https://malang.times.co.id/
Opini

Nafas Ekonomi Dagang Konvensional

Rabu, 31 Desember 2025 - 01:56
Nafas Ekonomi Dagang Konvensional Achmad Jasuli Afandi, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA Paiton Probolinggo.

TIMES MALANG, MALANG – Di tengah hiruk-pikuk ekonomi digital, e-commerce, dan algoritma yang mengatur selera pasar, ekonomi dagang konvensional kerap diposisikan sebagai masa lalu tua, lamban, dan tertinggal. Pasar tradisional dianggap kalah pamor dibanding etalase digital, pedagang kaki lima dipandang tak sebanding dengan startup bernilai triliunan. Namun di balik anggapan itu, ekonomi dagang konvensional sesungguhnya adalah denyut nadi lama yang masih mengalir, meski sering diabaikan.

Dagang konvensional bukan sekadar aktivitas jual beli, melainkan ruang perjumpaan sosial. Ia hidup di pasar pagi, di los sempit yang berbau tanah basah, di tawar-menawar yang bukan hanya soal harga, tetapi juga soal rasa percaya. 

Di sana, ekonomi tidak berdiri di atas grafik dan server, melainkan di atas relasi antarmanusia. Pedagang mengenal pembeli, pembeli mengenal pedagang sebuah ikatan yang tak bisa disalin oleh keranjang belanja digital.

Namun zaman bergerak cepat, sering kali terlalu cepat bagi mereka yang berdiri di tanah nyata. Ekonomi dagang konvensional menghadapi tekanan berlapis: perubahan pola konsumsi, invasi produk murah berskala besar, hingga kebijakan yang lebih ramah pada modal besar ketimbang usaha kecil. Pasar tradisional dibiarkan kusam, sementara pusat perbelanjaan modern dipoles cahaya dan fasilitas.

Di titik inilah ketimpangan ekonomi menjadi nyata. Dagang konvensional berjuang dengan modal terbatas, akses perbankan yang sempit, dan perlindungan kebijakan yang lemah. Mereka diminta bersaing di arena bebas, tetapi dipaksa berlari tanpa sepatu. Sementara pemain besar melaju dengan subsidi tersembunyi, insentif pajak, dan jaringan distribusi raksasa.

Ironisnya, ketika krisis datang pandemi, inflasi, atau gejolak global ekonomi dagang konvensional justru sering menjadi bantalan sosial. Pedagang kecil tetap membuka lapak, rantai pasok lokal tetap bergerak, dan kebutuhan dasar masyarakat tetap tersedia. Mereka mungkin tidak tercatat dalam indeks saham, tetapi keberadaannya menyelamatkan kehidupan sehari-hari.

Masalah utama bukan pada ketidakmampuan ekonomi konvensional beradaptasi, melainkan pada minimnya keberpihakan struktural. Modernisasi sering dimaknai sebagai penghapusan yang lama, bukan penguatan yang ada. Padahal, ekonomi dagang konvensional tidak anti-perubahan. Ia hanya membutuhkan jembatan bukan tembok untuk menyeberang ke zaman baru.

Digitalisasi seharusnya menjadi alat bantu, bukan algojo. Pedagang pasar bisa memanfaatkan teknologi untuk pencatatan, distribusi, dan promosi tanpa kehilangan ruh relasi sosialnya. Tetapi hal ini membutuhkan pendampingan nyata, bukan seminar seremonial. Negara tidak cukup memberi jargon UMKM naik kelas, jika tangga untuk naik itu sendiri rapuh.

Lebih dari itu, ekonomi dagang konvensional menyimpan nilai etika yang semakin langka: kejujuran, kesabaran, dan keseimbangan. Tidak semua transaksi ditentukan oleh untung maksimal. Ada toleransi, ada empati, ada ruang untuk manusia yang sedang susah. Nilai-nilai ini sering hilang dalam ekonomi yang sepenuhnya digerakkan oleh kecepatan dan akumulasi.

Jika ekonomi modern mengejar efisiensi, maka ekonomi konvensional menjaga keberlanjutan sosial. Ia mungkin tidak menciptakan unicorn, tetapi ia mencegah masyarakat terjerembab dalam jurang eksklusi ekonomi. Di sinilah seharusnya negara hadir: merawat yang kecil agar tidak mati, bukan hanya membesarkan yang besar agar semakin tinggi.

Kebijakan publik sering terjebak pada logika pertumbuhan angka, lupa pada distribusi makna. Pasar tradisional direlokasi tanpa dialog, pedagang digusur atas nama estetika kota, sementara ruang hidup ekonomi rakyat semakin menyempit. Padahal, kota yang beradab bukan hanya yang rapi secara visual, tetapi juga adil secara sosial.

Ekonomi dagang konvensional bukan musuh kemajuan. Ia adalah akar yang menahan pohon agar tidak tumbang saat angin perubahan bertiup kencang. Tanpa akar, kemajuan hanya akan menjadi ilusi yang rapuh. Modernitas yang memutus masa lalu hanya akan melahirkan krisis identitas ekonomi.

Masa depan ekonomi Indonesia tidak bisa dibangun dengan meninggalkan pasar rakyat. Ia harus dirajut dari pertemuan yang lama dan yang baru, antara lapak kayu dan layar sentuh, antara tawar-menawar dan teknologi. Sebab ekonomi yang sehat bukan hanya soal kecepatan transaksi, tetapi tentang siapa yang tetap bisa hidup di dalamnya.

Ekonomi dagang konvensional mungkin berjalan pelan, tetapi ia berjalan bersama manusia. Dan di tengah zaman yang sering berlari tanpa arah, barangkali justru dari langkah pelan itulah kita belajar kembali tentang makna kesejahteraan yang sesungguhnya.

 

***

*) Oleh : Achmad Jasuli Afandi, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA Paiton Probolinggo.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.