TIMES MALANG, MALANG – Bangsa ini seperti ladang subur yang terus ditanami harapan, tetapi setiap musim panen selalu didahului oleh tangan-tangan gelap yang lebih dulu menyapu hasilnya. Mereka bukan datang dengan cangkul dan keringat, melainkan dengan pena kekuasaan, stempel jabatan, dan senyum birokratis. Inilah wajah perampokan negara yang kian telanjang, sebuah praktik yang oleh Prabowo Subianto disebut dengan istilah telak dan gamblang: serakahnomik.
Serakahnomik bukan sekadar kerakusan individual. Ia adalah paham, cara berpikir, bahkan sistem nilai yang menjadikan keserakahan sebagai ideologi. Dalam logika ini, kekuasaan bukan amanah, melainkan ladang tambang. Jabatan bukan tanggung jawab, melainkan pintu tol menuju rekening pribadi. Negara direduksi menjadi sapi perah, sementara rakyat hanya penonton yang diminta sabar menunggu keadilan turun dari langit.
Jika korupsi diibaratkan penyakit, maka serakahnomik adalah virusnya tak kasat mata, mudah menular, dan mampu beradaptasi dengan berbagai rezim. Ia menyusup ke ruang kebijakan, menyamar dalam istilah teknokratis, bersembunyi di balik regulasi, dan menjelma angka-angka yang tampak sah di atas kertas. Namun di balik grafik pertumbuhan dan laporan kinerja, ada kebocoran moral yang menggerogoti fondasi negara.
Derasnya perampok negara hari ini tidak lagi selalu berwajah kasar. Mereka tidak datang membawa senjata, tetapi membawa proposal. Tidak merampas dengan paksa, tetapi dengan prosedur. Tidak berteriak di jalanan, melainkan berbisik di ruang rapat. Inilah kejahatan kerah putih yang paling berbahaya: rapi, sistematis, dan sering kali lolos dari jerat hukum karena bersembunyi di balik legalitas semu.
Serakahnomik bekerja dengan logika pembenaran. Korupsi dianggap risiko jabatan. Mark-up dilihat sebagai kelaziman. Gratifikasi dipoles menjadi “tanda terima kasih”. Dalam iklim seperti ini, moral dipaksa berkompromi dengan kenyamanan, dan kejujuran dianggap naif. Yang bertahan bukan yang paling berintegritas, melainkan yang paling lihai membaca celah.
Yang lebih menyedihkan, serakahnomik tidak tumbuh di ruang kosong. Ia dipelihara oleh budaya permisif dan keteladanan yang rapuh. Ketika pelaku korupsi masih bisa tersenyum di depan kamera, ketika hukuman terasa ringan dibandingkan hasil rampokan, dan ketika jabatan publik masih diwariskan layaknya pusaka keluarga, maka pesan yang sampai ke publik sangat jelas: kejahatan bisa dinegosiasikan, asal punya akses dan kuasa.
Dalam lanskap ini, negara tampak seperti kapal besar yang bocor dari dalam. Bukan badai luar yang paling berbahaya, melainkan tikus-tikus di palka yang menggerogoti kayu penyangga. Rakyat diminta percaya pada nahkoda, sementara awak kapal sibuk membagi jarahan. Ketika kapal oleng, yang disalahkan selalu ombak, bukan lubang yang sengaja dibiarkan menganga.
Prabowo menyebut serakahnomik sebagai musuh bangsa karena ia menghancurkan dari dalam. Ia menggerus kepercayaan publik, mematikan etos pelayanan, dan menciptakan jurang antara negara dan rakyatnya. Negara yang dikuasai serakahnomik akan kehilangan orientasi moral. Kebijakan tidak lagi lahir dari kebutuhan publik, melainkan dari kepentingan segelintir elite yang lihai menyamarkan kerakusan sebagai pembangunan.
Dampaknya nyata dan terasa. Ketika anggaran dirampok, layanan publik menjadi tambal sulam. Ketika sumber daya dikeruk tanpa etika, lingkungan rusak dan konflik sosial merebak. Ketika hukum bisa dibeli, keadilan berubah menjadi barang mewah. Rakyat kecil diminta taat pada aturan, sementara para perampok negara pandai berkelit di antara pasal-pasal yang mereka desain sendiri.
Melawan serakahnomik tidak cukup dengan retorika antikorupsi. Ia menuntut keberanian struktural dan keteladanan nyata. Penegakan hukum harus berhenti menjadi panggung sandiwara. Hukuman harus memberi efek jera, bukan sekadar formalitas. Yang lebih penting, politik harus dikembalikan pada etika, bukan sekadar transaksi.
Negara juga perlu jujur bercermin. Selama sistem masih memberi ruang luas bagi konflik kepentingan, selama transparansi hanya slogan, dan selama pengawasan publik dilemahkan, serakahnomik akan terus menemukan jalan. Ia seperti air keruh yang selalu mencari celah terendah.
Perang melawan perampok negara adalah perang melawan keserakahan itu sendiri. Ini bukan hanya soal aparat penegak hukum, tetapi soal pilihan moral sebagai bangsa. Apakah kita ingin negara yang dipimpin oleh akal sehat dan nurani, atau dikuasai oleh mereka yang menjadikan kerakusan sebagai kompas kebijakan?
Jika serakahnomik dibiarkan menjadi ideologi diam-diam, maka masa depan bangsa akan terus disandera oleh segelintir orang yang kenyang di atas kelaparan kolektif. Namun jika keberanian politik dan kesadaran publik bersatu, perampok negara tak lagi punya tempat bersembunyi. Negara ini terlalu berharga untuk diserahkan pada mereka yang tak pernah merasa cukup.
***
*) Oleh : Jakfar Shodiq, Mahasiswa Internasional Master Program in National Pingtung University Taiwan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |