TIMES MALANG, SULAWESI TENGGARA – Apakah dengan makanan bergizi gratis dapat meningkatkan kualitas Pendidikan? Sejauh mana makana bergizi mampu membuat siswa menjadi pintar dan termotivasi untuk belajar? Apakah ada jaminan dengan memberikan makanan bergizi dapat membuat seorang siswa menjadi pintar dan sukses di masa depan?
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nining Lia Agustin dan Dra. Hj. Siti Sulandjari. M.Kes, diperoleh hasil bahwa hubungan antara pola makan dengan hasil belajar siswa hanya mencapai 49,5 %. Dari hasil tersebut dinyatakan tidak ada hubungan pola makan dengan hasil belajar.
Melihat data diatas tentunya menjadi perhatian penting untuk kita semua sebagai pengamat ataupun pelaku Pendidikan. Anggaran yang digelontorkan untuk merealisasikan program ini tidaklah sedikit. Banyak anggaran, bahkan pajak rakyat di ambil untuk menunjang program ini.
Penulis berpandangan program makan bergizi gratis ini tertuju pada peningkatan Kesehatan siswa secara fisik. Siswa yang memiliki kesehatan fisik yang baik, belum tentu ia akan cerdas secara akademik.
Karena hakikatnya, seseorang yang cerdas maka ia harus melalui banyak proses belajar yang besar. Tidak hanya dengan memakan makanan bergizi langsung pintar secara akademik.
Justru program ini secara sederhana, penulis melihatnya cenderung kepada mempersiapkan generasi untuk terjun pada dunia industry. Maka demikian, Indonesia akan menghadapi bonus demografi pada tahun 2045.
Jika pemuda yang diwacanakan untuk menjadi bagian dari bonus demografi tidak sehat secara fisik, maka Indonesia tidak akan mencapai Indonesia emas 2045.
Kualitas Pendidikan tidak Hanya dengan Makan Bergizi Gratis
Banyak aliran teori pendidikan yang telah merumuskan konsep dalam dunia pendidikan. Salah satunya konsep pendidikan dari Jean Piaget yaitu Konstruktivisme. Teori ini menyatakan bahwa siswa membangun pengetahuan mereka sendiri melalui pengalaman dan refleksi diri sendiri. Sementara guru menjadi fasilitator dalam pendidikan.
Begitupun dengan teori pendidikan konstruksitivisme sosial yang dikemukakan oleh Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dalam pembelajaran. Siswa dianggap belajar melalui kolaborasi dengan teman sebaya dan berpartisipasi dalam situasi sosial yang memungkinkan pertukaran ide dan pemahaman bersama.
Dari kedua teori tersebut, secara tekstual tidak menyebutkan bahwa peran dari makan bergizi membantu secara utuh perkembangan kualitas pendidikan. Maka penulis lebih sepakat jika program makanan bergizi ini lebih kepada pemenuhan gizi agar anak-anak Indonesia sehat secara fisik dalam rangka mencapai kualitas manusia yang baik.
Kualitas pendidikan tetap membutuhkan konsep dan system pendidikan yang tepat dan sesuai dengan konteks daerah masing-masing.
Hal pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah ialah bagaimana system pendidikan Indonesia tidak berfokus kepada menghasilkan manusia yang siap kerja. Namun manusia yang memiliki kualitas keilmuan sifatnya seumur hidup.
Kedua, pemerintah tidak menjadikan lembaga pendidikan sebagai bagian dari dunia industry yang dijadikan sebagai tempat mendapatkan profit. Apalagi program makanan bergizi ini sampai memasukan industry dari luar, dan mematikan penghasilan UMKM (kantin) yang biasanya ada di dalam lingkungan sekolah.
Ketiga, jangan sampai program makan gratis ini menjadi penghambat dalam proses belajar mengajar disekolah. Mengambil jam atau waktu belajar siswa dan digantikan dengan makan siang gratis. Olehnya itu, perencanaan yang matang dan juknisnya sudah lebih dulu matang sebelum proses pelaksanaannya.
Menyiapkan Generasi Unggul
Syahdan, program ini tentunya memfokuskan kepada Kesehatan fisik, agar anak-anak Indonesia terpenuhi gizinya. Penulis lebih sepakat dengan pernyataan seperti ini. Dibandingkan dengan makanan bergizi anak akan cerdas secara akademis.
Olehnya itu, makanan bergizi ini menjadi titik awal dari Kesehatan fisik anak-anak Indonesia dalam menghadapi bonus demografi. Di mulai dari ibu mengandung sudah diberikan gizi.
Sampai kemudian besar dan tumbuh menjadi anak yang sehat. Tentunya ini adalah bagian dari proses memotong kesenjangan sosial yang disebabkan kemiskinan di berbagai daerah.
Sehingga, program ini tidaklah hanya menyasar mereka anak-anak di sekolah, juga bisa menyentuh anak-anak yang tidak berada di lingkungan sekolah, agar program ini tidak memarjinalkan anak-anak yang lainnya.
***
*) Oleh : Asman, Pegiat literasi Asal Sulawesi Tenggara.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |