https://malang.times.co.id/
Pendidikan

Akademisi; Masih Banyak Potensi Pelanggaran HAM Dalam RKUHAP 2025

Jumat, 16 Mei 2025 - 19:02
Akademisi; Masih Banyak Potensi Pelanggaran HAM Dalam RKUHAP 2025 Dr. Nurini Aprilianda, SH., M.Hum., akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum UB. (Foto: Achmad Fikyansyah/TIMES Indonesia)

TIMES MALANG, MALANG – Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) 2025 kembali mendapat sorotan tajam dari kalangan akademisi hukum. Dalam kegiatan Critical Review atas RKUHAP yang digelar oleh Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana (Persada) Universitas Brawijaya (UB) pada Jumat (16/5/2025), sejumlah catatan kritis disampaikan, salah satunya oleh Dr. Nurini Aprilianda, SH., M.Hum., akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum UB.

Dalam forum yang berlangsung di Kampus FH UB tersebut, Dr. Nurini menyoroti sejumlah isu krusial yang perlu segera diperbaiki dalam draf RKUHAP 2025. Menurutnya, beberapa ketentuan dalam rancangan tersebut masih menyimpan potensi pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) dan minim perhatian terhadap perlindungan korban.

“Ada banyak hal yang perlu diperbaiki dalam RKUHAP. Salah satunya adalah soal konsep penyidik utama. Kami melihat ini berpotensi melanggar HAM, karena memberikan kewenangan besar tanpa kontrol yang jelas. Selain itu, mekanisme penanganan perkara juga berisiko menimbulkan kesewenang-wenangan,” ujar Nurini.

Selain isu penyidik utama, Nurini juga menyoroti lemahnya perhatian RKUHAP terhadap perlindungan korban kejahatan. Ia menyebut bahwa konsep restoratif yang tercantum dalam rancangan undang-undang tersebut hanya bersifat administratif dan belum menyentuh aspek substansial pemenuhan hak-hak korban.

“Dalam RKUHAP ini, posisi korban masih sangat lemah. Pendekatan restoratif hanya dijadikan formalitas administratif, bukan sebagai bentuk nyata pemulihan korban. Ini mengulang kelemahan yang sama seperti dalam KUHAP yang sekarang masih berlaku,” jelasnya.

Padahal, menurutnya, reformasi hukum acara pidana seharusnya tidak hanya berfokus pada pelaku dan aparat penegak hukum, tetapi juga memberikan ruang keadilan dan perlindungan yang memadai bagi korban.

Dalam paparannya, Dr. Nurini juga menyinggung soal pola koordinasi antar aparat penegak hukum, khususnya antara penyidik dan penuntut umum. Ia menilai bahwa dalam draf RKUHAP, mekanisme koordinasi ini masih sangat lemah, sehingga membuka ruang bagi praktik kesewenang-wenangan dalam penanganan perkara pidana.

“Tidak ada tumpang tindih kewenangan secara langsung, tetapi masalahnya adalah pemberian kewenangan yang terlalu besar kepada satu institusi. Misalnya penyidik yang bisa langsung melakukan penyidikan tanpa koordinasi dengan jaksa. Ini bisa menimbulkan pelanggaran HAM karena tidak ada pengawasan yang memadai,” tegasnya.

Lebih lanjut, Nurini menekankan pentingnya pengawasan yudisial (judicial control) terhadap tindakan upaya paksa seperti penangkapan dan penahanan. Ia menyayangkan bahwa dalam RKUHAP saat ini, pengawasan dari lembaga peradilan belum dirancang secara menyeluruh.

“Upaya paksa itu berisiko besar melanggar HAM. Seharusnya, setiap tindakan seperti penangkapan harus mendapatkan kontrol dari lembaga yudikatif, bukan semata-mata keputusan internal kepolisian,” tambahnya.

Dr. Nurini mengingatkan bahwa revisi KUHAP seharusnya menjadi momentum reformasi menyeluruh dalam sistem peradilan pidana Indonesia, bukan sekadar perubahan formal. Ia berharap agar pembuat undang-undang benar-benar mempertimbangkan suara akademisi dan masyarakat sipil dalam proses perumusan RKUHAP agar tidak menciptakan sistem hukum yang otoriter.

“Jangan sampai RKUHAP ini malah memperkuat dominasi kekuasaan aparat dan mengabaikan keadilan bagi masyarakat, terutama korban,” pungkasnya. (*)

Pewarta : Achmad Fikyansyah
Editor : Imadudin Muhammad
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.