TIMES MALANG, TANGERANG – Maret 2024 lalu, Kota Serang mendadak jadi perhatian. Pelestarian bahasa daerah diawasi langsung oleh Komisi X DPR RI. Temuannya cukup menyentak: bahasa lokal kian terpinggirkan. Data BPS 2020 silam menguatkan kekuatiran itu sebanyak 38 persen anak-anak Indonesia sudah tak lagi menggunakan bahasa daerah.
Pastinya, ini bukan tentang komunikasi, melainkan identitas, jati diri, dan keberlanjutan budaya. Problemnya: seberapa urgen pemerintah daerah menjalankan amanat UU Pemajuan Kebudayaan No. 5/2017?
Di Serang, jawabannya mulai nampak. Lewat Peraturan Walikota, Pemkot mendorong penggunaan aksara Arab dan pengajaran bahasa Jawa Serang di sekolah serta pesantren. Tapi, seperti banyak inisiatif baik lainnya, masalahnya klasik: terbatasnya anggaran membuat realisasi belum maksimal.
Perda Pemajuan Kebudayaan Banten akhirnya disahkan pada Maret 2024 setelah 23 tahun menanti. Perda ini cakupannya sepuluh objek kebudayaan: dari tradisi lisan hingga olahraga tradisional.
Hal ini jadi payung hukum baru bagi Kota Serang, apalagi sejalan dengan terbitnya Perpres 115/2024 tentang Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK) 2025–2045. Pemerintah pusat kini menempatkan budaya sebagai aset strategis bangsa.
Strategi pemajuan kebudayaan sendiri mengedepankan tiga hal: penguatan hukum, inovasi sosial-budaya, dan pengembangan produk budaya. Dalam perspektif ini, budaya bukan cuma warisan, selebihnya peluang ekonomi.
Serang punya modal besar dari tradisi yang hidup, komunitas kreatif, hingga sejarahnya. Apakah pemerintah sigap memanfaatkan peluang ini, atau membiarkannya jadi potensi yang tak tergarap?
Revitalisasi Banten Lama
Penetapan kawasan Banten Lama sebagai cagar budaya pada Desember lalu jadi haluan yang patut diapresiasi. Tujuh situs bersejarah kini dilindungi hukum. Walau, usaha menjadikannya cagar budaya nasional pada 2025 tampak tersendat. Dari total 221 cagar budaya di Banten, 149 berstatus “terindikasi” belum diverifikasi, apalagi dipulihkan.
Revitalisasi kawasan ini sejatinya tak berhenti pada proyek fisik. Semestinya membangkitkan kembali denyut sosial, fungsi edukatif, dan nilai ekonominya. Revitalisasi Banten Lama mampu menyumbang 34,6% peningkatan kunjungan wisatawan, yang berarti dorongan bagi ekonomi lokal, A. A. Lestari et al. (2021). Sekalipun, tanpa dukungan infrastruktur dan tata kelola, kawasan ini bisa-bisa hanya jadi proyek elitis yang kehilangan jejaring dengan masyarakatnya sendiri.
Perlindungan jelas secara hukum, dengan UU Cagar Budaya 2010 dan Perda Kota Serang 2021. Meski dari dokumen ke realisasi, jalan masih panjang. Target 2025 bisa jadi sebatas prestasi administratif bila tak dibarengi pengawasan dan keberpihakan pada publik.
Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan
Kota Serang Pusat sedang menyusun Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan (RIPK) dari tahun 2025 hingga 2045 untuk memenuhi tujuan yang ditetapkan melalui Perpres 115/2024. Visi besar nasional: “Indonesia Bahagia” yang dibangun dari budaya yang mencerdaskan, mendamaikan, dan menyejahterakan. Budaya bukan lagi soal masa lalu namun fondasi masa depan.
RIPK Kota Serang idealnya disusun partisipatif—aspirasi warga, komunitas budaya dan akademisi dikumpulkan melalui Musrenbang, dan diselaraskan dengan RPJPD 2025–2045. Tiga pilar jadi pondasinya: pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan.
Warisan dijaga, inovasi digerakkan, dan budaya dijadikan sumber kesejahteraan. Targetnya juga riil: meningkatkan Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) dari 57,13 ke 68,15 pada tahun 2045.
Ekraf Serang
Ekonomi kreatif di Serang masih jalan di tempat. Dari 17 subsektor yang ada, belum satu pun menunjukkan perkembangan hingga akhir 2024. Penyebabnya bisa ditebak: perencanaan lemah, fasilitas seadanya, dan dukungan pembiayaan nyaris tak terasa.
Padahal potensi lokal melimpah. Pencak silat dan Debus bukan cuma warisan, tapi bisa jadi atraksi wisata. Kuliner khas seperti sate bandeng, rabeg, dan gipang punya pasar yang luas, asal diperkuat inovasi dan branding. Sayangnya, tanpa kerjasama triple helix antara pemerintah, akademisi, dan pelaku usaha, ekraf Serang hanya jadi jargon pemanis.
Beberapa festival seperti Pawai HUT Kota Serang dan Serang Fair memang memberi ruang hidup bagi budaya dan UMKM. Dilibatkannya generasi Z, komunitas lintas agama dan pelaku seni jadi isyarat bahwa budaya, toleransi, dan ekonomi bisa tumbuh bersama—asal difasilitasi.
Pemerintah seyogianya mulai bergerak. Festival ekonomi kreatif dan forum khusus jadi penanda niat baik. Kendati untuk melompat jauh, percepatan regulasi, peningkatan kapasitas SDM, dan akses pembiayaan mesti digenjot.
Kemenparekraf pun mendorong uji petik Penilaian Mandiri Kabupaten/Kota Kreatif (PMK3I) agar subsektor unggulan bisa diidentifikasi dan ekosistemnya dibangun.
Kota Serang punya segalanya untuk jadi pusat ekonomi kreatif berbasis budaya di Banten bahkan Indonesia. Pertanyaannya ajeg: apa kita cukup telaten menyiapkannya? (*)
***
*) Oleh : Heru Wahyudi, Dosen di Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |