https://malang.times.co.id/
Opini

Notaris di Persimpangan Etika dan Pasar Jasa Hukum

Rabu, 24 Desember 2025 - 20:02
Notaris di Persimpangan Etika dan Pasar Jasa Hukum Agam Rea Muslivani, S.H., Praktisi Hukum Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Di atas meja notaris, hukum seharusnya berdiri tegak seperti palu keadilan: dingin, netral, dan tak berpihak. Namun hari ini, meja itu kian sering berubah menjadi etalase jasa, tempat akta diproduksi seperti barang dagangan dan kepercayaan publik diperlakukan sebagai komoditas. Di titik inilah profesi notaris berdiri di persimpangan: setia pada etika atau tergelincir dalam logika pasar.

Notaris bukan sekadar penulis akta. Ia adalah penjaga pintu kepastian hukum, saksi negara dalam hubungan perdata, dan penenun kepercayaan antara warga dan hukum. Setiap tanda tangan yang dibubuhkan bukan hanya tinta, tetapi janji: bahwa prosesnya sah, isinya dipahami, dan dampaknya dipertanggungjawabkan. Namun janji ini kerap melemah ketika hukum dipaksa berlari mengikuti irama pasar.

Komersialisasi jasa hukum datang dengan wajah yang halus. Ia tidak selalu hadir sebagai pelanggaran terang-terangan, melainkan sebagai kompromi kecil yang diulang terus-menerus. Tarif yang dinegosiasikan, akta yang dikebut, klien yang dilayani tanpa cukup penjelasan. Di balik dalih efisiensi, etika dipangkas perlahan, seperti rambut yang dipotong sedikit demi sedikit hingga tak terasa botaknya.

Pasar tidak mengenal nurani. Ia hanya mengenal permintaan dan penawaran. Ketika logika ini masuk ke ruang notaris, independensi hukum diuji. Notaris dihadapkan pada godaan untuk menyenangkan klien demi kelangsungan praktik. 

Dalam kondisi tertentu, klien bukan lagi subjek hukum yang harus dilindungi, melainkan konsumen yang harus dipuaskan. Hukum pun berisiko berubah dari penopang keadilan menjadi pelayan kepentingan.

Lebih berbahaya lagi, komersialisasi sering melahirkan budaya formalitas. Akta disusun rapi, pasal lengkap, tetapi substansi hampa. Seolah-olah hukum cukup sah di atas kertas, tanpa perlu memastikan keadilan di baliknya. Notaris lalu terjebak menjadi tukang stempel berjas resmi, bukan lagi intelektual hukum yang berpikir kritis.

Di sinilah dilema etis mengeras. Menolak klien bermasalah berarti kehilangan penghasilan. Menerima berarti menggadaikan integritas. Banyak notaris berdiri di antara dua jurang: idealisme yang sepi dan pragmatisme yang ramai. Dalam situasi seperti ini, etika sering kalah suara oleh kebutuhan ekonomi, terutama di tengah persaingan profesi yang semakin padat.

Tekanan pasar juga melahirkan hierarki tak kasat mata. Notaris besar di kota menjadi raksasa dengan klien korporasi, sementara notaris kecil di daerah bertahan dengan sisa-sisa layanan. Ketimpangan ini mendorong praktik banting harga dan jalan pintas etis. Ketika hukum dipaksa murah, kualitas dan kehati-hatian ikut dikorbankan.

Padahal, profesi notaris lahir bukan dari rahim pasar, melainkan dari mandat negara. Ia diberi kewenangan bukan untuk mencari keuntungan semata, tetapi untuk menjaga kepastian hukum bagi semua, termasuk mereka yang lemah secara pengetahuan dan posisi. Ketika notaris tunduk sepenuhnya pada pasar, mandat ini terancam kehilangan makna.

Ironisnya, masyarakat sering ikut mendorong komersialisasi ini. Hukum dipersepsikan sebagai hambatan, bukan perlindungan. Notaris dicari bukan untuk berkonsultasi, tetapi untuk “mengurus cepat”. Akta diharapkan selesai tanpa banyak tanya. Di sinilah hubungan hukum menjadi transaksional, bukan relasional.

Namun menyalahkan pasar saja tidak cukup. Dunia berubah, dan profesi tidak bisa menutup mata dari realitas ekonomi. Tantangannya adalah bagaimana menjaga keseimbangan: tetap profesional tanpa menjadi pedagang hukum. Etika bukan tembok yang menghalangi rezeki, melainkan kompas yang memastikan arah.

Penguatan pengawasan, pendidikan etika yang hidup, dan keberanian menolak praktik abu-abu menjadi kunci. Lebih dari itu, dibutuhkan kesadaran kolektif bahwa marwah profesi adalah modal jangka panjang. Kepercayaan publik tidak bisa dibeli dengan tarif murah atau layanan kilat; ia dibangun dari konsistensi dan keberanian menjaga jarak dari kepentingan sesaat.

Persimpangan ini menuntut pilihan. Apakah notaris ingin dikenang sebagai penjaga kepastian hukum atau sekadar pemain di pasar jasa? Sejarah profesi selalu berpihak pada mereka yang memilih integritas, meski jalannya sepi. Sebab hukum, seperti cahaya, kehilangan maknanya jika dijual dalam potongan harga.

***

*) Oleh : Agam Rea Muslivani, S.H., Praktisi Hukum Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.