TIMES MALANG, MALANG – Setiap pergantian tahun selalu dirayakan dengan cara yang hampir seragam: hitung mundur, kembang api, resolusi, lalu linimasa yang penuh ucapan harapan. Namun di balik semua itu, jarang ada yang bertanya mengapa manusia merasa perlu merayakan tahun baru. Apa sebenarnya yang sedang dirayakan: perubahan waktu, atau kebutuhan batin manusia untuk memulai ulang?
Tahun baru sejatinya tidak membawa apa pun yang benar-benar baru. Matahari tetap terbit dari arah yang sama, problem hidup masih utuh, dan struktur sosial tidak berubah dalam semalam. Namun manusia tetap merayakannya seolah dunia benar-benar di-reset. Di sinilah makna terdalam tahun baru tersembunyi: ia bukan tentang waktu, melainkan tentang harapan.
Manusia adalah makhluk yang mudah lelah oleh rutinitas dan kegagalan. Tahun baru menjadi jeda simbolik untuk bernapas. Ia menawarkan ilusi awal yang bersih, seakan-akan kesalahan bisa ditinggalkan di tahun lalu. Bukan karena masalah selesai, tetapi karena manusia membutuhkan narasi baru untuk melanjutkan hidup.
Sejarah perayaan tahun baru sendiri berangkat dari kebutuhan kolektif untuk menandai siklus. Dalam banyak peradaban kuno, pergantian tahun berkaitan erat dengan musim tanam, panen, dan ritme alam. Tahun baru dirayakan bukan dengan pesta, tetapi dengan refleksi dan doa agar siklus berikutnya lebih baik. Tahun baru adalah soal keberlanjutan hidup, bukan sekadar hiburan.
Sayangnya, makna ini perlahan tergerus. Tahun baru modern lebih sering dipahami sebagai peristiwa konsumsi. Hotel penuh, pusat perbelanjaan ramai, dan perayaan diukur dari seberapa meriah pesta digelar. Tahun baru tidak lagi menjadi ruang hening, melainkan panggung kebisingan.
Padahal, nilai paling penting dari tahun baru justru terletak pada kesadaran waktu. Tahun baru mengingatkan manusia bahwa hidup bergerak satu arah. Waktu tidak bisa diulang, tetapi bisa dimaknai. Setiap pergantian tahun adalah pengingat bahwa usia bertambah, kesempatan berkurang, dan tanggung jawab bertambah.
Resolusi tahun baru sering kali ditertawakan karena jarang terwujud. Namun kegagalan resolusi bukan berarti sia-sia. Resolusi adalah pengakuan jujur bahwa manusia menyadari kekurangannya. Masalahnya bukan pada resolusi, tetapi pada cara kita memahaminya sebagai target instan, bukan proses panjang.
Tahun baru juga menyimpan nilai sosial yang jarang disadari. Ia menjadi momen kolektif di mana manusia, lintas kelas dan latar belakang, merasakan waktu yang sama. Dalam hitung mundur yang serentak, ada kesetaraan simbolik: semua orang bergerak bersama menuju masa depan yang belum pasti.
Namun di sisi lain, tahun baru juga membuka wajah ketimpangan. Saat sebagian orang merayakan dengan kemewahan, sebagian lain justru bekerja lebih keras: petugas keamanan, tenaga kesehatan, pekerja transportasi, hingga buruh pariwisata. Tahun baru mengajarkan bahwa perayaan selalu memiliki harga sosial.
Nilai tahun baru yang jarang dibicarakan adalah keberanian untuk berdamai dengan masa lalu. Banyak orang ingin melupakan tahun yang berat, tetapi lupa mengambil pelajarannya. Tahun baru seharusnya bukan ruang pelarian, melainkan ruang refleksi: apa yang perlu diulang, apa yang harus dihentikan, dan apa yang layak dilanjutkan.
Dalam tradisi spiritual, pergantian waktu selalu dikaitkan dengan muhasabah. Bukan menghitung capaian materi, tetapi menakar arah hidup. Tahun baru menjadi pengingat bahwa hidup bukan sekadar bergerak maju, tetapi juga bergerak ke dalam diri.
Alasan mengapa tahun baru dirayakan bukan karena kalender berganti, melainkan karena manusia membutuhkan harapan yang disepakati bersama. Tahun baru adalah kontrak sosial tak tertulis bahwa kita sepakat untuk mencoba lagi, meski dunia belum tentu lebih ramah.
Jika tahun baru hanya dirayakan dengan pesta, ia akan cepat berlalu. Namun jika dimaknai sebagai momentum kesadaran, ia bisa menjadi titik balik. Bukan karena waktunya berubah, tetapi karena manusianya yang berani berubah.
***
*) Oleh : Ferry Hamid, Peraih Anugerah Tokoh Pemuda Inspiratif ATI 2024 TIMES Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |