https://malang.times.co.id/
Opini

Akademisi Merdeka Jalan Kebangkitan Nasional

Sabtu, 17 Mei 2025 - 09:16
Akademisi Merdeka Jalan Kebangkitan Nasional Kang Atho’ilah Najamudin, Antropolog, Dosen Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi

TIMES MALANG, BANYUWANGI – Dalam ruang-ruang akademik hari ini, tak sedikit para akademisi yang terjebak dalam rutinitas yang hampa makna. Setiap pagi dimulai dengan membuka laptop, mencatat kehadiran daring, membalas pesan-pesan birokratis, lalu tenggelam dalam rapat-rapat yang lebih sering membahas teknis kegiatan seremonial, ketimbang substansi keilmuan.

Riset dikerjakan bukan untuk menjawab persoalan masyarakat, melainkan untuk memenuhi kewajiban administratif untuk syarat kenaikan jabatan. Selain itu, artikel ilmiah ditulis dengan tergesa-gesa, disetor ke jurnal-jurnal yang asing dari denyut realitas, lalu dilupakan, setelah angka kredit diperoleh. 

Akademisi seperti ini, tampak sibuk, padat jadwal, namun miskin dampak. Ia lebih dekat dengan meja pejabat, daripada dengan suara rakyat. Lebih mengenal alur birokrasi kampus, daripada lanskap sosial di luar tembok universitas. 

Di balik toga dan gelar akademik yang panjang, tersembunyi kemandekan intelektual dan kegagapan budaya. Ia mengajar, tetapi tak mendidik. Ia meneliti, tetapi tak menyentuh. 

Dalam sistem yang menilai prestasi dari angka, bukan dari makna, akademisi perlahan berubah menjadi operator institusi bekerja keras menghidupkan sistem yang tak lagi menghidupkannya. 

Ironisnya, semua ini dibungkus dengan slogan-slogan indah tentang pengabdian, inovasi, dan transformasi.

Kini, di dalam momen Hari Kebangkitan Nasional, pertanyaannya sederhana: masih mungkinkah kita berharap pada kebangkitan bangsa, jika para akademisinya belum benar-benar merdeka? Bukankah Akademisi Merdeka adalah jalan awal menuju Kebangkitan Nasional?

Akademisi dalam Sejarah Kebangkitan Nasional

Di dalam buku Sejarah Indonesia Modern: Dari Kebangkitan Nasional hingga Reformasi yang ditulis M.C. Ricklefs, sejarah mencatat bahwa kebangkitan nasional tidak pernah lahir dari ruang kosong. Ia muncul dari denyut pemikiran para intelektual yang gelisah melihat bangsanya dijajah, ditindas, dan dibiarkan bodoh. 

Tokoh-tokoh seperti dr. Soetomo, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Ki Hajar Dewantara bukan hanya pemimpin organisasi, melainkan juga akademisi dan intelektual yang menjadikan ilmu sebagai jalan perjuangan. Mereka menulis, berdebat, mendidik, dan memprovokasi kesadaran bangsanya melalui pena dan pengajaran.

Kampus dan ruang belajar di masa itu menjadi kawah candradimuka tempat pembentukan kesadaran kebangsaan. Di ruang-ruang kecil itulah, ide tentang Indonesia sebagai bangsa perlahan terbentuk dan menguat. 

Pada awal abad ke-20, pendidikan, intelektualitas, dan kebudayaan berdiri dalam satu tarikan napas perjuangan. Sekolah bukan tempat mencetak birokrat, tetapi tempat melahirkan manusia merdeka. Intelektual bukan corong kekuasaan, melainkan pelopor perubahan.

Gerakan kebudayaan saat itu—baik melalui tulisan, pertunjukan, maupun pendidikan alternatif—menjadi alat perlawanan terhadap penindasan kolonial dan kebodohan struktural. Maka, kebangkitan nasional tak lain adalah buah dari keberanian para akademisi untuk berpikir dan bertindak di luar batas ketakutan dan kepatuhan.

Makna Akademisi Merdeka dalam Perspektif Kebudayaan

Di dalam perpektif kebudayaan, Akademisi Merdeka bukan sekadar gelar atau status di dunia pendidikan tinggi, melainkan subjek yang memiliki kebebasan berpikir secara penuh-bebas dari tekanan birokrasi, kepentingan politik, maupun dominasi kekuasaan yang mengikat. Ia adalah sosok yang mampu melihat secara kritis, mempertanyakan yang sudah mapan, dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. 

Akademisi merdeka menempatkan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk membela keadilan sosial, menghargai keberagaman budaya, dan menguatkan solidaritas kemanusiaan.

Kemerdekaan akademik menjadi bentuk perlawanan terhadap budaya diam yang selama ini menyelimuti sebagian ruang akademik. Budaya diam yang dibangun atas dasar feodalisme akademik di mana penguasa ilmu dan institusi mengekang kebebasan berpikir serta tekanan kekuasaan yang membungkam suara-suara kritis.

Dalam konteks ini, akademisi merdeka adalah mereka yang berani mengangkat suara kebenaran, sekalipun tak populer, sekalipun berisiko terpinggirkan.

Keberanian berpikir juga berarti mampu melampaui batas-batas disiplin ilmu yang kaku dan dogma yang mengikat. Akademisi merdeka membuka ruang dialog antar ilmu dan budaya, menggabungkan perspektif sosial, historis, dan kultural, sehingga dapat membangkitkan nalar kultural bangsa.

Hanya dengan cara ini, intelektual Indonesia dapat berkontribusi secara autentik dalam menggerakkan perubahan sosial dan memantik kebangkitan yang berakar pada kekayaan budaya dan sejarah bangsa.

Walhasil, refleksi ini mengingatkan kita bahwa kebebasan akademik bukanlah kemewahan, melainkan kebutuhan mendasar bagi setiap bangsa yang ingin bangkit dan maju. Ketika akademisi merdeka mampu berpikir, bersuara, dan bertindak tanpa belenggu, maka ia menjadi motor penggerak perubahan.

Peringatan Hari Kebangkitan Nasional bukan hanya soal politik atau ekonomi, tetapi soal kebangkitan nalar dan budaya yang lahir dari ruang-ruang intelektual yang merdeka.

Lalu, dalam momen yang sarat makna ini, kita harus bertanya kepada diri sendiri: Sudahkah kita membebaskan para akademisi dari belenggu yang mengikatnya, sehingga mereka benar-benar bisa menjadi wajah kebangkitan bangsa yang kita dambakan?

Jawaban itu memang tak mudah, tapi itulah yang harus kita perjuangkan bersama. Akademisi merdeka adalah kunci kebangkitan bangsa—berpikir bebas, berkarya nyata, dan berani bersuara. 

Mari wujudkan kebebasan itu sebagai langkah nyata menuju masa depan Indonesia yang lebih bermartabat dan berbudaya.

***

*) Oleh : Kang Atho’ilah Najamudin, Antropolog, Dosen Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.