TIMES MALANG, MALANG – Dalam sejarah bangsa ini, aktivis selalu hadir sebagai denyut nadi perubahan. Mereka adalah suara yang tak sudi bungkam ketika keadilan dipasung, ketika rakyat kecil dipinggirkan oleh kebijakan yang timpang.
Namun, kini di tengah derap demokrasi yang katanya sudah mapan, masih saja kita menyaksikan jeruji besi menjadi jawaban negara atas kritik yang disuarakan. Aktivis kerap diperlakukan seolah duri dalam daging, padahal sesungguhnya mereka adalah alarm moral bagi setiap rezim.
Fenomena kriminalisasi aktivis semakin kentara ketika ruang demokrasi dirasa kian sempit. Jeritan tentang keadilan agraria, hak buruh, lingkungan hidup, hingga kebebasan berekspresi justru kerap berujung pada surat panggilan polisi atau ancaman pasal karet. Seakan negara alergi pada kritik, padahal kritik adalah vitamin bagi demokrasi.
Apa jadinya bila penguasa hanya dikelilingi tepuk tangan semu tanpa ada yang berani mengingatkan bahaya kebijakan yang salah arah? Itulah sebabnya keberadaan aktivis harusnya dianggap sebagai mitra kritis, bukan musuh yang perlu dipenjarakan.
Kita tidak bisa menutup mata, banyak kasus di mana aktivis harus berurusan dengan hukum hanya karena menyuarakan keresahan publik. Undang-undang yang seharusnya melindungi malah sering dipelintir menjadi alat represi. Pasal-pasal elastis yang dapat ditafsirkan semaunya menjadi borgol bagi kebebasan berpendapat.
Ironis, ketika konstitusi jelas-jelas menjamin hak atas kebebasan berpendapat, namun praktik di lapangan menunjukkan realitas yang jauh dari cita-cita demokrasi.
Lebih menyedihkan lagi, publik perlahan terbiasa dengan kriminalisasi itu. Ketika seorang aktivis ditangkap, masyarakat hanya ramai sebentar di media sosial, lalu hening kembali seolah tak terjadi apa-apa.
Normalisasi atas ketidakadilan inilah yang paling berbahaya. Jika jeruji besi dianggap hal biasa bagi para aktivis, maka lambat laun kritik akan sepi, dan suara rakyat akan redup. Demokrasi tanpa kritik hanyalah tirani dengan baju baru.
Pemerintah sering berdalih bahwa semua yang dilakukan adalah demi ketertiban dan stabilitas. Namun mari kita bertanya: stabilitas untuk siapa? Ketertiban untuk kepentingan siapa?
Jika ketertiban hanya berarti meredam suara kritis, maka stabilitas itu rapuh dan semu. Negara yang benar-benar kuat bukanlah negara yang anti kritik, melainkan negara yang mampu menampung kritik, mengolahnya, lalu menjadikannya bahan perbaikan kebijakan.
Aktivis hadir bukan untuk menjatuhkan negara, melainkan untuk mengingatkan agar negara tidak jatuh pada jurang kesewenang-wenangan. Mereka adalah cermin yang menampilkan wajah asli kekuasaan, apakah sudah berpihak pada rakyat atau justru menindasnya. Menjerat aktivis sama halnya dengan memecahkan cermin: wajah kusut kekuasaan mungkin tidak lagi terlihat, tetapi luka di dalam tidak akan hilang.
Di sisi lain, masyarakat juga harus waspada. Membiarkan aktivis dibungkam sama saja dengan membiarkan hak-hak sipil kita perlahan dicabut. Hari ini aktivis yang dipenjara, esok bisa jadi rakyat biasa yang bernasib sama ketika bersuara. Ingatan sejarah seharusnya cukup menjadi pelajaran, bahwa setiap era otoritarian selalu dimulai dengan pembungkaman terhadap suara-suara kritis.
Maka yang dibutuhkan saat ini adalah keberanian kolektif untuk menjaga ruang kebebasan. Publik tidak boleh hanya menjadi penonton pasif. Solidaritas adalah tameng terakhir ketika hukum kehilangan arah. Jika masyarakat bersatu menolak pembungkaman, maka jeruji besi tidak akan cukup kuat untuk menahan gelombang aspirasi rakyat.
Jeruji bagi aktivis adalah cermin buram dari krisis demokrasi. Ketika kritik dianggap ancaman, maka negara sedang berjalan mundur ke arah yang gelap. Jalan keluar dari kegelapan itu bukan dengan menutup mulut rakyat, melainkan dengan membuka telinga kekuasaan.
Aktivis bukan musuh, mereka adalah pengingat bahwa demokrasi harus hidup, bukan sekadar slogan di podium. Sebab tanpa kritik, demokrasi akan mati muda, dan jeruji bukan hanya untuk aktivis, melainkan untuk kita semua yang memilih diam.
***
*) Oleh : Baihaqie, Kader HMI dan Mahasiswa Hukum Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |