https://malang.times.co.id/
Opini

Tantangan Kopdes Merah Putih

Rabu, 07 Mei 2025 - 17:34
Tantangan Kopdes Merah Putih Bambang Cahyono, S.Pd., M.H., Karang Taruna Desa Manduro

TIMES MALANG, JOMBANG – Baru-baru ini, muncul wacana pembentukan Koperasi Desa Merah Putih oleh Presiden Prabowo Subianto bersama Menko Bidang Pangan Zulkifli Hasan, Menteri Koperasi Budie Ari Setiadi dan Menteri Desa PDT Yandri Susanto. Inisiatif ini diklaim bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan desa dengan menjadikan koperasi sebagai motor penggerak ekonomi desa. 

Tentang Koperasi Indonesia, Indonesia sudah mengenal dan tumbuh berkembang semenjak pra-1908, meski tak dikenal formal dengan istilah koperasi di masyarakat, kegiatan gotong-royong, simpan pinjam sudah ada dan dikenal akar rumput, seperti arisan, lumbung desa serta kegiatan tolong-menolong lainnya. 

Kemudian hal inilah yang menginspirasi gerakan Budi Utomo tentang pentingnya kesadaran ekonomi rakyat, yang kemudian dilanjutkan oleh Raden Aria Wiraatmaja yang mendirikan koperasi simpan pinjam pertama di Purwokerto dimana hal ini terinspirasi oleh sistem kredit rakyat yang ada di Jerman (Raiffeisen). 

Meskipun semasa kolonial koperasi sulit berkembang akibat dibatasi oleh pemerintah kolonial Belanda, namun kemudian pada tahun 1933 pemerintah kolonial Belanda meresmikan ordonansi koperasi meski banyak aturan yang menyulitkan dan terlalu birokratis. 

Barulah setelah kemerdekaan, koperasi diakui sebagai pilar penting ekonomi nasional yang di gagas oleh Bung Hatta yang kemudian hari dikenal dengan ‘Bapak Koperasi Indonesia’ dan pada 12 Juli 1947 dilakukan kongres pertama koperasi di Tasikmalaya, cikal bakal ditetapkannya sebagai ‘Hari Koperasi Indonesia’.

Semangat Nasionalisme

Di tengah derasnya arus globalisasi, digitalisasi dan kapitalisme, masyarakat Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan sosial yang kompleks dari kemiskinan, pengangguran, hingga ketimpangan ekonomi yang tajam.

Dalam situasi seperti ini, koperasi kembali menjadi sorotan sebagai solusi ekonomi kerakyatan yang berpijak pada nilai gotong royong dan kemandirian. 

Sementara Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 sendiri merupakan kebijakan strategis nasional yang dikeluarkan Presiden Prabowo Subianto untuk mempercepat terbentuknya 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh wilayah Indonesia.

Kebijakan tersebut bertujuan memperkuat swasembada pangan, memperluas pemerataan ekonomi, serta mendorong terwujudnya desa mandiri menuju Indonesia Emas 2045.

Koperasi Desa Merah Putih dirancang sebagai pusat layanan ekonomi dan sosial masyarakat desa. Layanan yang disiapkan meliputi penyediaan sembako murah, simpan pinjam, klinik desa, apotek, cold storage untuk hasil pertanian dan perikanan, serta distribusi logistik

Dilihat dari nama, koperasi desa ‘Merah Putih’ bukan sekedar nama semata juga bukan sekedar badan usaha kolektif, melainkan sebuah gerakan sosial-ekonomi yang ingin menghidupkan kembali nilai-nilai dasar bangsa seperti solidaritas, keadilan sosial, dan kemandirian.

Disamping itu nama ‘Merah Putih’ membawa pesan nasionalisme bahwa penguatan ekonomi rakyat adalah bagian dari perjuangan mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara.

Tentu saja, khalayak akan menunggu seperti apa nanti ‘wajah’ koperasi desa merah putih ini, mengingat masih banyak problem yang terdapat ranah akar rumput seperti kemiskinan struktural maupun kultural menjadi salah satu masalah yang akan menjadi beban jika tidak bisa diatasi dengan baik dan benar.

Secara teoretis, kemiskinan struktural dapat diartikan sebagai suasana kemiskinan yang di alami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber dari sistem. 

Menurut Sosiolog, Matthew Desmond (2023)-Profesor Sosiologi di Princeton University dalam bukunya "Poverty, by America" (2023), Desmond menyatakan bahwa Kemiskinan struktural tidak sekadar akibat dari kegagalan individu, melainkan hasil dari sistem yang menguntungkan segelintir orang dengan mengorbankan banyak orang.

Desmond menekankan bahwa kelas menengah dan atas sering secara tidak sadar menopang kemiskinan melalui keuntungan dari sistem pajak, perumahan, dan pendidikan yang eksklusif. Ia menyebut ini sebagai bentuk eksploitasi sistemik.

Lebih jauh kemiskinan struktural, adalah kemiskinan yang timbul dari adanya korelasi struktur yang timpang, yang ditimbulkan dari suatu hubungan yang tidak simetris dan sebangun untuk menempatkan manusia sebagai obyek. 

Disamping itu kemiskinan struktural timbul karena adanya hegemoni dan justru karena adanya kebijakan negara dan pemerintah atau orang-orang yang berkuasa, sehingga orang yang termarjinalkan semakin termarjinalkan.

Solusi Alternatif

Keberadaaan koperasi desa merah putih ini diharapkan mampu mampu menjawab problem yang ditimbulkan akibat kesenjangan/ketimpangan yang terjadi selama ini. Tak cukup itu, dengan adanya koperasi ini diharapkan mampu mengurangi pengangguran dan menambah lapangan perkerjaan baru dan menjadi ujung tombak literasi keuangan di masyarakat.

Disamping itu koperasi ini harus menawarkan pendekatan inklusif dan humanis, serta mejadi ruang belajar bersama serta tempat membangun usaha kolektif dan menjadi simbol kekuatan komunitas.

Tak cukup itu, lebih jauh koperasi desa merah putih menjadi solusi alternatif yang nantinya diharapakanmampu menciptakan keadilan distribusi ekonomi, sebab koperasi desa merah putih bukan sekedar lembaga ekonomi, tapi representasi harapan sosial.

Koperasi desa merah putih ini juga haru memperhatikan masalah-masalah sosial yang lebih besar, tentu melalui program-program pemberdayaan yang holistik untuk mengatasi masalah atau ketimpangan sosial yang ada di masyarakat.

Namun, kebijakan ini berpotensi menimbulkan polemik, terutama terkait dengan alokasi dana desa yang notabene merupakan ranah kewenangan Kemendes PDT, yang tentunya sangat berisiko menimbulkan disharmonisasi dalam tata kelola keuangan desa. 

Upaya Sentralisasi Kebijakan Ekonomi Desa

Koperasi Desa sejatinya memiliki peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama dalam mengelola sumber daya lokal secara kolektif. Namun, muncul pertanyaan mendasar: mengapa Kemendes PDT ingin membentuk koperasi secara terpusat?

Padahal, Desa-desa sudah memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang bertugas mengelola usaha desa. Jika Koperasi Merah Putih diwajibkan di setiap Desa, bukankah itu justru memperumit struktur ekonomi lokal?

Lebih lanjut, ada potensi bahwa koperasi ini bisa menjadi alat baru bagi pemerintah untuk mengontrol ekonomi Desa secara lebih terpusat. Padahal, semangat dana desa sejak awal adalah desentralisasi, memberikan keleluasaan bagi Desa untuk mengatur pembangunan dan ekonomi mereka sendiri.

Dengan adanya koperasi bentukan pemerintah, desa bisa kehilangan otonomi dalam mengelola anggaran dan pengembangan usaha lokal.

Dana desa yang dialokasikan dari APBN sejatinya ditujukan untuk pembangunan infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan ekonomi lokal melalui BUMDes. Namun, jika ada kebijakan yang mengarahkan dana desa ke Koperasi Merah Putih, maka ada risiko tumpang tindih kebijakan.

Pertama, bisa terjadi pengalihan anggaran secara terselubung. Apakah nantinya dana desa akan diwajibkan untuk masuk ke koperasi ini? Jika ya, maka ada potensi konflik kepentingan, terutama jika koperasi ini justru dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu, bukan oleh masyarakat desa secara mandiri.

Kedua, bisa timbul persaingan tidak sehat antara Koperasi Merah Putih dengan BUMDes. Seharusnya, dana desa digunakan untuk memperkuat ekonomi desa yang sudah ada, bukan malah menciptakan entitas baru yang berisiko memunculkan segregasi menggeser keberadaan usaha desa yang sudah berjalan.

Jika pemerintah tetap ingin ngotot menjalankan program ini, maka harus ada jaminan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya. Salah satu masalah terbesar dalam kebijakan dana desa selama ini adalah potensi penyalahgunaan anggaran, baik dalam bentuk korupsi maupun ketidakefektifan penggunaan dana.

Potensi Konflik dengan Dana Desa

Dana desa yang dialokasikan dari APBN sejatinya ditujukan untuk pembangunan infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan ekonomi lokal melalui BUMDes. Namun, jika ada kebijakan yang mengarahkan dana desa ke Koperasi Merah Putih, maka ada risiko tumpang tindih kebijakan.

Pertama, bisa terjadi pengalihan anggaran secara terselubung. Apakah nantinya dana desa akan diwajibkan untuk masuk ke koperasi ini? Jika ya, maka ada potensi konflik kepentingan, terutama jika koperasi ini justru dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu, bukan oleh masyarakat desa secara mandiri.

Kedua, bisa timbul persaingan tidak sehat antara Koperasi Merah Putih dengan BUMDes. Seharusnya, dana desa digunakan untuk memperkuat ekonomi desa yang sudah ada, bukan malah menciptakan entitas baru yang berisiko memunculkan segregasi menggeser keberadaan usaha desa yang sudah berjalan.

Jika pemerintah tetap ingin ngotot menjalankan program ini, maka harus ada jaminan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya. Salah satu masalah terbesar dalam kebijakan dana desa selama ini adalah potensi penyalahgunaan anggaran, baik dalam bentuk korupsi maupun ketidakefektifan penggunaan dana.

Jika Koperasi Merah Putih menjadi entitas baru yang mendapatkan aliran dana desa, bagaimana mekanisme pengawasannya? Siapa yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan distribusi keuntungan koperasi ini?

Lebih jauh lagi, desa-desa harus tetap diberikan keleluasaan dalam menentukan apakah mereka ingin bergabung dengan koperasi tersebut atau tidak. Pemaksaan kebijakan top-down justru bertentangan dengan semangat Undang-Undang Desa yang menempatkan desa sebagai subjek pembangunan.

Realitas Ekonomi Pedesaan

Gagasan membangun koperasi sebagai motor penggerak ekonomi desa bukanlah hal yang buruk, tetapi harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih demokratis dan berbasis kebutuhan desa. Jangan sampai, Koperasi Desa Merah Putih justru seakan menunjukan gagapnya Kementerian Desa PDT.

Lebih celakanya lagi kalau sampai menjadi beban baru bagi desa dan mengacaukan tata kelola dana desa yang sudah ada. Sebelum kebijakan ini diterapkan, pemerintah harus memastikan bahwa skema ini benar-benar membawa manfaat bagi desa, bukan sekadar proyek politik atau ekonomi semata.

Namun, untuk mewujudkan tujuan tersebut, koperasi desa ini harus bisa mengatasi sejumlah tantangan, baik dari sisi pengelolaan, sosial, maupun budaya dan apabila koperasi desa ‘Merah Putih’ ini dikelola dengan baik dan berkelanjutan, koperasi desa ini akan manjadi pilar penting dalam membangun masyarakat yang madiri, adil dan sejahtera.  

***

*) Oleh : Bambang Cahyono, S.Pd., M.H., Karang Taruna Desa Manduro.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.