TIMES MALANG, MALANG – Di panggung pemerintahan hari ini, hukum kerap diperlakukan bukan sebagai kompas moral, melainkan sekadar properti seremoni. Ia dibacakan dengan khidmat di podium, dikutip penuh retorika dalam pidato, namun ditinggalkan begitu saja ketika berhadapan dengan kepentingan kekuasaan.
Dalam praktiknya, hukum tak lagi menjadi ketentuan regulatif bagi politisi, melainkan alat fleksibel yang bisa ditekuk, ditafsirkan sepihak, bahkan dikecoh demi menyelamatkan posisi dan kuasa.
Fenomena ini bukan sekadar anomali, melainkan gejala sistemik. Publik menyaksikan bagaimana hukum sering kehilangan daya ikat ketika berhadapan dengan elite politik. Ia tajam ke bawah, namun tumpul ke atas. Rakyat kecil tersandung pasal, sementara politisi kerap menari lincah di antara celah-celah regulasi.
Politik, dalam kondisi ideal, seharusnya berjalan di bawah naungan hukum. Namun realitas menunjukkan sebaliknya: hukum justru sering diseret mengikuti arah politik. Ketika undang-undang tidak lagi menjadi pagar kekuasaan, melainkan tangga untuk mempertahankannya, di situlah demokrasi mulai rapuh dari dalam.
Kita hidup di era di mana manipulasi lebih canggih daripada kebohongan telanjang. Politisi jarang melanggar hukum secara terang-terangan; mereka lebih sering mengecoh mengelabui publik dengan permainan bahasa, prosedur formal, dan tafsir hukum yang menguntungkan diri sendiri. Aturan dipatuhi secara administratif, tetapi dilanggar secara substansial. Legal secara teks, cacat secara etika.
Hukum kemudian direduksi menjadi sekadar formalitas. Selama prosedur tampak sah, substansi keadilan bisa dinegosiasikan. Dalam logika ini, politik tak lagi soal amanah, melainkan akrobat kepentingan. Etika publik digeser oleh kecerdikan teknis. Yang penting bukan benar atau salah, melainkan aman atau tidak aman secara hukum.
Lebih ironis lagi, praktik pengecohan ini sering dibungkus dengan narasi konstitusional. Demi stabilitas, demi kepentingan nasional, demi rakyat frasa-frasa sakral itu diulang-ulang, seolah mampu membersihkan setiap manipulasi kebijakan. Bahasa politik berubah menjadi kabut tebal yang menutupi niat sebenarnya. Publik digiring untuk percaya, bukan untuk memahami.
Dalam kondisi demikian, hukum kehilangan wibawanya sebagai norma bersama. Ia tak lagi dipandang sebagai kesepakatan etis yang mengikat semua warga negara, melainkan sebagai medan tafsir yang bisa dimenangkan oleh siapa yang paling berkuasa. Ketika politisi berada di atas hukum secara de facto, maka keadilan hanya menjadi slogan kosong dalam spanduk kampanye.
Dampaknya tidak sederhana. Ketika publik melihat hukum dipermainkan oleh elite, kepercayaan sosial runtuh perlahan. Masyarakat mulai skeptis terhadap institusi negara. Hukum tak lagi dihormati, melainkan dicurigai. Dalam jangka panjang, ini melahirkan budaya sinis: jika penguasa bisa mengakali hukum, mengapa rakyat harus patuh?
Inilah titik paling berbahaya dalam kehidupan berbangsa. Bukan ketika hukum dilanggar, tetapi ketika hukum kehilangan legitimasi moralnya. Negara hukum tidak runtuh karena ketiadaan aturan, melainkan karena aturan tak lagi dipercaya.
Fenomena ini juga memperlihatkan lemahnya etika politik. Politik yang kehilangan fondasi moral akan selalu mencari celah untuk membenarkan diri. Kebenaran digantikan oleh kepantasan prosedural, dan keadilan dikalahkan oleh kepentingan elektoral. Dalam lanskap seperti ini, hukum hanya berfungsi sebagai tameng, bukan sebagai penuntun.
Padahal, dalam demokrasi yang sehat, politisi seharusnya menjadi teladan kepatuhan hukum, bukan aktor utama dalam praktik pengelakan. Kekuasaan tidak memberi hak istimewa untuk mengakali aturan, justru menuntut tanggung jawab yang lebih besar. Semakin tinggi jabatan, semakin berat beban moralnya.
Namun realitas menunjukkan sebaliknya. Banyak politisi lihai memainkan peran ganda: di satu sisi menggaungkan supremasi hukum, di sisi lain menegosiasikan pasal demi pasal untuk kepentingan kelompoknya. Inilah bentuk pengkhianatan paling halus terhadap demokrasi pengkhianatan yang dilakukan dengan wajah konstitusional.
Maka, kritik terhadap fenomena ini tidak boleh berhenti pada kemarahan sesaat. Publik perlu membangun kesadaran kritis bahwa hukum bukan sekadar produk politik, melainkan fondasi kehidupan bersama. Ketika hukum dikecoh, yang dirugikan bukan hanya satu kelompok, melainkan masa depan keadaban publik.
Penguatan lembaga penegak hukum, transparansi kebijakan, dan kontrol masyarakat sipil menjadi kebutuhan mendesak. Lebih dari itu, kita membutuhkan revolusi etika politik—sebuah kesadaran kolektif bahwa kekuasaan tanpa kepatuhan pada hukum hanyalah jalan pintas menuju kehancuran legitimasi negara.
Hukum harus dikembalikan ke tempat semestinya: sebagai panglima, bukan figuran. Sebab jika hukum terus dibiarkan menjadi alat permainan politik, maka panggung pemerintahan tak ubahnya teater sandiwara ramai retorika, miskin kejujuran. Dan dalam sandiwara seperti itu, rakyat selalu menjadi penonton yang paling sering dikecewakan.
***
*) Oleh : Agam Rea Muslivani, S.H., Praktisi Hukum Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |