TIMES MALANG, BONDOWOSO – Indonesia terdiri atas sekiat 17.000 pulau dan sekitar 1.300 suku bangsa. Merupakan negara yang kaya keberagaman budaya dan tradisi kuliner. Dalam upaya meningkatkan gizi masyarakat, khususnya anak-anak, program makan bergizi gratis memiliki potensi besar untuk berkontribusi tidak hanya pada kesehatan, tetapi juga dalam merayakan dan menghormati keanekaragaman budaya. Agar program ini berjalan efektif, pendekatan yang memperhatikan multikultural menjadi penting.
Salah satu tantangan program makan bergizi gratis adalah menyusun menu yang dapat diterima berbagai kelompok masyarakat. Di Jawa, nasi adalah makanan pokok, sedangkan di Papua, sagu lebih dominan. Untuk memastikan program ini diterima secara luas, penting untuk melibatkan komunitas lokal dalam merancang menu yang sesuai dengan kebiasaan mereka.
Misalnya, di Aceh, makanan berbahan dasar ikan laut dapat lebih ditekankan. Sementara di Bali, menu yang memperhatikan nilai-nilai budaya Hindu, seperti tanpa daging sapi, bisa diutamakan.
Menu yang mempertimbangkan budaya lokal dapat membuat masyarakat merasa dihargai dan lebih mudah menerima perubahan pola makan yang lebih sehat. Juga dapat memperkenalkan anak-anak pada kekayaan kuliner dari daerah lain, sekaligus memperkaya pengetahuan mereka tentang keberagaman budaya Indonesia.
Dengan menghadirkan makanan yang familiar, program ini dapat menciptakan rasa nyaman dan keterikatan yang lebih kuat dengan masyarakat setempat. Anak-anak tidak hanya mendapatkan nutrisi yang baik, tetapi juga pemahaman yang lebih dalam tentang pentingnya menghargai perbedaan budaya.
Selain adaptasi menu, keterlibatan komunitas lokal dalam pelaksanaan program sangat penting. Petani, nelayan, dan ibu-ibu rumah tangga seringkali memiliki pengetahuan mendalam tentang bahan makanan lokal yang bergizi.
Dengan melibatkan mereka dalam penyediaan bahan makanan atau pengelolaan distribusi makanan, kita tidak hanya memastikan keberlanjutan program, tetapi juga mendukung perekonomian lokal. Partisipasi komunitas ini juga membantu memperkuat rasa kepemilikan terhadap program, sehingga mereka lebih bersemangat untuk menjaga keberlangsungannya.
Program makan bergizi gratis tidak hanya tentang pemberian makanan, tetapi juga tentang pendidikan. Anak-anak perlu diberikan pemahaman pentingnya makan dengan gizi yang seimbang. Edukasi ini harus dilakukan dengan pendekatan yang sensitif terhadap keberagaman budaya, agar pesan yang disampaikan bisa diterima dengan baik oleh setiap kelompok.
Penyuluhan harus melibatkan media yang mudah dipahami, yang menggambarkan manfaat gizi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara ini, anak-anak tidak hanya belajar tentang pentingnya makan sehat, tetapi juga mengaplikasikan pemahaman itu dalam pola makan sehari-hari.
Penggunaan bahasa daerah dalam penyuluhan atau sosialisasi program bisa sangat membantu menjangkau masyarakat, terutama di daerah-daerah yang memiliki tingkat literasi rendah dengan pengguna bahasa Indonesia yang terbatas. Dengan berbicara dalam bahasa yang akrab, program ini akan lebih mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat setempat.
Selain itu, menggunakan simbol-simbol makanan lokal dalam kampanye gizi dapat membuat pesan lebih mudah diterima dan lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka.
Tidak dipungkiri bahwa makanan adalah bagian integral dari budaya Indonesia. Setiap daerah memiliki tradisi kuliner yang kaya dan unik, yang mencerminkan identitas dan sejarah masyarakat setempat. Program makan bergizi gratis bisa menjadi kesempatan untuk merayakan keberagaman ini.
Saat diperkenalkan makanan tradisional yang bergizi, anak-anak tidak hanya mendapatkan manfaat gizi, tetapi juga belajar menghargai dan memahami kekayaan budaya bangsa. Program ini juga membuka peluang untuk memperkenalkan makanan sehat yang mungkin belum pernah mereka coba sebelumnya, memperkaya pengalaman kuliner mereka.
Misalnya, setiap bulan tertentu, bagian dari program ini bisa dimodifikasi kegiatan "Hari Kuliner Tradisional". Anak-anak diperkenalkan makanan khas dari berbagai daerah. Hal ini tidak hanya memperkenalkan mereka pada keragaman kuliner Indonesia, tetapi juga memberikan kesempatan untuk mencicipi makanan yang penuh dengan nilai sejarah dan tradisi.
Kegiatan semacam ini dapat meningkatkan rasa kebanggaan terhadap kekayaan budaya mereka. Hal itu adalah langkah kecil yang dapat memberikan dampak besar pada penguatan identitas nasional yang inklusif dan sehat.
Mengimplementasikan program makan bergizi gratis dengan pendekatan multikultural tidak lepas dari tantangan. Salah satu tantangan utama adalah memastikan bahwa makanan yang disediakan dapat diterima oleh semua kelompok, tanpa melanggar nilai-nilai budaya atau agama tertentu.
Misalnya, di komunitas Muslim, makanan harus halal, sementara di daerah tertentu, ada pantangan untuk mengkonsumsi daging babi. Solusi untuk tantangan ini adalah dengan menyusun menu yang inklusif dan fleksibel yang memungkinkan penyesuaian sesuai kebutuhan budaya setiap kelompok tanpa mengorbankan prinsip dasar gizi seimbang.
Program makan bergizi gratis bukan sekadar tentang menyediakan makanan sehat bagi anak-anak, tetapi juga tentang membangun jembatan antara berbagai budaya di Indonesia. Melalui makanan, kita tidak hanya memberi nutrisi bagi tubuh, tetapi juga menanamkan nilai-nilai penghormatan terhadap keberagaman, solidaritas, dan kebersamaan. Dengan memadukan gizi dan budaya, kita bisa menciptakan generasi yang sehat secara fisik dan kaya akan pemahaman budaya.
***
*) Oleh : Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso. Dewan Pakar Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kabupaten Bondowoso.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |