https://malang.times.co.id/
Opini

Pertanian Modern yang Terlalu Jauh dari Desa

Rabu, 24 Desember 2025 - 19:17
Pertanian Modern yang Terlalu Jauh dari Desa Andriyady, SP., Pengamat Isu Sosial dan Pertanian.

TIMES MALANG, MALANG – Setiap kali kata “pertanian modern” diucapkan, bayangan yang muncul sering kali berupa drone di atas sawah, sensor tanah berbasis IoT, aplikasi cuaca di gawai pintar, hingga mesin panen serba otomatis. Namun gambaran itu kerap terasa asing di telinga petani desa. Bukan karena mereka menolak kemajuan, melainkan karena jarak antara wacana modernisasi dan realitas pedesaan masih terlampau lebar.

Masalah utama pendidikan pertanian modern bukan semata pada teknologi yang canggih, tetapi pada cara teknologi itu diperkenalkan. Banyak program pelatihan datang ke desa seperti tamu yang terburu-buru: singgah sebentar, memamerkan alat, lalu pergi tanpa memastikan apakah petani benar-benar memahami, apalagi mampu menggunakannya. Pendidikan pertanian modern sering jatuh menjadi seremoni, bukan proses pembelajaran.

Petani desa hidup dalam ritme pengalaman, bukan manual. Pengetahuan mereka lahir dari musim, tanah, dan kegagalan yang berulang. Ketika teknologi datang dengan bahasa teknis, istilah asing, dan pendekatan birokratis, ia mudah ditolak bukan karena isinya, tetapi karena caranya. Modernisasi pun dipersepsikan sebagai sesuatu yang “bukan milik kami”.

Di sisi lain, ada persoalan struktural yang jarang dibicarakan. Banyak petani masih berjuang pada level paling dasar: akses modal, kepastian harga, pupuk yang langka, dan cuaca yang kian tak menentu. 

Dalam kondisi seperti itu, teknologi modern terasa seperti kemewahan. Bagaimana mungkin bicara sensor tanah jika pupuk saja harus antre? Bagaimana bicara aplikasi pasar digital jika sinyal di desa masih tersendat?

Namun di sinilah letak kesalahan berpikir kita. Pertanian modern tidak selalu identik dengan teknologi mahal. Modernitas dalam pertanian seharusnya dimulai dari cara berpikir dan cara kerja. Teknologi hanyalah alat, bukan tujuan. Tanpa perubahan pola kerja, alat secanggih apa pun akan menjadi besi tua di gudang desa.

Pertanian modern seharusnya mengajarkan petani untuk membaca data sederhana: pola hujan, kalender tanam berbasis cuaca, dan kebutuhan lahan yang spesifik. Bukan semua desa harus menggunakan drone, tetapi setiap petani perlu memahami kapan menanam, apa yang ditanam, dan untuk siapa mereka menanam. Inilah modernitas paling mendasar: pertanian berbasis perencanaan, bukan sekadar kebiasaan.

Kerja pertanian modern juga menuntut perubahan relasi petani dengan pasar. Selama ini, petani sering berhenti berpikir setelah panen. Harga diserahkan pada tengkulak, nasib digantungkan pada pasar yang tak pernah ramah. 

Pertanian modern seharusnya menggeser petani dari sekadar produsen menjadi pengelola rantai nilai. Petani perlu diajarkan membaca permintaan pasar, diversifikasi produk, hingga pengolahan pascapanen sederhana.

Teknologi digital sebenarnya bisa menjadi pintu masuk, bukan penghalang. Aplikasi pencatatan sederhana, grup informasi cuaca berbasis WhatsApp, atau video praktik tanam yang kontekstual jauh lebih berguna daripada platform canggih yang sulit diakses. Pendidikan pertanian modern harus turun ke bahasa petani, bukan memaksa petani naik ke bahasa teknologi.

Yang tak kalah penting, pertanian modern menuntut kerja kolektif. Petani tidak bisa berjalan sendiri. Modernitas lahir dari kelembagaan: koperasi yang sehat, kelompok tani yang aktif, dan pendamping yang konsisten. Tanpa organisasi, teknologi hanya akan dinikmati segelintir orang, sementara yang lain tertinggal.

Negara sering terlalu sibuk menghitung jumlah alat yang dibagikan, tetapi lupa mengukur perubahan cara kerja petani. Padahal ukuran keberhasilan modernisasi bukan berapa mesin yang datang, melainkan berapa keputusan petani yang berubah. Apakah mereka mulai mencatat biaya? Apakah mereka berani mencoba varietas baru? Apakah mereka mulai menanam berdasarkan data, bukan sekadar kebiasaan?

Pertanian modern juga menuntut regenerasi. Anak muda desa enggan kembali ke sawah bukan karena bertani itu hina, tetapi karena bertani masih dipersepsikan sebagai kerja kasar tanpa masa depan. Jika pertanian ingin modern, ia harus tampil sebagai profesi yang rasional, produktif, dan bermartabat. Teknologi harus menjadi alat pembebasan, bukan sekadar simbol proyek.

Pendidikan pertanian modern bukan soal mengajarkan petani menggunakan teknologi, melainkan membantu mereka menguasai masa depan. Modernitas bukan soal siapa yang paling canggih, tetapi siapa yang paling mampu beradaptasi. Jika pertanian modern ingin benar-benar tumbuh, ia harus berangkat dari desa, berpihak pada petani, dan berjalan bersama mereka pelan, tetapi pasti.

***

*) Oleh : Andriyady, SP., Pengamat Isu Sosial dan Pertanian.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.