https://malang.times.co.id/
Opini

Dilema Kemerdekaan dalam Kebijakan Pemerintah

Kamis, 28 Agustus 2025 - 12:41
Dilema Kemerdekaan dalam Kebijakan Pemerintah I.G Ngurah Oka Putra Setiawan, Pengajar di Universitas Terbuka UPBJJ Kota Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Tulisan ini adalah sebuah kegelisahan yang terinspirasi dari beberapa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dimana kebijakan yang dibuat memberikan pengaruh atau Culture shock didalam kehidupan masyarakat. 

Beberapa kebijakan tersebut terdiri dari rekening tiga bulan yang mengangggur, tanah dua tahun terbengkalai diambil alih pemerintah, sampai viralnya Bupati Pati menaikkan pajak PBB 250 persen yang dimana kebijakan ini sangat kontraduktif dengan kondisi masyarakat yang ada di daerah Pati. 

Memahami arti kata kemerdekaan yang terdapat dalam judul adalah kemerdekaan yang dimaknai dari pemikiran para Founding Fathers dimana keinginan para Founding Fathers tersebut mencita-citakan kemerdekaan sebagai mereka menginginkan sebuah negara yang merdeka dari penjajahan, mampu melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam menjaga ketertiban dunia. 

Jika ditelaah dan dipahami dengan seksama kemerdekaan yang dicita-citakan para Founding Fathers tersebut belum tercapai secara maksimal dalam arti cita-cita yang dimana memberikan rasa aman dan nyaman kepada warga negara malah menjadi sebuah dilema dimasyarakat atau dapat diibaratkan bagai memakan “buah simalakama”. 

Hal inilah yang akan menjadi sebuah disintegrasi sosial, mengapa demikian pertama-tama kita artikan dulu pemahaman disintegrasi sosial yaitu proses perpecahan atau keretakan dalam suatu kelompok masyarakat, yang ditandai dengan melemahnya ikatan nilai, dan norma yang seharusnya mempersatukan mereka. 

Akibatnya, masyarakat bisa kehilangan kesatuan, kohesi, dan stabilitas. Lalu kita jelaskan akibat disintegrasi sosialnya dimana akan terjadi dua kubu dalam masyarakat, ada yang pro dan kontra terhadap kebijakan yang dibuat pemerintah jika hal ini dibiarkan akan membuat dinamika baru yaitu melemahnya ikatan sosial yang menjadi kepribadian bangsa.

Welfare State Yang Belum Terasa 

Membahas cita-cita Founding Fathers tidak lepas dari salah satu keinginan yaitu menjadi negara yang dapat mewujudkan Welfare State. Welfare State atau disebut Negara Kesejahteraan dimana kata kesejahteraan dapat dipahami dengan tujuan menciptakan keadilan sosial, mengurangi kesenjangan ekonomi, dan memastikan bahwa semua warga negara memiliki akses kepada  kebutuhan dasar. 

Dasar pemikiran dari tujuan itu semua berasal dari ideologi (gagasan) yang telah disimpulkan pada Pancasila saat pertama kali para Founding Fathers saat diberikan kesempatan menyusun dasar negara oleh penjajah di zaman penjajahan.

Letak pemikiran Welfare State (Negara Kesejahteraan) terdapat secara eksplisit dalam makna Pancasila sila yaitu sila ke lima yang mendifiniskan “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” dimana jika dimaknai secara mendalam pemerintah memberikan sebuah keadilan merata, perlindungan kaum lemah, pemerataan kesejahteraan, pembangunan berkeadilan. 

Akan tetapi hal tersebut mengalami dinamika pergesaran dimana pemerintah saat ini sangat jauh dari makna Keadilan Sosial Bagi Seluurh Rakyat Indonesia dapat kita jumpai saat mereka membuat suatu kebijakan yang terkadang kebijakan tersebut tidak mewakili sama sekali hati nurani rakyat dan terkesan hanya memikirkan diri mereka sendiri.

Contoh kebijakan tersebut adalah kenaikan gaji mereka yang disetujui di saat negara mengalami krisis pendapatan yang dimana pemerintah menerapkan penngambilan pajak disetiap sektor (tidak terkecuali kepada pedagang klontong yang buka 24 jam). 

Kembali lagi kepada pemahaman awal Negara Kesejahteraan (Welfare State) yang dicita-citakan oleh Para Bapak Pendiri Bangsa (Founding Fathers) telah terlihat arah dan kepentingan yang ingin dituju, yang dimana negara bertanggung jawab kepada kesejahteraan masyarakat. 

Pertanggung jawaban tersebut telah tersusun pada dasar konstitusi negara ini yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 terdapat pada pasal 34 yang memiliki tiga ayat. Ayat kesatu mengatur tentang "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara". 

Ketentuan ini menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban untuk merawat, melindungi, dan memenuhi kebutuhan dasar fakir miskin serta anak-anak yang terlantar agar dapat hidup layak dan bermartabat, ayat kedua "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan". 

Ayat ini menekankan tanggung jawab negara dalam menciptakan sistem jaminan sosial yang komprehensif dan melakukan pemberdayaan bagi kelompok rentan, ayat ke tiga "Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak". 

Negara wajib menyediakan akses terhadap layanan kesehatan yang memadai dan fasilitas pelayanan umum lainnya yang dibutuhkan masyarakat. Dan pemerintahan juga telah membuat suatu aturan Undang-Undang sebagai wujud penjelasan terperinci (amanat) dari pasal 34 ini, penjelasannya terdapat pada Undang-Undang Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.

Dalam Undang-Undang ini dapat diambil kesimpulan “seharusnya” pemerintah membuat kebijakan yang mengarah kepada wujud nyata negara kesejahteraan (Welfare State) bukan malah mengabaikan pondasi cita-cita Para Bapak Pendiri Bangsa (Founding Fathers). 

Kesimpulan yang dapat dimaknai dalam Undang-Undang tersebut yang pertama tentang kewajiban negara, negara berkewajiban memberikan perlindungan, pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, dan perumahan, serta pelayanan kesehatan dan pendidikan yang dapat meningkatkan martabat. 

Lalu berikutnya program perlindungan sosial, pelaksanaan pasal 34 juga diwujudkan melalui Program Perlindungan Sosial (Perlinsos) untuk menjaga daya beli masyarakat miskin dan rentan, terutama di masa krisis. 

Jika dipahami dari sebuah pengertian negara kesejahteraan yang dicita-citakan oleh Para Bapak Pendiri Bangsa (Founding Fathers) maka sila ke lima yang terimplemetasikan dalam dasar konstitusi negara kita pada pasal 34 kebijakan yang dibuat belumlah berjalan dengan baik atau dapat dikatakan tidak terarah kepada masyarakat secara umum hanya dirasakan oleh masyarakat yang spesifik.

Melihat akhir-akhir ini kebijakan yang dibuat terasa dilema dalam benak setiap insan individu masyarakat, dilema yang melanda disebabkan oleh kebijakan yang dimana masyarakat harus menerima kenyataan setiap jengkal ada pajak yang ditetapkan dan cenderung mengalami kenaikan sedangkan wakil rakyat merasakan kenaikan signifikan terhadap kinerja mereka. 

Harapan terbesar adalah jangan sampai kebijakan yang dibuat mengatasnamakan negara menjadi sebuah alasan dari suatu gejala politik yang ada dalam ketatanegaraan dan jangan sampai kebijakan ini menjadi sebuah “killing softly” bagi masyarakat Indonesia. Kami sebagai masyarakat akan patuh jika contoh dan “pembimbing” kami memberikan contoh yang sesuai dengan mereka buat atau kiasannya suatu kebijakan.  (*)

***

*) Oleh : I.G Ngurah Oka Putra Setiawan, Pengajar di Univerista Terbuka UPBJJ Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.