TIMES MALANG, MALANG – Kita hidup di zaman di mana dompet bukan lagi terbuat dari kulit, tapi dari aplikasi. Uang tak lagi berbentuk lembaran, melainkan angka di layar ponsel. Dan transaksi ekonomi kini tak lagi berlangsung di pasar tradisional, melainkan di platform digital yang menghubungkan jutaan penjual dan pembeli tanpa pernah saling tatap muka.
Inilah wajah ekonomi baru: cepat, efisien, dan serba digital. Tapi di balik kemudahan itu, ada persoalan besar yang sering luput dari sorotan literasi ekonomi digital masyarakat yang masih rendah.
Banyak orang kini aktif dalam ruang digital, tapi belum tentu paham logika ekonomi di dalamnya. Kita bisa bertransaksi dengan satu klik, namun sering tidak tahu bagaimana sistem keuangan digital bekerja, siapa yang mengendalikan data, atau risiko apa yang tersembunyi di balik kemudahan itu.
Dalam konteks ini, literasi ekonomi digital bukan sekadar kemampuan menggunakan gawai, tapi soal pemahaman: bagaimana uang berputar, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana masyarakat bisa berdaulat di tengah arus teknologi yang begitu deras.
Fenomena ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, banyak pelaku UMKM yang ikut tren jualan online tanpa memahami sistem algoritma marketplace. Mereka hanya mengikuti arus, berharap produknya laku, tapi sering terjebak pada perang harga, potongan komisi tinggi, dan iklan digital yang tak terjangkau oleh modal kecil.
Di sisi lain, platform besar menguasai data dan menentukan siapa yang muncul di halaman depan, siapa yang tenggelam di dasar pencarian. Di sinilah kesenjangan digital itu bekerja secara halus: yang paham algoritma akan menang, yang tidak paham akan tersingkir.
Belum lagi soal keamanan finansial. Banyak masyarakat yang tergiur oleh investasi digital, kripto, hingga pinjaman online dengan janji manis bunga rendah. Tapi tanpa pemahaman ekonomi yang matang, semua itu bisa berubah jadi jebakan. Kasus penipuan berkedok investasi digital yang merugikan ribuan orang adalah contoh nyata betapa minimnya literasi ekonomi kita di era digitalisasi ini.
Padahal, literasi ekonomi digital seharusnya menjadi pondasi agar masyarakat tidak hanya menjadi pengguna, tapi juga pelaku yang berdaya. Kita membutuhkan masyarakat yang tidak sekadar konsumtif di ruang digital, tapi produktif dan kritis. Literasi digital bukan hanya tentang “melek teknologi,” tapi juga “melek makna” memahami dampak sosial, ekonomi, dan politik di balik setiap inovasi.
Sayangnya, kebijakan publik kita belum sepenuhnya menjawab kebutuhan itu. Program digitalisasi ekonomi sering hanya fokus pada pembangunan infrastruktur memperluas jaringan internet, mempercepat layanan digital tapi lupa pada sisi manusianya.
Masyarakat didorong untuk “go digital” tanpa dibekali kemampuan analisis ekonomi yang memadai. Akibatnya, ekonomi digital yang digadang-gadang sebagai jalan keluar dari kemiskinan, justru berpotensi menciptakan ketimpangan baru antara mereka yang paham dan yang tidak.
Pemerintah, lembaga pendidikan, dan sektor swasta semestinya menyadari bahwa literasi ekonomi digital adalah bentuk baru dari kedaulatan bangsa. Di era data dan algoritma, yang menguasai informasi akan menguasai arah ekonomi.
Jika masyarakat hanya menjadi konsumen data tanpa bisa mengolahnya, maka ekonomi digital hanya akan memperkaya segelintir korporasi global, sementara rakyat kecil menjadi penonton yang setia membayar tagihan kuota setiap bulan.
Sudah saatnya literasi ekonomi digital diajarkan sejak dini bukan sekadar cara menggunakan aplikasi keuangan, tapi bagaimana memahami nilai kerja, etika digital, dan prinsip ekonomi yang adil.
Dunia digital tak boleh dibiarkan menjadi arena baru kapitalisme tanpa batas, yang memeras perhatian dan waktu masyarakat tanpa memberi kesejahteraan nyata.
Ekonomi digital bisa menjadi peluang besar untuk pemerataan, tapi hanya jika rakyatnya melek literasi. Sebaliknya, tanpa literasi, digitalisasi hanyalah topeng baru bagi ketimpangan lama.
Maka, tugas kita bersama bukan hanya mempercepat koneksi internet, tapi juga memperkuat koneksi logika rakyat terhadap realitas ekonomi yang kini serba virtual. Karena di era ini, yang buta bukan lagi yang tak bisa membaca buku melainkan mereka yang tak bisa membaca algoritma.
***
*) Oleh : Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |