https://malang.times.co.id/
Opini

Pengacara Gaduh: Ajang Pansos dan Krisis Hukum

Selasa, 18 Februari 2025 - 18:56
Pengacara Gaduh: Ajang Pansos dan Krisis Hukum Endik Wahyudi, S.H, M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta dan Partner Pada Kantor Hukum Wahyudi & Sinuraya Law Office.

TIMES MALANG, JAKARTA – Sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara baru-baru ini menjadi sorotan bukan karena substansi perkaranya, melainkan karena kegaduhan yang terjadi, termasuk aksi seorang pengacara yang naik ke meja diruang sidang. Fenomena ini menggelitik sekaligus memprihatinkan.

Pangkal permasalahan ini tak lepas dari budaya pansos (panjat sosial) di kalangan penegak hukum, terutama pengacara yang ingin menunjukkan dominasi mereka di media dan media sosial.

Seolah berlomba-lomba mendapatkan validasi, mereka ingin dipandang sebagai yang paling hebat, paling kaya, dan paling berpengaruh. Akibatnya, Pengadilan yang seharusnya menjadi ruang penegakan keadilan justru berubah menjadi ajang drama dan sensasi.

Gaduh diruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Utara sejatinya berangkat dari permasalahan pribadi para Pengacara yang terlibat dalam perseteruan di dalam ruang Pengadilan tersebut, Berawal dari tuduhan pelecehan seksual dari satu kubu pengacara dibalas dengan laporan pencemaran nama baik dari kubu pengacara yang merasa tertuduh.

Semrawutnya penegakan hukum mulai terlihat ketika laporan pencemaran nama baik diproses dengan cepat oleh pihak kepolisian, sementara laporan pelecehan seksual justru jalan di tempat alias mandek.

Perkara yang sudah mengendap selama tiga tahun di kepolisian mendadak dibawa ke meja hijau, sehinga memicu kegaduhan di persidangan hingga pengacara naik ke meja dengan dalih tidak sadarkan diri.

Penegakan Hukum yang Sarat Ketimpangan

Dalam perspektif Lawrence M. Friedman, sistem hukum terdiri dari tiga elemen utama: struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Sengkarut yang terjadi ini menunjukkan bahwa ketiganya mengalami ketimpangan.

Peristiwa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara ini seharusnya bisa diselesaikan melalui mekanisme restorative justice (perdamaian), mengingat perkara pencemaran nama baik merupakan delik aduan yang sangat mungkin untuk dimediasi. Namun, justru polisi berani membawa perkara ini ke pengadilan. Ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah ada kepentingan lain yang bermain?

Dilain sisi, Kasus gaduh diruang persidangan ini sangat kontras jika dibandingkan dengan perkara pembunuhan oleh anak bos Prodia yang ditangani oleh Polres Jakarta Selatan.

Dalam kasus tersebut, aparat mencoba “mendamaikan” pihak-pihak yang terlibat, bahkan menimbulkan dugaan praktik suap hingga kasusnya viral. Dua peristiwa ini sama-sama menimbulkan kegaduhan, namun memperlihatkan standar ganda dalam penegakan hukum.

Budaya Hukum yang Belum Beranjak dari KKN

Pada level budaya hukum, tanda-tanda belum bergesernya pola pikir lama masih tampak jelas. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) masih menjadi penyakit kronis dalam sistem hukum kita. Seperti pepatah Jawa "tumbu oleh tutup", yang berarti "sama saja", pola ini terus berulang tanpa perbaikan yang berarti.

Kegaduhan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara ini berpangkal pada tindakan tidak profesional dari para penegak hukum itu sendiri, baik pengacara, polisi, maupun jaksa.

Jika memang ada dugaan pencemaran nama baik, mengapa tidak ditempuh jalur mediasi saja? Mengapa tidak cukup dengan pernyataan maaf dan klarifikasi bahwa tuduhan yang disampaikan tidak benar?

Organisasi Advokat Harus Bertindak Tegas

Membuat kegaduhan di ruang persidangan tidak dapat dibenarkan, apalagi hingga ada pengacara yang naik ke meja. Ini merupakan pelanggaran terhadap Pasal 207 dan 217 KUHP atau dapat kita sebut dengan Contempt of Court (penghinaan terhadap pengadilan).

Para Pengacara yang terlihat dapat dijerat dengan ketentuan pasal 207 atau 217 KUHP, sehingga saya pribadi mendukung pelaporan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara ke pihak Kepolisian. Organisasi advokat harus mengambil sikap tegas terhadap para advokat yang mencederai kemuliaan profesinya.

Profesi advokat harus digaungkan karena kemuliaannya, bukan sekadar karena seberapa banyak mobil mewah atau cincin berlian yang dimiliki. Advokat adalah officium nobile (profesi yang terhormat, bermartabat, dan menjunjung tinggi etika serta profesionalisme).

Literasi Hukum: Kunci Masyarakat yang Lebih Cerdas

Terakhir, masyarakat Indonesia perlu meningkatkan literasi hukum, Sebagai negara hukum, Indonesia seharusnya berpegang teguh pada keadilan yang sejati, bukan membiarkan ego pribadi dipertontonkan dalam balutan supremasi hukum yang semu. (*)

***

*) Oleh : Endik Wahyudi, S.H, M.H., Dosen Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta dan Partner Pada Kantor Hukum Wahyudi & Sinuraya Law Office.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.