TIMES MALANG, PROBOLINGGO – Dalam organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), istilah “kader mujtahid” sering kali terdengar menggema dalam berbagai forum pengkaderan, diskusi, hingga rapat organisasi. Selain sebagai status bagi kader pasca mengikuti Pelatihan Kader Lanjut (PKL), kader mujtahid adalah mereka yang memiliki kemampuan berpikir kritis, analitis, dan mampu menjawab tantangan zaman.
Menjadi sosok kader mujtahid tentu berdasarkan pada pemahaman keislaman yang mendalam serta berpegang teguh pada prinsip Ahlussunnah wal Jama'ah. Namun, menjadi seorang kader mujtahid bukanlah sekadar label yang memberikan kebanggaan, melainkan amanah besar yang harus dipikul dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Sebelum lebih jauh membahas kader mujtahid PMII, penulis ingin menyampaikan bahwa “soal status alumni PKL PMII yang bernama Kader Mujtahid yang mempunya keberpihakan dan kontribusi nyata. Terutama kepada kaum mustad’afin memang cukup sulit untuk disandingkan pada tolok ukur tertentu. Apalagi pada sekadar kertas sertifikat.”
Kader Mujtahid: Lebih dari Sebuah Status Gelar
Status sebagai kader mujtahid sering kali dianggap sebagai puncak pencapaian dalam proses pengkaderan PMII. Namun, sejatinya, gelar ini tidaklah cukup berhenti pada tataran simbolik.
Seorang kader mujtahid tidak diukur dari banyaknya apresiasi atau pengakuan yang diterima, melainkan dari sejauh mana ia mampu mengimplementasikan keilmuannya dalam kehidupan sehari-hari.
Menjadi Kader Mujtahid di PMII setidaknya ditempuh secara formal dengan mengikuti proses kaderisasi formal yakni PKL. PKL PMII setidak-tidaknya dilaksanakan selama 4-7 hari. Memang (sependek yang saya ketahui) tidak ada aturan khusus berkenaan dengan berapa hari yang diperlukan.
Akan tetapi, jika dilihat dari aturan materi di hasil Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas), disana dicatat ada 16 materi yang perlu tersampaikan dengan durasi waktu yang ditentukan pada setiap materi. Tentu hal ini bisa dijadikan ukuran terkait berapa hari yang diperlukan.
Mengikuti proses PKL selama 4-7 hari, tentu bukan proses yang mudah. Ya, tidak semudah menjadi anggota, tidak semudah ikut kaderisasi Mapaba, dan tidak semudah mengikuti proses kaderisasi PKD. PKL PMII sudah lebih menekankan pada arah kedisiplinan, baik disiplin waktu, disiplin pemikiran, dan berbagai disiplin lainnya.
Seorang mujtahid sejati setidaknya adalah menjadi sosok pribadi yang terus berjuang untuk memperdalam ilmu, baik dalam bidang agama maupun sosial, serta berani mengambil keputusan yang bijaksana berdasarkan analisis mendalam.
Lebih dari itu, kader mujtahid adalah agen perubahan yang mampu menjadi teladan dalam membawa nilai-nilai Islam rahmatan lil 'alamin ke dalam realitas masyarakat.
Tanggung Jawab Moral dan Sosial
Memikul status kader mujtahid berarti membawa tanggung jawab moral yang besar, tidak hanya kepada organisasi, tetapi juga kepada masyarakat. Tanggung jawab moral seorang kader mujtahid tercermin dalam keberanian untuk memperjuangkan kebenaran, sekalipun dalam situasi yang penuh tantangan.
Ia tidak hanya menjadi pribadi yang saleh secara individu, tetapi juga mampu menyebarkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan bermasyarakat. Kesadaran ini tidak terlepas dari pemahaman bahwa setiap langkah yang diambil memiliki dampak luas, baik bagi lingkungan sosial maupun bangsa secara keseluruhan.
Tanggung jawab seorang kader mujtahid mencakup kemampuan untuk membaca fenomena sosial dan menawarkan solusi yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Di era modern yang penuh dengan tantangan global seperti krisis moral, ketimpangan sosial, dan dekadensi budaya, seorang kader mujtahid tidak boleh hanya menjadi pengamat pasif.
Ia juga harus berada di garis depan perjuangan dengan memberikan kontribusi nyata yang bermanfaat bagi umat. PMII sebagai organisasi yang berlandaskan pada Islam dan berasaskan pada pancasila, dituntut untuk terus dinamis melahirkan figur-figur yang mampu merespons persoalan umat dengan perspektif yang relevan, adil, dan berpihak kepada kemaslahatan bersama.
Selain itu, tanggung jawab sosial kader mujtahid melibatkan kepekaan terhadap kondisi masyarakat yang beragam. Dengan ilmu yang dimiliki, ia harus mampu menjadi jembatan perubahan, mengatasi kesenjangan, dan memperjuangkan keadilan sosial. Semangat ini didasari oleh prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin, di mana perjuangan untuk menciptakan kesejahteraan dan keharmonisan menjadi prioritas utama.
Dalam menjalankan tanggung jawab tersebut, seorang kader mujtahid harus tetap teguh pada nilai-nilai akhlak, integritas, dan semangat juang. Kesadaran akan perannya sebagai agen perubahan mendorongnya untuk terus belajar, beradaptasi, dan berinovasi, sehingga dapat menghadirkan solusi konkret bagi berbagai permasalahan.
Dengan demikian, menjadi kader mujtahid bukan hanya sekadar status, melainkan amanah besar yang menuntut dedikasi, pengorbanan, dan kesungguhan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi umat dan bangsa.
Beban Amanah, Bukan Kebanggaan Semata
Seorang kader mujtahid PMII tidak pernah berhenti belajar. Ia memiliki semangat untuk terus menggali ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu sosial, dengan menjadikan Al-Qur'an, Hadis, serta khazanah keilmuan Islam dan modernitas sebagai sumber inspirasi.
Pemikiran yang ia hasilkan selalu bersandar pada prinsip Ahlussunnah wal Jama’ah, namun tetap terbuka terhadap dinamika zaman dan beradaptasi dengan tantangan kontemporer. Dalam hal ini, ia menjadi pribadi yang mampu menjembatani tradisi dan inovasi, sehingga menghasilkan solusi yang relevan dan kontekstual.
Kehidupan seorang kader mujtahid diwarnai oleh komitmen kuat terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. Ia hadir di tengah masyarakat bukan sebagai pengamat, tetapi sebagai pelaku perubahan yang aktif. Keberpihakannya selalu pada mereka yang terpinggirkan, dengan visi untuk menciptakan tatanan sosial yang lebih adil dan harmonis.
Dalam setiap langkahnya, ia menjadikan dakwah bil hal sebagai cara untuk menunjukkan keteladanan, bukan hanya dengan kata-kata tetapi juga dengan tindakan nyata yang mencerminkan prinsip Islam yang rahmatan lil alamin.
Oleh sebab itu, menjadi kader mujtahid bukan sebuah kebanggaan, karena kebanggaan dapat menjadi perangkap yang membahayakan. Rasa puas diri dengan kebanggaan diri dapat menutup pintu pengembangan diri, sehingga seorang kader berhenti belajar dan lupa akan hakikat perjuangannya.
Sebaliknya, seorang kader mujtahid harus senantiasa rendah hati, terus mengasah kemampuan, dan berupaya mendekatkan dirinya kepada Allah sebagai sumber hikmah dan kebenaran.
Predikat ini harus dipandang sebagai amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, seorang kader mujtahid harus menjadikan pengabdian kepada umat dan organisasi sebagai prioritas utama, bukan sekadar mengejar pujian atau gelar semata.
Menjadi Kader Mujtahid PMII yang Sesungguhnya
Menjadi kader mujtahid dalam PMII adalah sebuah proses panjang yang menuntut keseriusan, kedisiplinan, dan keikhlasan. Status ini bukanlah tujuan akhir, melainkan awal dari perjalanan yang penuh dengan tantangan dan tanggung jawab. Kebanggaan sejati tidak terletak pada status yang disematkan, tetapi pada kontribusi nyata yang diberikan kepada organisasi, umat, dan masyarakat.
Sebagai kader mujtahid, kita harus terus berupaya menjadi insan yang bermanfaat, menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman, dan membawa misi rahmatan lil 'alamin dalam setiap langkah perjuangan. Inilah hakikat dari kader mujtahid PMII, bukan sebuah label kebanggaan, melainkan tanggung jawab yang harus diemban dengan penuh kesadaran dan dedikasi.
Menjadi kader mujtahid di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berarti menjadi individu yang tidak hanya memahami nilai-nilai dasar organisasi tetapi juga mampu mentransformasikan nilai-nilai tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari dengan keberanian, pemikiran kritis, dan tanggung jawab moral yang tinggi.
Kader mujtahid adalah sosok yang tidak hanya menerima dan menjalankan instruksi secara pasif, tetapi juga menjadi penggerak perubahan melalui gagasan-gagasan yang tajam dan analisis yang mendalam terhadap berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat.
Lebih dari itu, seorang kader mujtahid adalah pemimpin yang mampu menginspirasi orang lain. Ia tidak sekadar berbicara tentang perubahan, tetapi juga memimpin perubahan itu sendiri dengan integritas, keberanian, dan konsistensi.
Ia tidak takut menghadapi kritik atau tantangan, karena ia yakin bahwa setiap ujian adalah bagian dari proses pembelajaran dan penguatan diri. Dengan jiwa kepemimpinan seperti ini, ia menjadi teladan yang tidak hanya dihormati tetapi juga dicintai oleh komunitasnya.
Pada akhirnya, menjadi kader mujtahid PMII adalah tentang menjadi manusia yang sepenuhnya berperan sebagai khalifah di bumi. Ia tidak hanya menjaga keseimbangan antara akal, hati, dan tindakan, tetapi juga membawa misi besar untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua. Perjuangannya tidak pernah berakhir, karena ia percaya bahwa kerja intelektual dan sosial adalah jihad yang berkelanjutan hingga akhir hayat.
***
*) Oleh : Abdur Rahmad, Alumni PP Nurul Jadid, Sekretaris I PC PMII Probolinggo, Pelayannya para pelayan kader PMII, Putra Giligenting.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |