasi harus menjadi momentum transformasi struktural yang nyata, di mana setiap kebijakan tidak hanya dihitung sebagai formalitas administratif, melainkan sebagai fondasi bagi terciptanya tata kelola pemerintahan yang modern, akuntabel, dan responsif terhadap aspirasi masyarakat.

***

*) Oleh : Fahmi Prayoga, S.E., Tenaga Ahli, Peneliti, dan Analis Kebijakan Publik SmartID.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.