TIMES MALANG, MALANG – Demokrasi adalah janji tentang kedaulatan rakyat. Ia bukan sekadar prosedur memilih pemimpin, melainkan pengakuan bahwa suara warga adalah sumber sah kekuasaan. Namun wacana memilih kepala daerah melalui DPRD seakan ingin menarik kembali janji itu ke ruang rapat tertutup, menggeser rakyat dari pemilik kedaulatan menjadi penonton yang hanya bisa bertepuk atau mencibir dari kejauhan. Di titik inilah demokrasi terancam mengalami amputasi: hak politik rakyat dikebiri atas nama efisiensi dan stabilitas.
Pilihan kepala daerah oleh DPRD memang bukan barang baru dalam sejarah politik Indonesia. Namun menghidupkannya kembali di era pasca-reformasi ibarat memutar jarum jam demokrasi ke masa ketika kekuasaan lebih akrab dengan elite ketimbang dengan rakyat.
Dalih efisiensi anggaran dan pengurangan konflik elektoral terdengar rasional di permukaan, tetapi sesungguhnya menyimpan paradoks yang dalam: bagaimana mungkin demokrasi yang mahal disembuhkan dengan memangkas partisipasi rakyat?
Dalam demokrasi modern, biaya politik bukan semata angka dalam neraca keuangan negara. Ia adalah investasi kepercayaan. Ketika rakyat diberi hak memilih langsung pemimpinnya, negara sedang membayar harga untuk legitimasi.
Menghilangkan pemilihan langsung demi efisiensi sama artinya menukar legitimasi dengan kalkulasi fiskal jangka pendek. Demokrasi diperlakukan layaknya proyek yang bisa dihemat, bukan nilai yang harus dijaga.
Lebih jauh, pemilihan melalui DPRD menggeser locus kedaulatan dari rakyat ke segelintir elite politik. Jika hari ini satu suara rakyat setara nilainya di bilik suara, maka besok suara itu larut dalam aritmatika fraksi dan lobi politik. Rakyat kehilangan hak paling mendasar: menentukan siapa yang memimpin daerahnya. Ini bukan sekadar perubahan mekanisme, tetapi pergeseran makna demokrasi itu sendiri.
Bahaya terbesar dari skema ini adalah lahirnya kembali politik transaksional yang lebih gelap dan tertutup. Pemilihan langsung memang tidak steril dari politik uang, tetapi setidaknya ia berlangsung di ruang publik yang bisa diawasi. Ketika pemilihan dipindahkan ke DPRD, transaksi kekuasaan justru berpotensi menyempit ke ruang-ruang sunyi yang sulit dijangkau transparansi. Politik uang tidak hilang, ia hanya berganti alamat.
Dalam situasi demikian, kepala daerah tidak lagi bertanggung jawab kepada rakyat, melainkan kepada partai dan fraksi yang mengantarkannya ke kursi kekuasaan. Kontrak sosial bergeser: bukan lagi antara pemimpin dan warga, tetapi antara pemimpin dan elite politik. Akibatnya, kebijakan publik rawan dikendalikan oleh kepentingan sempit, bukan kebutuhan masyarakat luas.
Secara konstitusional, frasa “dipilih secara demokratis” dalam UUD 1945 memang membuka ruang tafsir. Namun demokrasi bukan sekadar prosedur perwakilan, melainkan juga partisipasi. Sejak reformasi, pemilihan langsung telah menjadi konsensus etis bahwa rakyat berhak menentukan arah kepemimpinan daerahnya. Menarik kembali hak itu sama dengan melanggar prinsip non-retrogression dalam demokrasi pantangan untuk mundur dari capaian hak politik yang telah diperoleh.
Dari sudut pandang publik, wacana ini juga melukai rasa keadilan. Rakyat yang setiap lima tahun diminta datang ke TPS untuk memilih presiden dan legislatif, tiba-tiba dianggap tidak cukup dewasa untuk memilih kepala daerahnya sendiri. Ada nada paternalistik di sini: seolah rakyat adalah anak kecil yang suaranya harus diwakilkan karena dianggap merepotkan. Demokrasi pun berubah menjadi oligarki yang dibungkus narasi teknokratis.
Padahal problem Pilkada hari ini bukan terletak pada hak pilih rakyat, melainkan pada tata kelola politik itu sendiri. Biaya tinggi, konflik, dan pragmatisme adalah produk dari sistem kepartaian yang lemah, penegakan hukum yang setengah hati, serta pendidikan politik yang belum matang. Menghilangkan pemilihan langsung bukan solusi, melainkan pengalihan masalah.
Ibarat kapal bocor, alih-alih menambal lambungnya, kita justru menyuruh penumpang turun ke laut. Demokrasi tidak diselamatkan dengan mengurangi partisipasi, tetapi dengan memperkuat kualitasnya. Reformasi pendanaan politik, transparansi kampanye, penegakan hukum yang tegas, dan literasi politik publik adalah jalan yang lebih jujur daripada memotong hak rakyat.
Memilih kepala daerah melalui DPRD bukan sekadar soal mekanisme, tetapi soal keberpihakan. Apakah negara berpihak pada kedaulatan rakyat atau pada kenyamanan elite? Demokrasi yang sehat menuntut kesabaran, biaya, dan keberanian untuk mempercayai rakyat. Jika kepercayaan itu dicabut, maka yang tersisa hanyalah prosedur kosong tanpa jiwa.
Kepala daerah yang lahir dari pilihan rakyat mungkin tidak sempurna, tetapi ia memiliki legitimasi moral yang tak bisa dibeli di ruang rapat. Sebab demokrasi sejatinya bukan tentang siapa yang paling efisien mengatur kekuasaan, melainkan tentang siapa yang berhak memilikinya. Dan dalam republik ini, jawabannya seharusnya tetap satu: rakyat.
***
*) Oleh : Ferry Hamid, Peraih Anugerah Tokoh Pemuda Inspiratif ATI 2024 TIMES Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |