TIMES MALANG, JAKARTA – Data Global Islamic Economy Indicator (GIEI) tahun 2023, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi syariah Indonesia berhasil naik ke peringkat ketiga, sebuah lompatan yang signifikan dari posisi ke-11 pada tahun 2018.
Dua tahun sebelumnya, 2021 Indonesia berhasil meraih peringkat pertama Cambridge Global Islamic Finance Report (GIFR) dengan skor 83,35 dan disusul oleh Arab Saudi dan Malaysia.
Menurut Dr. Humayon Dar, Direktur Jenderal Cambridge Institute of Islamic Finance sekaligus Founder Cambridge GIFR, Indonesia muncul sebagai pemain yang serius dalam industri keuangan Islam global.
Penetapan peringkat tersebut disebabkan Indonesia unggul di hampir semua aspek indikator penilaian, yaitu perbankan syariah, pasar modal syariah, takaful dan retakaful, keuangan mikro Islam, dan lain-lain. Dua hal yang paling menonjol pada keuangan syariah Indonesia adalah perkembangan keuangan sosial syariah dan pasar modal syariah.
Tentu, pencapaian ini merupakan sinyal positif bagi upaya kolektif pemerintah dan masyarakat dalam menjadikan ekonomi syariah sebagai salah satu penopang utama perekonomian nasional.
Keberhasilan ini tidak terlepas dari penguatan ekonomi syariah Indonesia di berbagai sektor, mulai dari keuangan syariah, makanan halal, pariwisata ramah muslim, hingga pengelolaan wakaf dan zakat.
Namun, di balik keberhasilan ini, ada tantangan besar yang tidak boleh diabaikan, yaitu rendahnya tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakn oleh mantan Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin, bahwa“Peningkatan literasi dan inklusi ekonomi dan keuangan syariah masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu menjadi perhatian pemerintah”, Ungkapnya saat menghadiri Nusantara Sharia Economic Forum (NUSHAF) di Jakarta (30/07/2024).
Tantangan tersebut juga bisa kita lihat dari Laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2024 dimana pada tahun 2024 tingkat literasi keuangan syariah di Indonesia baru mencapai 39,11%, sementara tingkat inklusinya hanya 12,88%. Angka ini jauh dari target nasional dan menandakan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia belum memiliki akses yang memadai terhadap layanan keuangan syariah.
Belum lagi, kondisi ini diperparah oleh ketimpangan akses di wilayah pedesaan dan kawasan Indonesia bagian tengah serta timur. Menurut data Women’s World Banking (WWB) pada tahun (2023), sebanyak 66,75% masyarakat di Indonesia bagian timur, yang meliputi Maluku dan Papua, belum terjangkau akses keuangan. Akibatnya, masyarakat di daerah ini masih menghadapi kesulitan dalam memahami dan memanfaatkan layanan keuangan syariah.
Hambatan ini tidak semata-mata bersumber pada keterbatasan infrastruktur atau layanan. Rendahnya pemahaman masyarakat tentang konsep keuangan syariah juga menjadi tantangan utama. Banyak masyarakat yang masih asing dengan prinsip-prinsip dasar keuangan syariah, seperti larangan riba, prinsip bagi hasil, dan pentingnya transaksi yang transparan. Minimnya dukungan dari tokoh agama dan pemimpin komunitas, yang sejatinya dapat menjadi motor penggerak literasi keuangan syariah, turut memperparah situasi ini.
Keadaan ini juga diperumit oleh perbedaan demografi dan tingkat pendidikan. Masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah sering kali kesulitan memahami konsep keuangan syariah, apalagi jika informasi yang tersedia disampaikan dengan bahasa yang terlalu teknis.
Di sisi lain, meningkatnya ancaman kejahatan siber dalam layanan keuangan digital turut menambah lapisan tantangan dalam upaya meningkatkan inklusi keuangan syariah.
Namun, di balik berbagai tantangan tersebut, ekonomi syariah memiliki potensi besar yang belum sepenuhnya tergarap. Prinsip-prinsip inklusi keuangan Islam menekankan keadilan, keseimbangan, dan pembangunan sosial berkelanjutan memberikan landasan yang kuat bagi pengembangan sektor ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Prof. Nurul Indarti dari Universitas Gadjah Mada menunjukkan bahwa perusahaan berbasis syariah lebih stabil dan efisien dibandingkan perusahaan konvensional. Stabilitas ini seharusnya menjadi daya tarik bagi masyarakat dan pelaku usaha untuk mengadopsi sistem keuangan syariah.
Strategi Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLKI) 2021-2025 telah disusun sebagai langkah konkret untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang keuangan syariah. Namun, pelaksanaan strategi ini membutuhkan pendekatan yang lebih kolaboratif. Sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil sangat diperlukan untuk mencapai hasil yang maksimal.
Dalam hal ini, pemanfaatan teknologi digital dapat menjadi kunci untuk memperluas akses ke layanan keuangan syariah, terutama di daerah terpencil. Platform digital yang inklusif dan mudah diakses dapat menjembatani kesenjangan geografis sekaligus mengurangi biaya operasional.
Selain itu, tokoh agama dan pemimpin komunitas juga harus dilibatkan secara aktif dalam program literasi keuangan. Peran mereka tidak hanya sebagai pemberi informasi, tetapi juga sebagai pembangun kepercayaan masyarakat terhadap produk keuangan syariah. Dengan dukungan mereka, masyarakat diharapkan lebih terbuka untuk memanfaatkan layanan keuangan syariah dalam kehidupan sehari-hari.
Di era yang semakin didominasi teknologi, literasi keuangan berbasis digital juga harus menjadi prioritas. Edukasi melalui media sosial, webinar, dan aplikasi interaktif dapat menjadi cara efektif untuk menjangkau generasi muda.
Kelompok ini memiliki potensi besar sebagai penggerak utama inklusi keuangan syariah di masa depan. Dengan pemahaman yang baik, mereka dapat menjadi agen perubahan yang memperluas penerapan prinsip-prinsip syariah dalam kehidupan ekonomi masyarakat.
Pada akhirnya, literasi dan inklusi keuangan syariah bukan hanya soal angka atau statistik, tetapi tentang menciptakan masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan sejahtera. Keberhasilan Indonesia dalam meningkatkan literasi dan inklusi keuangan syariah akan membawa dampak yang jauh lebih besar: kontribusi nyata terhadap pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).
Dengan komitmen dan kerja sama dari semua pihak, Indonesia tidak hanya mampu menjadi pemimpin global dalam ekonomi syariah, tetapi juga menjadi contoh bagi negara lain dalam membangun sistem keuangan yang berkeadilan dan berkelanjutan.
***
*) Oleh : Abdul Wahid Wathoni, Mahasiswa Magister Ekonomi Islam Sekolah Pasca Sarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |